/0/12949/coverbig.jpg?v=5723093967f7f2da9e7b69acf251f990)
Fiona Larasati tidak pernah menduga bahwa rumah tangga idealnya akan disusupi oleh orang ketiga. Padahal selama ini dia sudah belajar memasak demi bisa menjaga perut suaminya. Dia juga belajar berdandan demi bisa selalu tampil cantik di depan suaminya. Dia bahkan rutin berolahraga, dan menjaga pola makan demi mempertahankan tubuhnya agar tetap ramping dan sehat. Akan tetapi, orang ketiga itu tetap hadir di dalam rumah tangganya. Dan orang itu, masih seorang ipar dari suaminya sendiri. Marah? Benci? Tentu saja perasaan itu memenuhi hati Fiona ketika dia memergoki sang suami, dan selingkuhannya sedang berguling di atas ranjang yang sama. Apalagi ketika mertuanya justru merestui hubungan sang suami dengan selingkuhannya dengan begitu mulus. Untuk semua pengorbanan yang telah Fiona lakukan dalam pernikahan ini, mana mungkin dia akan diam saja, bukan? Tapi tunggu dulu. Fiona harus mempersiapkan pembalasan tersebut dengan baik dan hati-hati atas semua kerugian yang ia dapatkan. Tunggu saja.
"Fi, Ibu liat kamu kayaknya belum isi ya?"
Fiona meneguk teh hangatnya dengan susah payah ketika mendengar pertanyaan ini lagi. Semenjak memasuki tahun ketiga pernikahan, pertanyaan ini tidak pernah absen ditanyakan oleh seluruh anggota keluarga suaminya. Terutama sang ibu mertua. Fiona sampai bosan mendengarkan.
"Fio juga maunya cepat hamil, Bu. Tapi Allah 'kan belum ngasih," jawab Fiona sekenanya. Hatinya teriris setiap kali dia mengulang kalimat yang sama untuk yang kesekian kali.
Kenapa sih orang-orang tidak bisa mengerti bahwa kelahiran, kematian, dan rezeki itu hanyalah kuasa Tuhan. Sedangkan manusia hanya bisa berusaha. Apa orang-orang ini pikir dia tidak ingin memiliki keturunannya sendiri?
Orang-orang ini tidak tahu saja bahwa bahkan ditengah kesibukannya, dia sudah pernah menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya. Dia pun takut jika ternyata masalah terdapat pada dirinya sendiri. Namun, tidak!
Dokter mengatakan bahwa dia sehat dan tak ada masalah. Bahkan menyarankan agar dia tidak berhenti berusaha.
See, hal-hal tentang anak tidak bisa kamu paksakan hanya karena kamu menginginkannya, bukan?
"Kamu gak mandul 'kan, Mbak?"
Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba terlontar dari bibir adik iparnya di hadapan anggota keluarga yang lain membuat Fiona terperangah. Dia tidak langsung menjawab. Dalam kondisi ini dia hanya bisa mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang keluarga. Sepasang netra hitam kelamnya mencari-cari sosok sang suami untuk meminta bantuan, tapi nihil. Sejak tadi dia tidak menemukan keberadaan Mas Jaya di ruangan ini.
"Jangan bilang kamu beneran mandul?!" nada suara mertuanya terdengar meninggi.
Sepertinya aksi diamnya membuat wanita paruh baya ini mengambil kesimpulan sendiri. Bahwa diamnya Fiona berarti membenarkan dugaan bahwa dia memang mandul.
Fiona mengirim delikan tak puas pada Aruna, adik iparnya yang baru saja mengenal bangku perkuliahan itu. Sebelum kemudian dia sendiri menghela nafas pelan. "Fio sih udah periksa ke dokter. Dan dokter bilangnya Fio sehat-sehat aja. Tapi enggak tau nih sama Mas Jaya, gak pernah mau diajak periksa bareng," ungkap Fiona dengan nada halus sambil menatap penuh arti pada mertuanya.
Tapi siapa yang tidak tahu, nada santai dan tutur kata sopan yang dia lemparkan mengandung sindiran yang bahkan tidak tersamarkan. Beberapa orang di ruang keluarga yang memiliki pikiran terbuka bisa menebak indikasi dari ucapannya itu.
