Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Pedang Naga Siluman
Pedang Naga Siluman

Pedang Naga Siluman

5.0
45 Bab
4.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Satya Wiguna seorang pemuda yang sejak kecil hidup dalam kekurangan dan kesederhanaan, akan tetapi dia selalu memandang penuh semangat akan hidup. Dibawah bimbingan eyang buyudnya yang bernama Mbah Wiguna, diapun tumbuh menjadi seorang pemuda sederhana yang kuat dan rendah hati. Bersama beberapa sahabatnya dia kemudian telah menjelajah ke mas lampau untuk ikut berjuang menumpas kejahatan. Dan ketika kekuatan raga nya semakin mapan dan sempurna, dia telah di percaya para penghuni dunia Sukma sebagai sang Senopati perang menghadapi iblis kegelapan yang hendak menguasai dunia nyata. Dengan Pedang Naga Siluman, Satya Wiguna Harus berjuang mempertahankan alam moksa dari serangan Sang Raja Iblis kegelapan.

Bab 1 Masa masa kecil yang penuh keceriaan

Di suatu siang, di sebuah sekolah dasar negeri yang berada di sebuah desa kecil di pelosok pulau Jawa.

Anak-anak baru saja keluar dari lingkungan sekolah, ada yang berlarian dan ada yang berjalan pelan menyusuri jalanan berbatu.

Wajah-wajah polos dengan senyum dan tawa canda mengiringi langkah-langkah kecil mereka.

"Satya, nanti habis ganti baju kita kumpul di TPK ya," ajak seorang anak yang tubuhnya kerempeng dan berkulit agak hitam, Bambang namanya dan kawan-kawannya memanggilnya Bambang atau Mbang.

TPK adalah tempat penimbunan kayu milik Perum Perhutani yang ada di desa itu.

TPK ini di gunakan sebagai tempat menimbun kayu-kayu Jati ataupun kayu jenis lainnya seperti Sonokeling dan Mahoni setelah di tebang dari hutan yang ada di area tersebut.

"Baik, nanti aku yang bawa bola," jawab seorang anak lain yang bertubuh agak pendek tapi berisi, wajahnya bulat dan agak bersih kulitnya. Dia adalah anak dari kepala TPK, Ardian namanya.

"kita kumpul di TPK lor ya , dibawah pohon sawo," kata anak yang di panggil Satya tersebut, yang tampaknya memang sebagai pemimpin dari rombongan anak-anak kecil itu.

Satya ini bertubuh agak berisi dengan kulit sawo matang, wajahnya memancarkan aura ceria dan penuh semangat. tatapannya sangat tajam walaupun dia masih kecil.

Tempat penimbunan kayu ini cukup luas dan terbagi menjadi dua lokasi. TPK lor (utara) dan TPK kidul (selatan).

Luas tempat penimbunan kayu ini kira-kira empat sampai lima hektar, terpisah menjadi dua karena dibelah oleh jalanan desa yang menghubungkan antara Desa Landoh dengan desa dan padukuhan lainnya.

Dalam lingkungan TPK sendiri terdapat pohon-pohon Mindik (Munggur) yang berukuran sangat besar yang menurut orang orang tua di sekitar tempat ini di tanam pada masa penjajahan Belanda, jadi umurnya pasti sudah ratusan tahun.

Ukuran pohon-pohon di dalam area tempat penimbunan kayu hasil hutan ini mencapai diameter dua sampai tiga meter dengan ketinggian mencapai kurang lebih tiga puluh meter, sehingga tempat ini menjadi teduh dan nyaman untuk beraktivitas.

Jumlah pohon-pohon yang sangat besar cukup banyak , ada puluhan dengan diameter yang rata-rata sangat besar lebih dari satu meter, sehingga hampir setiap sudut tempat ini sangat teduh dan rindang.

Anak-anak yang lain segera menyanggupinya untuk berkumpul sehabis berganti baju dan makan siang.

