/0/13255/coverbig.jpg?v=58677bd88bd6acac3a855427a50a509c)
Seorang wanita yang menjalani kehidupan pernikahan tanpa cinta, ia tinggal bersama suaminya tapi tetap memikirkan mantan kekasihnya. Tak hanya dilema tentang perasaan, tapi juga banyak masalah lain yang mengganggunya, termasuk ketidak mengertiannya karena dilibatkan dalam masalah bisnis. Merasa sangat tertekan karena semuanya, ia kerap berfikir untuk lari, tapi keadaan pun kerap kali menahannya tanpa kepastian apa pun
"Frena, aku duluan ya," ucap Mouty.
"Baiklah, sampai bertemu besok."
Keduanya berpisah menuju rumah masing-masing, langkah Frena terhenti saat mendengar kegaduhan yang jauh di sana.
Frena menoleh, ia melihat seorang lelaki yang sedang dikejar beberapa orang, mereka meneriaki lelaki tersebut agar segera menghentikan larinya.
Meski tidak tahu apa-apa, Frena menarik lelaki itu dan membawanya bersembunyi agar terlepas dari kejaran mereka.
"Apa yang kau lakukan?" tanya setengah kesal.
Frena memintanya untuk diam saja, saat ini mereka harus memastikan jika orang-orang itu telah menjauh.
Frena membungkukan tubuhnya, dan benar mereka sudah menghilang sekarang.
"Apa kau sudah gila?"
"Kenapa aku yang gila, aku membantumu lepas dari mereka."
Frena mengernyit melihat reaksi kecewa dari lelaki di hadapannya, kenapa seperti itu? sudah seharusnya ia merasa senang karena sudah dibantu.
"Apa kau seorang pencuri? Atau mungkin kau pembunuh?" tanya Frena penuh curiga.
"Tutup mulutmu, menyebalkan sekali tuduhanmu itu."
Frena kembali diam, ia meneliti lelaki tersebut dari atas sampai bawah, buruk sekali, lelaki itu tampak buruk dengan baju lusuhnya dan kacamata bulat besarnya, kulitnya juga kusam seperti tidak mandi berbulan-bulan.
"Ah, aku harus segera pergi sekarang."
"Mau kemana, siapa mereka tadi?"
"Bukan urusanmu, dan sebaiknya kau pergi sekarang juga."
"Apa masalahnya, aku hanya ingin tahu saja."
Lelaki itu semakin prustasi karena keingin tahuan Frena, tanpa berkata apa pun juga, ia mendorong Frena agar segera pergi dari hadapannya.
"Hey ...."
"Diam tanpa suara dan pergerakan apa pun."
Kalimat Frena belum usai, ia lebih dulu dibuat terkejut oleh todongan pistol di kepalanya.
"Angkat tangan kalian."
Frena melihat lelaki itu mengangkat tangannya, dengan takut Frena mengikuti pergerakan itu.
Saat bersamaan, Frena melihat orang-orang yang tadi mengejar lelaki di hadapannya.
"Aku sudah katakan pergi sejak tadi."
"Tapi ...."
"Diam!"
Frena seketika menunduk, ia menelan ludahnya seret saat mendengat suara keras itu.
"Jangan kasar padanya."
"Kau juga diam!"
Frena memejamkan matanya, jantungnya mendadak bergemuruh, apa yang telah dilakukannya adalah kesalahan besar.
"Tulis nomor telepon mu di sini."
Frena menoleh, ia melihat ponsel yang diberikan padanya, dengan ragu Frena menerimanya dan menuliskan nomor teleponnya.
"Jangan berani menolak panggilan ku, atau hidup mu akan selalu terancam."
Frena terkejut saat ponsel itu direbut dengan kasar, sekilas Frena melirik lelaki itu, salah apa yang dilakukan lelaki itu sampai harus seperti saat ini.
"Bawa dia pergi," perintah penodong pistol itu.
