ata sembab, rambut acak – acakan, hidung bangir itu kini juga sudah se
berserakan di mana – mana, bantal tergeletak indah di lantai marmernya. Jika saja itu bu
yang kini mulai mereda sambil mengusap air
, Na." Jawab Nina seadanya, karena sejak tadi te
ni hanya karena sebuah mimpi? Galak...gal
i...kalau gue biarin dia pergi, ntar mimpi gue jadi kenyataan. Ntar pesawat yang di pak
ngkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi.
rlu khawatir berlebihan gitu," Nina mulai khawatir dengan kejiwaan Medina. Sahab
ucap Medina dengan mata melotot, seakan mengisya
hal yang belum terjadi ME.DI.NA," sahut Nina tak
adikan," isakan Medina tak kunjung berhenti, malah
lurkan kemana. Ke Medina? Nggak mungkin. Yang ada di
il membuang muka. Antar ogah dan tidak te
rengek Medina kembali pada perta
ang Medina keluar dar
*
mpus yang selalu ramai, kini sepi pengunjung. Semua orang pasti lebih memilih berlindung di bawah a
ereka justru senang karena masih di beri kesempatan oleh sang pencipta untuk memandangi pus
nggak ada lo, harus gimana gue selesaikan ini, " ucap Nan
eretan rak buku berwarna hitam ini terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang yang mengisi beberapa me
era mungkin, hingga membuatnya harus mencari bala bant
boy itu saat ini. Kata – kata yang ia tujukan pada Adam di koridor tadi sebenarnya hany
at tulisnya yang juga sempat ia gunakan untuk mengajari Nando mengerjaka
kenal dekat." tukas Nando tak mau kalah argumen, dan hany
hal yang sepele. Ia akan berusaha dengan cara apapun untuk mengh
na. Karena semua hal jadi penti
u." Adam beranj
Cuma lo orang yang gue percaya buat bantuin
cap Adam tenang dan kemudian berlalu pergi b
ando tak begitu meenghiraukan. Ia sudah cukup lama mengenal Adam, sif
pergerakannya kembali terhenti saat teringat s
mana ya sekarang?" Nando turu
*
bah mendung dengan begitu cepat. Awan hitam menggantung menghiasi cakra
ng tuanya hanya untuk menceritakan apa saja yang ia
Bunda. Tatapannya sayu, masih menyimpan sejuta kebimbangan di sana. Air matanya
i kenapa hati Medina setakut ini? Secemas ini? Kak Adam pasti baik
Adam yang tiba – tiba menerobos telinganya me
pat jatuh di pipi dengan kedua tangan. Ia tak ingin Adam tahu jika ia menangis, kakakny
cukup jadi bukti kalau seharian ini kamu nangis
kapan da
r, kakak nggak dengar apapun yang kamu bicarain," lanjut Ad
ndengar semua pembicaraannya. Jika Adam tahu, ia pasti akan di buat keny
anya Medina kini mengalihkan tata
ya juga belum siap mendengar jawaban Adam. Tapi untuk
Ud
adi
kamu, kakak akan t
ini yang ia inginkan sejak awal? Lantas kenapa sekarang ia malah ber
gi," terang Adam lagi, sukses membua
sud k
tawarannya buat mahasiswa lain
ilang donk." Wajah manis it
ang karena masih bisa sama – sama kamu di sini," ucap Adam
dina, lantaran kesempatan emas kakaknya kulia
keberangkatan Adam, ia tak perlu mencemaskan mimpi itu la
kamu percaya
bulatnya membuka sempurna memandangi Adam yan
ercayai mimpi konyol itu. Bingung, bagaimana bisa ia menjawab pertanyaan ,
m hati satu – satunya orang yang
na
*