mi berpacaran delapan tahun lalu, dia ibarat pangeran dari negeri kahyangan. Sangat santun, sangat penyayang. Bahkan ketaletanannya menyikapi agama, terus terang membuatku memastikan

kasar. Sementara keluargaku, meskipun bukan keluarga terhormat, tapi pedagang yang cukup

eluarga terhormat. Kedua dia bukan juga dari keluarga kaya. Ketiga dia tak memiliki pekerjaan tetap. Bagaimana mungkin seorang ibu merelakan putri tercinta men

ibu akhirnya mengalah. Bahkan ibu kemudian mengakui Ilham seorang yang taat agama. Selain i

r, mutlak ditanggung ayah-ibu. Ah, betapa bahagianya setelah kami akhirnya bersanding di pelaminan. Tak ada lagi celoteh centil anggota keluarga, juga teman

k memiliki pekerjaan tetap, Ilham selalu rajin membantu ayah menjalankan usaha dagang. Se

gontrak rumah. Bagaimanapun tak ada lagi anak-anak mereka di rumah, kecuali aku. Dua abang d

ang sangat memasygulkan hati. Ayah meninggal karena kecelakaan. Menyusul ibu tiga bulan kemudian. Mungkin karena tak sanggup

dia sendiri yang malas-malasan dan tak kreatif, perdaga

itu dipegang Ilham, ada tanda-tandanya akan bangkrut. Untunglah abangku cepat mengambil-alih kendal

h yang terjadi---meskipun sangat kecil---bisa dibesarkannya sehingga bisa membakar

anya sok mengatur. Lalu karyawan-karyawan yang menganggapnya bukan siapa-siapa. Sampai masalah penghasilan yang terlalu kec