"Jadi maksud kamu, yang mandul itu Jaya?!" desis mertuanya tampak tidak terima. Bahkan mata keriput wanita itu melotot lebar padanya.
Fiona hanya tersenyum menanggapi. "Fio enggak pernah ngomong gitu," balasnya dengan acuh tak acuh. Tapi dalam hati, entah sudah berapa kali dia merutuki suaminya yang tidak kunjung muncul disepanjang dia diinterogasi oleh mertuanya ini.
"Ini pasti karena kamu terlalu kecapekan setiap kali pulang kerja. Kamu harusnya di rumah aja, fokus urus rumah, dan urus suami. Cukuplah suami kamu yang cari nafkah," tukas ibu mertuanya dengan nada jumawa.
Fiona hampir mendengus mendengar ucapan mertuanya itu. Mengandalkan gaji dari Mas Jaya? Kecuali ibu mertuanya tidak minta jatah gaji suaminya, mungkin Fiona akan menuruti saran ini. Tapi sepertinya sang mertua lupa, bahwa lebih dari setengah gaji suaminya itu masuk ke dalam kantong mertuanya ini.
Tentu saja Fiona tidak mengutarakan keluhannya. Dia malas harus berdebat dengan orang tua, toh ujung-ujungnya tetap dia yang akan dipersalahkan.
Lagipula tujuannya untuk bekerja selain untuk menutupi kekurangan nafkah yang diberikan Mas Jaya, dia juga tidak mau hidup terlalu bergantung dari keringat suaminya. Kepalanya pusing jika harus memikirkan semisal akun bank-nya yang menipis apalagi sampai kosong. Lebih penting lagi, dia pasti muak jika harus mengiba pada Mas Jaya agar diberikan jatah lebih tiap bulan. Suaminya itu tidak akan menggubris keluhannya. Karena bagi Mas Jaya, kebutuhan ibu dan adiknya jauh lebih penting daripada kebutuhan dapur mereka sendiri.
Setidaknya dengan memiliki gaji sendiri, Fiona bisa bebas membeli segala kebutuhannya tanpa harus pusing-pusing menunggu untuk dinafkahi.
"Gimana saran Ibu? dari tadi diam aja, mbok ya dijawab," teguran ibu mertuanya menyadarkan Fiona dari segala macam isi pikirannya.
"Maaf, Bu. Fio gak bisa berhenti kerja," jawab Fiona dari balik gigi yang terkatup rapat.
Setiap kali mertuanya mulai membicarakan anak dan kehamilan, sang mertua selalu lari ke pembahasan seputar pekerjaannya. Apa sih yang salah dari seorang istri yang bekerja? Toh dia masih menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Dengan dia bekerja, suaminya tidak serta merta dia telantarkan.
Dia masih menyiapkan pakaian kerja dan sarapan pagi untuk mereka sebelum berangkat kerja. Sepulang kerja dia juga masih menyempatkan diri untuk menyiapkan makan malam sendiri. Belum lagi jika suaminya ingin bercinta dengan berbagai macam gaya, dia masih bisa meladeninya. Lebih penting lagi, dia tidak banyak mengeluh ketika suaminya memberi nafkah seadanya. Dan suaminya sendiri tidak pernah komplain tentang pekerjaannya. Jadi kenapa ibu mertuanya begitu getol ingin dia menjadi ibu rumah tangga?
"Kamu itu memang susah sekali diatur ya. Enggak kayak Zoya!"
Fiona memutar mata dalam hati. Inilah alasan kenapa dia terkadang enggan mendekatkan diri dengan keluarga suaminya. Dia benci harus disudutkan seperti ini setiap kali mereka berkumpul. Apalagi jika dia sudah dibanding-bandingkan dengan ipar suaminya itu.
"Zoya itu ya, dia pandai ngurus rumah. Pandai juga ngurus suami,"
Fiona mengangguk kecil sebagai tanggapan. "Ngomong-ngomong, Fio kok gak liat Mbak Zoya dari tadi?" tanya Fiona.
Sebenarnya dia tidak benar-benar ingin tahu dimana ipar suaminya itu berada. Dia hanya berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Zoya pasti lagi sibuk ngurus anaknya! emang kamu ... " balas mertuanya dengan ketus.
Fiona menggelengkan kepala melihat tingkah tak masuk akal mertuanya ini. Padahal mertuanya ini sudah memiliki empat orang cucu yang masih kecil-kecil. Dua dari almarhum Mas Agung dan Mbak Zoya. Dua lagi dari Mas Fadli dan Mbak Arum. Kenapa pula dia masih didesak untuk buru-buru punya anak? Ini tidak seperti mertuanya akan membantu mereka mengurus anak-anak mereka.
Setelah menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan, Fiona memutuskan untuk beranjak dari sofa yang dia duduki.
"Kamu mau kemana?" tanya ibu mertuanya yang semakin tidak puas ketika melihat tindakan Fiona yang hendak kabur dari interogasinya.
"Mau ke kamar, kepala Fiona pusing," jawab Fiona beralasan sambil berjalan menjauh dari ruang keluarga itu.
Fiona langsung berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kamar suaminya berada. Dia ingin istirahat, pertanyaan mertuanya sungguh telah menguras seluruh energinya.
Namun, belum sempat Fiona membuka pintu kamar, desahan samar dari balik pintu itu tertangkap indera pendengarannya.
Deg,
Jantung Fiona menghentak dengan kencang. Pikiran buruk seketika melintas dalam benaknya.
'Eihh. Enggak mungkin!' batinnya.
* * *
Jika bukan karena wajah sang suami yang begitu mirip dengan bapak mertua, Astri akan beranggapan bahwa suaminya itu adalah anak pungut. Sebab, begitu berbedanya perlakuan sang mertua pada suaminya. Hal ini kerap kali membuat Astri bertanya-tanya, ada apa gerangan? Apa kesalahan yang telah dilakukan suaminya hingga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang tuanya sendiri? Namun, melihat kesabaran sang suami menghadapi semua perlakuan tidak adil orang tuanya, Astri hanya bisa mengikuti. Untungnya sang suami bukanlah orang yang mudah putus asa hanya karena diperlakukan dengan tidak adil. Mas Ruslan selaku suaminya ternyata sudah sejak lama mulai mengumpulkan pundi-pundi uang di belakang punggung orang tua yang tidak pernah menghargainya itu. Hal yang sama juga dilakukan oleh Astri. Hingga di mata mertua, mereka hanyalah orang miskin yang tak berarti. Tetapi karena suatu peristiwa yang melanggar garis bawahnya, Astri mulai merasa muak menjadi orang yang selalu tertindas. Keinginan untuk memberontak pun perlahan muncul di dalam hatinya. "Lalu lakukan apa yang menurut kamu benar, Tri. Asal jangan sampai ibu sama bapak masuk rumah sakit aja," ujar Mas Ruslan memberi dukungan. "Jangan khawatir, Mas. Aku cuma mau kasih syok terapi sedikit aja!" jawab Astri dari balik senyum liciknya. Bagaimana lika-liku keluarga kecil Astri dalam menghadapi ketidakadilan yang diterima di dalam keluarga sang suami?
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
(Cerita mengandung FULL adegan dewasa tiap Babnya Rated 21++) Bertemu di kapal pesiar membuat dua pasangan muda mudi memiliki ketertarikan satu sama lain. Marc dan Valerie menemukan sosok yang berbeda pada pasangan suami istri yang mereka temui secara tidak sengaja di kapal pesiar. Begitu pula dengan Dylan dan Laura merasakan hal yang sama kepada Marc dan Valerie. Hingga sebuah ide tercetus di pikiran mereka karena rasa penasaran yang begitu besar. “Sayang, hanya satu hari, haruskah kita bertukar pasangan dengan Valerie dan Marc?” ucap Dylan menatap sang istri. Bagaimanakah kelanjutan kisah mereka? Apakah perselingkuhan ini akan berakhir atau membawa sebuah misteri kehidupan baru bagi kedua pasangan ini...
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."