Hotel Dharma Roy
l. Kartu hitam di tangan Bu Siska masih terasa hangat dari gesekan jarinya yang tak sabar. Begitu pintu
karamel terbakar matahari. Ia mengenakan jas malam hitam beludru tanpa kemeja, memperlihatk
eseorang yang tahu persis perannya dalam drama yang sedang dimulai. "Selamat malam," katanya, s
ua wanita lainnya. Tumit sepatu mereka memekik ringan di atas marmer putih. Pin
ng memperlihatkan panorama kota. Namun tak ada yang memandang ke luar jendel
an pundaknya yang halus terbuka. "Aku mau yang matanya tajam,
ulu yang mewah. "Kalau aku mau dua," bisiknya, suaranya serak. "Sekalian
Layar menyala, memperlihatkan deretan pria muda, telanjang dada, dengan detail ukuran, stamina, d
rya, matanya berbinar. "Tinggal pilih
iap kali kita ke sini, rasanya kayak ulang tahun ke-30," godanya, "Cum
i. "Deg-degannya juga bukan di dada, Sayang," sahutnya, "Tapi ja
n mereka, dan para pria yang menunggu han
---------------------------
t, Lantai 29
caya diri. Mereka hanya mengenakan jubah satin hitam yang diikat longgar di pinggang, m
dan dada berbulu yang tebal. Tangannya besar, dantapi gerakan tubuhnya seperti orang yang tahu pers
apar. Dia mungkin masih muda, tapi tangannya su
, cincin lidah, dan bibir yang basah se
kulit kecokelatan, dan otot ya
ngan besar, dan senyum yang tahu ia bisa me
ulit mulus, dan cara berjalan yang sep
panjang, suara berat, dan g
tajam menyapu setiap inci tubuh mereka, seperti komanda
, penuh otoritas): "Su
hal, licin, dan seberat udara jatuh bersamaan ke lan
ya jelas di atas rata-rata, beberapa b
mereka yang terawat, kilauan minyak p
ampur dengan aroma mu
Hmm... kalian memang premium. (jari telunjuknya meng
ekatnya, bibirnya hampir menempel di telinganya. "
n Tentara, dua pria yang fisiknya paling mencolok di antara yang lain. Tubuh mereka be
bibirnya yang merah merek
ra serak): "Sis... aku
um): "Tentu saja, Sayang. Asal jangan sampai
dekati si Arab-tinggi, berkulit sawo matang, dengan tatapan panas-dan mant
pi menggoda): "Aku mau k
cil): "Dua sekaligus, Bu? Kami bisa
ara berat): "Kami
ke suite, menggandeng me
tantangan): "Siapa yang lebih dul
ua pria perka
erbinar penuh tanya: "Bu Wamen... Ibu
a 'tidak'): "Sabar, Sayang... satu dulu. Kalau ku
ata Bu Livia, "Dia udah gak saba
at menikmati malam ini. Nanti sa
-------------------------
. Bu Siska duduk di hadapan mereka, matanya berbinar seperti pedagang yang sedang menilai barang antik, bukan dengan nafsu,
h mendekati Bu Siska dengan sikap profesio
mana?" tanyanya singka
"Aku tuan rumah di sini, Surya. Aku gak mau terburu-buru... nanti saja," jawab
, lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, Bu, 5 o
edelapan brondong yang hadir. Dengan nada tegas, ia menjawab, "Semua 8 orang
i instruksinya. "Baik, Bu. Semu
a, dengan Bu Siska memegang ke
tah. "Kalau begitu, saya ijin pamit, Bu. Selamat menikmati malam ini," ucapnya sambil sedikit membungkuk sebelum be
erius, Bu Siska sudah menyusun r
u sosok pria dengan postur atletis sempurna, kulit putih bersih, dan
ah tak tergoda oleh uang atau janji. Matanya yang teduh justru membua
aku tetap menghargai kalian," ujarnya, jari-jariny
a duduk berjajar di sofa kulit hitam, tubuh atletis mer
ng tapi penuh harap, sebelum
apan mereka, tanganya m
di ujung kepala yang sudah merah. "Hmm... tanganmu biasanya main gitar, ya? Tapi malam in
sporty. "Kamu biasa lomba di kolam... tapi malam ini Ibu yang bikin kam
tuh. "Kamu suka lukisan abstrak? Nanti Ibu kasih warna-warni di tubuhmu." Di
enonjol. "Kamu biasanya latihan keras? Sekarang Ibu yang kasih latih
jah tampan, tubuh sempurna, tatapan
kamu..." bisiknya, napasnya hangat di
berat, mata berbina
um licik, turun
u merahnya menekan kulitnya sambil perlaha
akan," godanya, jempolnya mengus
ngaja dihembuskan hangat ke batangny
lum lidahnya menjulur, menyentuh dari pangkal h
ya, lidahnya berputar-putar, sem
jelas, diiringi erangan sang M
ka Bu Siska begitu mahir mempermainkan sang Model dengan mulutnya. Mata mereka terpaku pad
u dari mereka dalam hati, sambil tak sadar me
gan penuh hasrat, sementara tangannya terus memompa dengan ritme yang menggoda
il!" protes s
ala, bibirnya masih bas
tapi Ibu pasti kasih kalian hadiah I
suara desisannya membua
g model dengan perlahan, menikmati setiap detiknya. Matanya yang berkaca-kaca menatap tajam ke arah si Model, p
kepada Sang Model, suaran
gan suara dalam yang
pedang yang menusuk. Ada sesuatu yang menggelitik di dalam benaknya. Keinginan u
antara mereka seperti benang perak yang tak putus. Dengan gerakan penuh kesadaran diri, ia be
t pria yang masih berlutut, tatap
a tegas namun men
ddy yang masih tegang, menariknya bangkit, lalu memi
dipersilakan duduk di sofa kulit hitam yang meng
n, jari telunjuknya menunjuk ke masing-masing waja
gan di paha, mata t