/0/12525/coverbig.jpg?v=5f4089e3b9f9d453d452d90c94ebd1ee)
Menjadi istri yang diterima baik di keluarga suami adalah impian semua wanita, termasuk aku. Namun ternyata aku tak seberuntung itu. Bukan kebahagiaan yang kudapat, aku malah dihadapkan dengan ipar dan mertua yang licik dan kejam Bukan aku tidak bersyukur karena menjadi menantu dari keluarga yang berada, namun apakah pantas aku diperlakukan seperti budak di rumah suamiku sendiri. Hanya karena aku lulusan SMA, sedangkan seluruh keluarga suamiku lulusan Sarjana, sehingga mereka menghinaku semau mereka. Apakah memang aku pantas diperlakukan seperti ini? Tentu tidak, setelah aku menemukan jalanku dan pundi-pundi uang sangat mudah kudapatkan, aku membungkam mulut mereka dengan kesuksesan.
Siang itu aku sedang istirahat di kamar. Setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah rasanya badan ini sangat lelah dan ingin sejenak untuk merebahkan diri di kasur yang tak terlalu empuk namun sangat nyaman untukku itu.
"Punya mantu nggak tau diri, udah numpang malah seenaknya sendiri," ucap ibu mertuaku di luar sana yang sengaja mengeraskan suaranya agar aku dapat mendengarnya.
Seketika jantungku berhenti berdetak. Memang itu bukan kali pertama ibu mertuaku berkata jahat dan menyindirku seperti itu. Sejak aku menikah tiga tahun yang lalu dengan Mas Miko, ibu mertuaku memang sangat membenciku.
Aku hanya bisa ngelus dada tiap kali ibu mertua menyindirku seperti itu.
"Coba kalo dulu Miko mau dengerin aku dan mau dijodohkan dengan Salma, pasti hidupnya akan lebih bahagia. Pasti sekarang sudah punya anak. Nggak mandul kayak istrinya itu," ucap ibu mertuaku yang membuatku sangat sakit hati.
Mengenai apapun aku bisa menahan hinaan ibu mertuaku, tapi tentang anak apalagi sampai mengataiku mandul, aku tak bisa untuk tak menangis. Di dalam kamarku, aku menangis sejadi-jadinya.
Bukannya mengakhiri hinaannya padaku, namun ibu mertuaku masih terus melontarkan kata-kata yang membuatku sangat sakit hati. Meski aku tidak berhadapan langsung dengannya, tapi aku bisa mendengar dan merasakan semua hinaan yang ibu mertuaku tujukan kepadaku.
"Punya istri miskin, nggak bisa diandelin. Bisanya cuma ngabisin uang suaminya saja," ucap ibu mertua yang masih melanjutkan hinaannya padaku.
Aku hanya bisa menangis di kamar mendengar hinaan demi hinaan yang ibu mertuaku lontarkan padaku. Di rumah ini hanya ada Mas Miko yang sangat mengertiku, tapi siang itu Mas Miko sedang bekerja, sehingga tak ada siapapun lagi yang bisa menguatkanku.
"Ada apa sih Bu?" ucap ayah mertuaku yang baru datang entah darimana.
"Itu lo Pak, saya benci banget sama istri Miko. Coba aja dulu dia mau dijodohkan sama si Salma, pasti sekarang kita sudah punya cucu," jawab ibu mertuaku kepada ayah mertua.
"Iya Bu, emang jauh sekali sama si Salma. Selain berpendidikan tinggi dia juga anak orang kaya, jadi lebih selevel sama keluarga kita. Lha yang ini, udah lulusan SMA dari keluarga miskin lagi," balas ayah mertuaku yang membuat tangisanku semakin pecah.
Bukannya menasehati istrinya, ayah mertuaku malah ikut menghinaku. Betapa sangat hancur hatiku saat itu. Tak ada tempatku untuk mengadu.
"Coba Bapak lihat, baru jam sebelas loh ini, dia malah sudah masuk ke kamarnya dan itu nanti sampai sore baru keluar setelah Miko pulang bekerja, bener-bener menantu tak tau diri," lanjut ibu mertuaku yang masih terus mencari kesalahanku.
Mendengar tentang penuturan ibu mertuaku yang mengatakan aku hanya di dalam kamar sampai sore, aku tak terima. Aku segera mengusap air mataku dan memutuskan untuk keluar dari dalam kamar.
Ternyata ayah dan ibu mertuaku sedang duduk di sofa yang tak jauh dari kamarku. Mereka melihatku yang baru keluar dari dalam kamar dengan tatapan sinis.
"Itu dia benalu keluarga kita," celetuk ibu mertua yang ditujukan padaku.
"Bu maaf, bukanya saya ingin menjadi menantu durhaka. Tapi saya hanya ingin mengingatkan Ibu jika sejak pagi saya sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mengepel lantai, mencuci baju bahkan mencuci semua baju Kakak ipar dan suaminya yang seharusnya bukan tugas saya," ucapku dengan sangat sopan.
Ibu dan ayah mertuaku tersentak melihatku yang sudah mulai berani melawan hinaan mereka.
"Kamu berani membantah ya?" balas ibu mertuaku sambil berdiri dengan mata melotot dan suaranya memekakkan telingaku.
"Saya tidak membantah Bu, saya mengatakan yang sebenarnya," balasku yang tetap bergeming, meski sebenarnya aku sangat takut.
"Kamu pikir kamu siapa. Kamu mau tinggal disini gratisan haa? bisa makan tidur seenaknya. Apa yang kamu lakukan itu sebagai bayaran karena kamu bisa tinggal di rumah saya ini," balas ibu mertuaku dengan mata yang masih melotot.
"Saya ikhlas melakukan semua pekerjaan itu Bu, tapi tolong hargai saya selayaknya menantu Ibu," ucapku yang masih terus mengungkapkan isi hatiku yang sudah aku pendam selama tiga tahun ini.
"Apanya yang perlu dihargai, kamu sama sekali tak ada harganya di mata keluarga kami. Semua anggota keluarga kami sarjana, sedangkan kamu hanya lulusan SMA, benar-benar malu-maluin keluarga kita kamu ini," ucap ibu mertuaku yang masih terus-terusan menghinaku.
"Jika disuruh memilih, saya lebih memilih tinggal di kontrakan Bu, meskipun kecil tapi saya dan Mas Miko bisa hidup tenang," balasku yang semakin membuat amarah ibu mertuaku memuncak.
"Jadi kamu merasa tidak tenang tinggal disini, kamu pikir kamu bisa merebut Miko dari kami, jangan harap. Bahkan aku akan berusaha untuk membuat Miko menceraikanmu," ucap ibu mertua yang membuatku kaget bukan kepalang.
Bagaimana bisa seorang ibu menginginkan kehancuran rumah tangga putranya sendiri.
"Bu sadarlah dengan apa yang Ibu katakan, nggak baik mendoakan hal buruk kepada anak Ibu sendiri. Berdoalah yang baik untuk kebahagiaan anak Ibu," ucapku yang terus mencoba menyadarkan ibu mertuaku yang sudah kesetanan.
"Ngak sudi aku mendoakan Miko bahagia jika dia masih bersama kamu," balas ibu mertua yang membuatku hanya bisa mengelus dada.
Aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatanku dengan ibu mertuaku, karena jika aku terus meladeninya, maka urusannya akan bertambah panjang. Ayah mertua yang melihat perdebatanku dan ibu hanya diam tanpa ikut bergabung, tapi juga tak berusaha melerai kami.
Akhirnya aku menuju ke dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk ayah mertua.
Sudah menjadi kebiasaanku, setelah jam sebelas siang aku harus membuatkan kopi hitam untuk ayah mertuaku. Meski ia juga membenciku, tapi aku tak pernah menaruh dendam padanya.
"Ini Pak kopinya, ucapku dengan sopan saat meletakkan secangkir kopi hitam di meja untuk ayah mertuaku.
Ayah mertuaku tak menggubrisku sama sekali, ia hanya sibuk membaca koran yang kebalik itu. Jangankan mengucapkan terimakasih, membalasnya saja tidak. Perlakuan itulah yang selalu aku terima, bahkan sudah seperti makanan sehari-hariku.
"Ibu mau dibuatkan minum apa?" tanyaku dengan lembut.
"Nggak sudah sok baik kamu, apa kamu mau meracuniku?" balas ibu mertuaku yang membuat aku sangat syok. Bagaimana bisa ibu mertuaku berpikir seburuk itu dengan menantunya sendiri.
Akhirnya aku kembali masuk ke kamar. Hari itu aku bisa istirahat dan tidur siang karena Lala anak Mbak Dina sedang berada di rumah orangtua Mas Dani yaitu suami Mbak Dina. Biasanya setiap hari aku yang selalu menjaga anak Mbak Dina.
Di dalam kamar aku memutar musik yang bisa memenangkan jiwaku yang sangat terguncang ini. Ragaku memang terlihat baik-baik saja, tapi jiwaku rasanya sudah sakit komplikasi akut.
Siang itu aku sedang istirahat di kamar. Setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah rasanya badan ini sangat lelah dan ingin sejenak untuk merebahkan diri di kasur yang tak terlalu empuk namun sangat nyaman untukku itu.
"Punya mantu nggak tau diri, udah numpang malah seenaknya sendiri," ucap ibu mertuaku di luar sana yang sengaja mengeraskan suaranya agar aku dapat mendengarnya.
Seketika jantungku berhenti berdetak. Memang itu bukan kali pertama ibu mertuaku berkata jahat dan menyindirku seperti itu. Sejak aku menikah tiga tahun yang lalu dengan Mas Miko, ibu mertuaku memang sangat membenciku.
Aku hanya bisa ngelus dada tiap kali ibu mertua menyindirku seperti itu.
"Coba kalo dulu Miko mau dengerin aku dan mau dijodohkan dengan Salma, pasti hidupnya akan lebih bahagia. Pasti sekarang sudah punya anak. Nggak mandul kayak istrinya itu," ucap ibu mertuaku yang membuatku sangat sakit hati.
Mengenai apapun aku bisa menahan hinaan ibu mertuaku, tapi tentang anak apalagi sampai mengataiku mandul, aku tak bisa untuk tak menangis. Di dalam kamarku, aku menangis sejadi-jadinya.
Bukannya mengakhiri hinaannya padaku, namun ibu mertuaku masih terus melontarkan kata-kata yang membuatku sangat sakit hati. Meski aku tidak berhadapan langsung dengannya, tapi aku bisa mendengar dan merasakan semua hinaan yang ibu mertuaku tujukan kepadaku.
"Punya istri miskin, nggak bisa diandelin. Bisanya cuma ngabisin uang suaminya saja," ucap ibu mertua yang masih melanjutkan hinaannya padaku.
Aku hanya bisa menangis di kamar mendengar hinaan demi hinaan yang ibu mertuaku lontarkan padaku. Di rumah ini hanya ada Mas Miko yang sangat mengertiku, tapi siang itu Mas Miko sedang bekerja, sehingga tak ada siapapun lagi yang bisa menguatkanku.
"Ada apa sih Bu?" ucap ayah mertuaku yang baru datang entah darimana.
"Itu lo Pak, saya benci banget sama istri Miko. Coba aja dulu dia mau dijodohkan sama si Salma, pasti sekarang kita sudah punya cucu," jawab ibu mertuaku kepada ayah mertua.
"Iya Bu, emang jauh sekali sama si Salma. Selain berpendidikan tinggi dia juga anak orang kaya, jadi lebih selevel sama keluarga kita. Lha yang ini, udah lulusan SMA dari keluarga miskin lagi," balas ayah mertuaku yang membuat tangisanku semakin pecah.
Bukannya menasehati istrinya, ayah mertuaku malah ikut menghinaku. Betapa sangat hancur hatiku saat itu. Tak ada tempatku untuk mengadu.
"Coba Bapak lihat, baru jam sebelas loh ini, dia malah sudah masuk ke kamarnya dan itu nanti sampai sore baru keluar setelah Miko pulang bekerja, bener-bener menantu tak tau diri," lanjut ibu mertuaku yang masih terus mencari kesalahanku.
Mendengar tentang penuturan ibu mertuaku yang mengatakan aku hanya di dalam kamar sampai sore, aku tak terima. Aku segera mengusap air mataku dan memutuskan untuk keluar dari dalam kamar.
Ternyata ayah dan ibu mertuaku sedang duduk di sofa yang tak jauh dari kamarku. Mereka melihatku yang baru keluar dari dalam kamar dengan tatapan sinis.
"Itu dia benalu keluarga kita," celetuk ibu mertua yang ditujukan padaku.
"Bu maaf, bukanya saya ingin menjadi menantu durhaka. Tapi saya hanya ingin mengingatkan Ibu jika sejak pagi saya sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, mulai dari memasak, mengepel lantai, mencuci baju bahkan mencuci semua baju Kakak ipar dan suaminya yang seharusnya bukan tugas saya," ucapku dengan sangat sopan.
Ibu dan ayah mertuaku tersentak melihatku yang sudah mulai berani melawan hinaan mereka.
"Kamu berani membantah ya?" balas ibu mertuaku sambil berdiri dengan mata melotot dan suaranya memekakkan telingaku.
"Saya tidak membantah Bu, saya mengatakan yang sebenarnya," balasku yang tetap bergeming, meski sebenarnya aku sangat takut.
"Kamu pikir kamu siapa. Kamu mau tinggal disini gratisan haa? bisa makan tidur seenaknya. Apa yang kamu lakukan itu sebagai bayaran karena kamu bisa tinggal di rumah saya ini," balas ibu mertuaku dengan mata yang masih melotot.
"Saya ikhlas melakukan semua pekerjaan itu Bu, tapi tolong hargai saya selayaknya menantu Ibu," ucapku yang masih terus mengungkapkan isi hatiku yang sudah aku pendam selama tiga tahun ini.
"Apanya yang perlu dihargai, kamu sama sekali tak ada harganya di mata keluarga kami. Semua anggota keluarga kami sarjana, sedangkan kamu hanya lulusan SMA, benar-benar malu-maluin keluarga kita kamu ini," ucap ibu mertuaku yang masih terus-terusan menghinaku.
"Jika disuruh memilih, saya lebih memilih tinggal di kontrakan Bu, meskipun kecil tapi saya dan Mas Miko bisa hidup tenang," balasku yang semakin membuat amarah ibu mertuaku memuncak.
"Jadi kamu merasa tidak tenang tinggal disini, kamu pikir kamu bisa merebut Miko dari kami, jangan harap. Bahkan aku akan berusaha untuk membuat Miko menceraikanmu," ucap ibu mertua yang membuatku kaget bukan kepalang.
Bagaimana bisa seorang ibu menginginkan kehancuran rumah tangga putranya sendiri.
"Bu sadarlah dengan apa yang Ibu katakan, nggak baik mendoakan hal buruk kepada anak Ibu sendiri. Berdoalah yang baik untuk kebahagiaan anak Ibu," ucapku yang terus mencoba menyadarkan ibu mertuaku yang sudah kesetanan.
"Ngak sudi aku mendoakan Miko bahagia jika dia masih bersama kamu," balas ibu mertua yang membuatku hanya bisa mengelus dada.
Aku memutuskan untuk mengakhiri perdebatanku dengan ibu mertuaku, karena jika aku terus meladeninya, maka urusannya akan bertambah panjang. Ayah mertua yang melihat perdebatanku dan ibu hanya diam tanpa ikut bergabung, tapi juga tak berusaha melerai kami.
Akhirnya aku menuju ke dapur untuk membuatkan kopi hitam untuk ayah mertua.
Sudah menjadi kebiasaanku, setelah jam sebelas siang aku harus membuatkan kopi hitam untuk ayah mertuaku. Meski ia juga membenciku, tapi aku tak pernah menaruh dendam padanya.
"Ini Pak kopinya, ucapku dengan sopan saat meletakkan secangkir kopi hitam di meja untuk ayah mertuaku.
Ayah mertuaku tak menggubrisku sama sekali, ia hanya sibuk membaca koran yang kebalik itu. Jangankan mengucapkan terimakasih, membalasnya saja tidak. Perlakuan itulah yang selalu aku terima, bahkan sudah seperti makanan sehari-hariku.
"Ibu mau dibuatkan minum apa?" tanyaku dengan lembut.
"Nggak sudah sok baik kamu, apa kamu mau meracuniku?" balas ibu mertuaku yang membuat aku sangat syok. Bagaimana bisa ibu mertuaku berpikir seburuk itu dengan menantunya sendiri.
Akhirnya aku kembali masuk ke kamar. Hari itu aku bisa istirahat dan tidur siang karena Lala anak Mbak Dina sedang berada di rumah orangtua Mas Dani yaitu suami Mbak Dina. Biasanya setiap hari aku yang selalu menjaga anak Mbak Dina.
Di dalam kamar aku memutar musik yang bisa memenangkan jiwaku yang sangat terguncang ini. Ragaku memang terlihat baik-baik saja, tapi jiwaku rasanya sudah sakit komplikasi akut.
Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?
Cerita ini banyak adegan panas, Mohon Bijak dalam membaca. ‼️ Menceritakan seorang majikan yang tergoda oleh kecantikan pembantunya, hingga akhirnya mereka berdua bertukar keringat.
Cerita rumah tangga dan segala konflik yang terjadi yang akhirnya membuat kerumitan hubungan antara suami dan istri
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Bermula dari kebiasaan bergonta-ganti wanita setiap malam, pemilik nama lengkap Rafael Aditya Syahreza menjerat seorang gadis yang tak sengaja menjadi pemuas ranjangnya malam itu. Gadis itu bernama Vanessa dan merupakan kekasih Adrian, adik kandungnya. Seperti mendapat keberuntungan, Rafael menggunakan segala cara untuk memiliki Vanessa. Selain untuk mengejar kepuasan, ia juga berniat membalaskan dendam. Mampukah Rafael membuat Vanessa jatuh ke dalam pelukannya dan membalas rasa sakit hati di masa lalu? Dan apakah Adrian akan diam saja saat miliknya direbut oleh sang kakak? Bagaimana perasaan Vanessa mengetahui jika dirinya hanya dimanfaatkan oleh Rafael untuk balas dendam semata? Dan apakah yang akan Vanessa lakukan ketika Rafael menjelaskan semuanya?
Kisah asmara para guru di sekolah tempat ia mengajar, keceriaan dan kekocakan para murid sekolah yang membuat para guru selalu ceria. Dibalik itu semua ternyata para gurunya masih muda dan asmara diantara guru pun makin seru dan hot.