Mereka membawa lelaki itu dengan mudah, tak ada perlawanan lagi, kali ini lelaki itu menurut saja saat dibawa oleh mereka.
"Jangan ikut campur atas hal yang bukan urusanmu, atau kau akan celaka karena ulah sendiri."
Frena perlahan mengangkat kepalanya, kedua matanya menyipit saat melihat penadah pistol itu pergi begitu saja.
Kedua tangannya kembali turun, apa yang sebenarnya terjadi, kenapa mereka seperti itu.
"Frena, kau baik-baik saja?"
Frena menoleh, ia sedikit heran melihat Mouty yang masih ada di dekatnya.
"Kau .... Bukankah sudah pulang?" tanya Frena yang masih setengah fokus.
"Aku mendengar teriakan mereka, dan aku melihatmu menarik lelaki tadi, aku menghampirimu tapi aku melihat lelaki itu dengan senjatanya, aku takut makanya aku bersembunyi," jelas Mouty sedikit bergetar.
Frena diam saja, bahkan Frena tidak mengerti dengan apa yang terjadi beberapa saat lalu, ia hanya berniat menolong lelaki itu.
"Frena," panggil Mouty seraya mengoyak pundak Frena.
"Hah .... Iya, apa?"
"Apa yang terjadi, apa mereka menyakitimu?"
"Ah tidak tidak, tidak ada apa pun yang terjadi padaku, aku baik-baik saja."
"Hah syukurlah."
Frena tersenyum singkat, ia kembali diam mengingat mereka semua, siapa mereka sebenarnya, kenapa begitu menakutkan.
Frena tidak sempat melihat wajah penodong senjata itu, tapi melihat tampilan belakangnya sudah jelas jika lelaki itu bukan orang sembarangan.
"Frena," panggil Mouty masih dengan kepanikannya.
"Mouty, sebaiknya kita pulang sekarang, kita harus selesaikan tugas kita, bukan?"
"Ya kau benar, tapi aku khawatir kalau mereka akan menemui mu lagi."
"Bicara apa kau ini, siapa mereka sampai harus kembali menemui ku? Sudahlah Mouty, ayo kita pulang sekarang."
Mouty hanya mengangguk, dengan ragu ia berbalik dan perlahan meninggalkan Frena.
Frena juga pergi dari tempatnya, ia berusaha masa bodoh dengan semua yang terjadi sekilasan itu, meski sebenarnya Frena merasa penasaran dengan semua itu.
"Jangan melawan lagi, kau tidak akan bisa lari sekarang."
Lelaki itu didorong hingga tersungkur di lantai sana, mereka lantas keluar sesuai dengan perintah atasannya itu.
"Vicran, apa sebenarnya yang kau cari?" tanya lelaki berperawakan tinggi berisi itu.
"Aku hanya ingin urusan kita selesai."
Mendengar kalimat lelaki yang tak berdaya itu, ia tertawa dengan renyahnya, dengan langkah angkuhnya ia mendekat dan menarik Vicran untuk bangkit.
"Sudah aku katakan, semua akan selesai jika kau mau mengakui kesalahanmu."
"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun, jadi jangan memaksa aku untuk mengakui apa yang tidak seharusnya aku akui, Dava."
Tatapan Dav seketika tajam, layaknya singa yang siap menerkam mangsa, Dava menatap Vicran dengan segenap emosinya.
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya dituduh, kau tidak tahu bagaimana rasanya harus mengakui kesalahan yang bahkan aku sendiri tidak tahu, kau fikir ini menyenangkan?"
Vircan balik mendorong Dava, tidak ada yang tahu jika mereka adalah dua bersaudara, mereka adalah adik kakak yang saling membenci.
Dava adalah adik yang jahat, ia bisa menyakiti siapa pun demi kebahagiaannya, bahkan menyakiti Vicran yang tak lain adalah kakaknya sekali pun.
"Kau sudah sangat kurang ajar padaku, kau sudah sangat menyakiti harga diriku."