Mereka berjalan sambil bersenda gurau, dan tanpa terasa sampailah di jalan raya beraspal yang melintasi desa tersebut. Itu adalah sebuah perempatan besar.

Jalan beraspal menghubungkan antara dua kabupaten. Kabupaten Rembang dan Blora.

Sedang jalanan yang belum beraspal menghubungkan antar desa yang satu dengan desa yang lainnya.

Dijalan ini rombongan anak-anak mulai terpisah, sebagian berbelok kekanan menyusuri jalan raya.

Diantara yang belok kekanan adalah Bambang, Yon, To, Andri dan masih banyak lagi.

Sebagian berbelok ke kiri juga menyusuri jalan raya menuju ke dukuh Jangglengan diantaranya Tris dan Sutar.

Adapula yang rumahnya tepat di perempatan desa tersebut , Likin namanya, anak Pak Salim. Seorang Kyai di Desa Landoh.

Satya dan sebagian anak menyeberang jalan raya tersebut dan berjalan lurus menuju dusun lainnya lagi.

Rumah Satya sendiri terletak tidak jauh dari perempatan jalan tersebut dan berjarak lima puluhan meter saja dari TPK.

Salah satu sahabat Satya rumahnya di dalam komplek TPK dan berdekatan dengan rumah Satya, hanya berjarak lima puluh meteran saja. Hartono namanya, anaknya putih bersih dan agak kecil mungil.

Ketika Satya sampai di depan rumah yang sangat sederhana dan berdinding anyaman bambu (gedeg, bahasa Jawa) Satya segera pamit pada kawan-kawannya.

"Duluan ya !" seru Satya sambil melambaikan tangan pada kawan-kawannya.

Ardian, Hartono, Masruf , Ngali dan lainnya segera melanjutkan perjalanan nya bersama kawan-kawan yang lain yang rumah nya di dukuh paling jauh yaitu Dukuh Kedung Lawa.

Baru beberapa langkah kedepan, Hartono juga sudah sampai di depan rumahnya yang berada di dalam komplek tepeka.

Antara rumah Satya dengan tepeka sendiri terpisahkan oleh rel kereta api yang menghubungkan Kota Rembang dan Kota Blora.

Rumah Ardian ada di sebelah barat TPK, masih masuk komplek TPK dan merupakan rumah dinas milik Perhutani. Karena Ayahnya seorang Sinder atau Asper (asisten perhutani) yang mengepalai TPK.

Satya segera mengucap salam, akan tapi tidak terdengar sahutan dari dalam rumah. Dia segera mendorong pintu dengan tangannya yang kecil.

Ditaruhnya tas sekolahnya dan di gantinya seragam merah putih yang di kenakannya dengan kaus dan celana hariannya yang telah usang.

Setelah usai berganti baju dia kebelakang ke kiwan (kamar mandi) untuk membersihkan diri.

Jangan bayangkan kamar mandi nya tertutup rapat dan ada airnya melimpah ruah seperti sekarang ini.

Kamar mandi ini hanyalah terlindungi dari gedeg yang sudah tua dan rapuh tanpa ada atapnya.

Di dalamnya pun tidak ada wastafel, bak mandi ataupun bathup, yang ada hanyalah sebuah gentong dari tanah liat sebagai tempat air untuk kepentingan mandi dan lain sebagainya.

Setelah membersihkan dirinya, Satya kembali ke dalam rumah, di carinya makanan di lemari makanan.

Ternyata memang ibu sudah menyiapkan nasi beserta sambal kesukaannya tanpa lauk apapun, karena memang hanya inilah yang mampu di makan oleh keluarga ini.

Satya makan dengan lahapnya walaupun hanya nasi dan sambal belaka. Usai makan Satya mengambil perlengkapan mainnya.

Sebuah ketapel ataupun plinteng (blandring) dikalungkan di lehernya.

