"Kau masih melakukan itu?"
"Melakukan apa?"
Harry mendesah pelan. "Loncat loncat seperti ninja." Ucapan pria 37 tahun itu membuat Kenath tertawa.
"Mau bagaimana lagi?" Tangan pemuda itu merangkul pria yang tingginya lebih pendek dari dia.
"Kau sudah menemui ibumu bulan ini?" Keduanya berjalan beriringan di sepanjang jalan itu.
Kenath tersenyum memandang langit yang sedikit mendung. "Belum."
Harry melepaskan rangkulan pemuda itu. "Dengar dengar, kau ingin pindah?" tanya Harry, "ke mana?"
Kenath menoleh ke arah Harry lalu menjawab, "Astarasidhi." Pemuda itu tersenyum kembali. Namun tidak setinggi tadi. "Aku akan tinggal di rumah milik kakek."
"Apa masih layak dihuni?" Harry menatap Kenath tidak yakin. "Pasti sudah lama sekali tidak diurus."
Kenath kembali mengalihkan pandangannya. Kedua tangan pemuda itu dimasukkan ke dalam kantung celana. "Tidak apa-apa, aku pandai memperbaiki sesuatu."
Kenath tertawa kecil mendengar decihan dari Harry. Pria itu menatap Kenath penuh harap. "Aku harap kau dapat melawan perasaan itu."
"Hmm."
Langkah Harry terhenti di depan sebuah rumah sederhana berwarna biru. "Aku bersungguh-sungguh, Kenath."
"Semoga." Kenath tersenyum kecil.
"Kapan kau akan pindah?" tanya Harry.
"Besok mungkin."
Harry menghela napasnya. "Aku tidak dapat membantumu, besok ada perayaan ulang tahun sepupu Lidia."
Kenath tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak Harry. "Tidak apa, aku bisa melakukannya sendiri. Berikan salamku untuk bibi Lidia."
"Iya, pasti." Tatapan pria itu mengarah pada langit ketika merasakan satu tetesan air di wajahnya. "Sepertinya sebentar lagi akan hujan, kau mau mampir dulu?" Terlihat jelas raut khawatir Harry. Orang yang dia khawatirkan justru menggeleng dengan senyum di wajahnya.
"Aku masih ingin berkeliling untuk terakhir kalinya di sini."
"Kau yakin?"
Kenath mengangguk, dan pergi meninggalkan pria itu dengan raut wajah cemas masih tergambar di sana.
Napas pemuda itu mulai tak beraturan, seiring angin kencang mulai menyapa pori-pori nya. Dia menghela napas berat, melepaskan segala beban yang menumpuk di jiwanya.
Saat Kenath melewati sebuah halte bus, di kawasan sepi Kota Nebula. Tatapannya terkunci pada seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang tak beraturan lagi.
"Kau tidak melihat berita?" tanya Kenath yang kini sudah berada di hadapan gadis itu, "halte ini sudah diberhentikan oprasionalnya perhari ini."
"Aku tahu."
"Lalu kenapa masih di sini?"
"Aku ingin di sini menunggu ajal menjemput."
Kenath terdiam sejenak dengan tatapan datarnya. Dia memandangi gadis itu dari atas sampai bawah, keadaannya sangat kacau sekali.
"Kenapa? Kau tidak takut dengan kematian dan neraka?"
Gadis itu menatap langsung ke mata coklat itu. "Kenapa harus takut? Hidupku saat ini sudah seperti neraka."
"Baiklah." Kenath mengangguk. "Akan ku percepat prosesnya."
.
.
.
"Hey, hey. Kau sudah mendengar berita itu?"
Sekumpulan ibu-ibu tengah bergerumung di depan sebuah rumah bercat hijau. Beberapa dari kumpulan ibu-ibu itu memakai jaket tebal, karena pagi ini cukup dingin karena langit yang mendung.
"Ada seorang gadis terbunuh dalam posisi terduduk di halte," ujar seorang wanita berambut panjang tergerai dengan dress polkadot yang dia kenakan, "kata suamiku, lehernya robek dibagian depan, dan darahnya keluar deras dari sana." Wanita itu memeluk dirinya sendiri seraya bergidik ngeri.