"Dan kau fikir aku perduli, dengar baik-baik, semua terjadi karena kesalahanmu sendiri."
"Aku tidak bersalah!" bentak Vicran prustasi.
Entah sampai kapan masalah diantara mereka akan berakhir, Vicran sudah sangat mengalah untuk adiknya itu tapi entah apa lagi alasannya hingga segala kesalahan masih harus ditanggungnya.
"Vicran, kau harus ingat kalau aku bisa melakukan apa pun."
"Ya .... Tentu saja aku ingat, itu adalah hal yang tidak bisa aku lupakan dari Adik ku sendiri."
"Bagus, dan sebaiknya kau mulai fikirkan wanita asing itu, aku bisa melakukan apa pun padanya dan melimpahkan kesalahannya padamu."
Vicran diam, itu adalah hal buruk yang selalu Dava lakukan, dan semua yang dikatakannya bukan omong kosong yang bisa Vicran abaikan.
Wanita itu, siapa dia, kenapa harus membantunya seperti itu, dan sekarang Vicran jadi tertekan lagi karena ulah wanita itu.
"Sudah cukup untukmu berfikir, bukankah waktumu hanya sampai malam ini, aku memiliki wanita asing itu sekarang yang pasti akan sangat kau perdulikan."
"Dava!"
Dava mengangkat tangannya meminta Vicran untuk diam, dengan santai Dava melihat jam di pergelangan tangannya dan tersenyum penuh kemenangan.
"Jam 4 sore, itu artinya hanya 4 jam lagi waktumu, banyak hal yang akan terjadi dalam 4 jam terakhir, dan pemain baru itu akan sangat menguntungkan aku."
Dava mengangkat sebelah alisnya, tatapan yang begitu menantang Vicran, senyuman yang sangat merendahkannya.
Kedua tangan Vicran mengepal kuat, melihat Dava melenggang pergi dengan penuh keangkuhan itu, membuat emosi Vicran semakin memuncak.
"Siapa pun wanita itu, dimana pun dia, temukan dan lakukan apa pun yang bisa membuat Vicran mengalah," ucap Dava pada mereka semua.
Senyuman Dava semakin sempurna ketika matanya melihat mereka semua pergi, keberuntungan memang selalu ada dipihak Dava dan sampai saat ini semua masih sama.
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?
Setelah menikahi akhwat cantik yang lama diidam-idamkan, pria milyarder itu merasa sangat bahagia. Mereka menikmati kehidupan rumah tangga yang bahagia, meski baru seminggu. Namun, ada satu hal yang membuat sang istri merasa terganggu. Suaminya mempunyai kebiasaan yang cukup mengkhawatirkan. Hampir setiap saat, suaminya meminta jatah. Sebelum tidur, saat menyiapkan makanan, bahkan saat mereka sedang santai di ruang keluarga. Sang istri merasa kewalahan. Dia tidak pernah menyangka bahwa suaminya begitu rakus akan kepuasan duniawi. Suatu hari, ketika sang istri sedang memasak di dapur, sang suami mendekatinya dan mulai merayunya. "Sayang, ayo kita berduaan sebentar di kamar," bisik suaminya, sambil mencium leher istri. Dengan wajah merah padam, sang istri mencoba menolak. "Aku sedang memasak, nanti saja ya, Sayang," ujarnya lembut. Namun, suaminya tidak terima penolakan. Dia semakin mendesak, bahkan mulai meraba tubuh sang istri. "Aku tidak bisa menahan nafsu ini, Sayang," desahnya. Akhirnya, sang istri menyerah pada desakan suaminya. Mereka pun bergegas ke kamar untuk melampiaskan hasrat mereka. Sang istri merasa kewalahan menghadapi keperkasaan suaminya yang mencapai 27cm. Dia merasa tubuhnya terlalu lemah untuk mengimbangi nafsu suaminya yang tidak pernah habis. Setelah berhubungan intim, sang istri terkapar lemas di tempat tidur, sementara suaminya bangkit dengan senyum puas