Satya adalah seorang anak yang mandiri, segala mainan bisa di buatnya dengan tangan-tangan kecilnya yang terampil.

Dia segera menutup pintu tanpa di kunci dan berlari-lari kecil ke tepeka tempat janjian dengan teman-teman kecilnya.

Dan siang itu, di tempat nyang agak lapang dalam naungan pohon Mindik yang sangat besar dengan daun-daun yang rindang melindungi badan anak-anak kecil itu dari sinar matahari terik yang menyengat.

Dengan teriakan-teriakan kas anak-anak kecil dengan serunya bermain bola.

Dua kelompok berhadap hadapan saling memperebutkan bola.

Ardian dengan tubuh mungilnya meliuk-liuk melewati lawan-lawannya dengan lincahnya.

Walaupun bertubuh kecil mungil Ardian sangat lincah menghadapi kawan-kawannya yang bertubuh lebih besar.

Tiap ada pertandingan melawan anak-anak dari dukuh lain, Ardian selalu menjadi momok bagi lawan-lawannya, tak ada yang bisa menghentikannya. dia adalah penyerang tangguh.

Ketika siang sudah berganti sore hari dan permainan bola sudah usai anak-anak kecil tersebut berjalan keluar komplek tepeka dan berlarian di pematang sawah menuju sungai yang jaraknya kurang lebih satu kilometer.

Mereka berlari dengan riang gembira diselingi tawa canda khas anak-anak.

"Ayo kita ke Watu Gajah saja!" Ajak Satya pada kawan-kawannya ini.

Ada beberapa lokasi sungai yang menjadi favorit anak-anak buat mandi dan bermain di sungai. Salah satunya adalah Watu Gajah, karena ada batu yang cukup besar menjorok ke sungai sehingga dinamakan Watu Gajah.

Tempat lain yang jadi favorit untuk bermain adalah di bawah jembatan dan juga kedung (bagian sungai yang dalam).

Lokasinya dekat sawah milik pak Mo'in, sehingga di beri nama kedung Pak Mo'in.

Setelah sampai di pinggiran sungai, anak-anak kecil tersebut segera melepas semua pakaian yang di kenakan, mereka telanjang bulat.

Mereka berlomba-lomba meloncat dari ketinggian batu yang menonjol tersebut

"Byur, byur, byur!" tiga anak sekaligus melompat terjun ke sungai yang beraliran cukup deras.

Sore itu mereka bermain di sungai dengan riangnya. Mereka tidak takut akan tenggelam karena mereka adalah perenang-perenang otodidak.

Begitulah dalam keterbatasannya Satya tumbuh menjadi anak yang kuat dan mandiri.

Ketika malam telah tiba, Satya akan di jemput oleh kakek buyutnya yang bernama Mbah Wiguno, seorang kakek yang sudah sangat tua, usianya sudah mendekati seratusan tahun, tapi masih terlihat kuat dan cekatan.

Ayah Satya sendiri jarang pulang kerumah, entahlah apa yang dikerjakan di luaran, Satya tidak mengetahuinya.

Ketika Satya di jemput oleh kakek buyutnya, ibunya Satya pun mengijinkannya.

Kakek buyut Satya ini adalah ayah dari kakeknya yang sudah tiada, meninggal karena sakit.

Malam ini Satya diajak oleh Mbah Wiguno kearah sungai di bawah jembatan kereta.

Daerah ini di kenal oleh penduduk desa tersebut dengan nama Klamping, itu merupakan sebuah lembah kecil dimana aliran sungai nya cukup dalam dan dipercaya di daerah tersebut sangat angker dan wingit.

Diatas Klamping ini ada gumuk (bukit) kecil yang di tumbuhi tanaman perdu dan semak-semak belukar, tampak seperti hutan kecil.

Dan di gumuk kecil ini masih banyak di jumpai ayam hutan dan juga landak.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY