/0/14164/coverbig.jpg?v=0287960c0bcd85b90d6e21b8a798d1df)
Candy tak sengaja menemukan seekor kucing lucu, namun di tengah kebahagiaannya mendapatkan kucing yang lucu dan cantik dari jalanan tersebut, kehidupannya mulai berubah. Ternyata kucing tersebut merupakan seorang pangeran yang dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Hingga kutukannya tersebut menghilang karena ketulusan dari Candy yang merawat kucing tersebut. Akan tetapi saat bibit cinta dalam hati keduanya mulai mekar, mereka dihadapkan pada suatu hal yaitu perbedaan dimensi keduanya, lantas bagaimana cerita selanjutnya?
Sepulang sekolah aku harus berjibaku dengan tugas piket esok hari bersama Riya, teman sebangku ku yang selalu menemaniku setiap jadwal piket."Candy ayo pulang, lihat sudah mulai mendung tuh," ujar Riya dengan nada kesal karena piketku belum juga selesai."Sedikit lagi, Ya. Kalau kamu mau pulang duluan tidak mengapa, toh sebentar lagi aku juga segera meninggalkan kelas dan pulang," tawarku kepada temanku yang selalu bawel saat aku lelet.
"Hah, iya deh aku tunggu saja, nanti anak orang diculik peri penunggu pohon toge bisa berabe," candanya kepadaku sambil menirukan drama di televisi.
Aku pun meletakkan sapu dan kembali dengan memakai tas di pundakku.
"Ayo pulang!" ajak ku kepada Riya yang memang rumah kami satu arah.
Kami menunggu bus yang sering lewat di depan sekolah, biasanya akan lenggang jika saat aku pulang agak belakangan.
Namun entah kenapa hari ini rasanya bus selalu penuh sesak, tidak ada cara lain selain nekat dan berdesakan di ambang pintu.
"Kampung hijau.. Kampung hijau," teriak kernet yang kini mendekat ke arah kami.
"Kita naik saja yuk, Ya, sebelum nanti kita telat pulang karena kelamaan nunggu bus lenggang," ajak ku kepada Riya yang tampaknya sedikit kesal, namun dia mengangguk mengiyakan.
Sebelah tanganku melambai ke arah bus yang akan mendekat ke arah kami.
"Hati-hati Neng, dan yang lain agak ke dalam agar bisa kebagian tempat," pinta pak kernet yang mengatur tempat kami berdua berdiri.
"Terima kasih, Pak," sahutku dengan nada sopan.
'Mungkin dengan begini aku bisa segera kembali ke rumah tepat waktu,' batinku yang sebenarnya juga kesal namun terpaksa.
Hujan mulai turun dengan derasnya, untungnya aku dan Riya sudah mendapatkan tempat duduk karena banyak yang sudah turun.
"Pak, kampung hijau ya," pintaku sambil memberikan beberapa lembar uang pecahan seribuan kepada pria paruh baya di depanku.
"Oke, Neng. Hati-hati saat turun, jalannya licin," ujar pak kernet ramah kepadaku.
"Iya, Pak."
Saat aku hendak turun, aku berkata dengan Riya, "Aku turun duluan ya."
Riya hanya mengangguk dan tersenyum manis ke arahku.
Bus akhirnya berhenti di salah satu kedai yang sering ramai dikumjungi kaum muda sepertiku saat sepulang sekolah. Aku melangkah turun dengan hati-hati dan berteduh sebentar untuk mencari payung lipat yang selalu aku bawa ketika musim hujan tiba.
"Untung masih ada jimat keberuntungan," ocehku seorang diri di kursi panjang yang tidak jauh dari kedai kopi tersebut.
"Candy, mampir dulu," teriak wanita paruh baya yang merupakan pemilik kedai kopi tersebut.
"Terima kasih, Mbok Nana. Aku harus segera pulang, takut dicariin karena tidak bawa ponsel tadi," sahutku jujur karena pagi tadi terburu-buru saat jam hampir pukul tujuh pagi.
"Ya sudah hati-hati ya, Nak."
Saat aku ingin melangkah dan bersiap menembus hujan yang lebat dengan payung antik kesayanganku, kucing kecil lucu berbulu halus mendekati diriku.
"Kamu pasti kehilangan indukmu ya?" tanyaku pada binatang yang jelas-jelas tidak bisa berbicara bahasa manusia.
'Ingin aku tinggalkan tapi kasihan, tapi kalau aku bawa nanti kamu makan apa?' batinku berkecamuk.
Melihatnya yang begitu sangat menyedihkan dan kedinginan, akhirnya aku meminta Mbok Nana sebuah kantong kresek warna hitam.
"Buat apa, Neng!" tanya wanita paruh baya itu dengan raut wajah bingung.
"Untuk ini, Mbok," jawabku sambil menyengir.
Mbok Nana tertawa melihatku yang begitu polos saat ingin membawa kucing yang kutemukan di luar kedai tadi.
"Harusnya bukan itu, Nak!" ucap wanita paruh baya yang tertawa melihatku.
Dia menyodorkan sebuah benda dan membuatku semakin melongo.
Wanita paruh baya itu memberikanku sebuah tas besar, tas belanjanya yang sering dia gunakan saat ke pasar membeli bahan untuk kafenya.
"Mbok ih, yakali kucing imut ini dimasukkan ke dalam tas belanja, bukannya tambah aman tapi makin basah nanti kena air," ujarku dengan menggendong kucing imut yang nyaman di pelukanku.
"Bercanda, Neng. Lagian dibawa seperti itu juga gak masalah, Neng. Daripada nanti dikira sama Bunda gorengan tempe dan kawan-kawan," ujar Mbok Nana setengah tertawa.
"Iya juga sih, Mbok. Ya sudah aku pulang dulu ya Mbok."
Aku menggendong kucing lucu yang kedinginan karena kehujanan dengan hati-hati, sambil terus membawa payung yang melindungi ku dan kucing itu dari hujan.
"Tunggu sebentar lagi ya, kita akan segera sampai rumah," menolongku berbicara dengan kucing lucu itu.
"Anak gila, bicara sama kucing," sindir Wahyu-anal orang kaya yang tidak punya sopan santun.
"Hah, jangan dengerin ucapan besarnya, tubuhnya saja yang besar tapi otaknya gak ada," oceh ku mencibir Wahyu yang berlalu memakai jas hujannya.
Entah apa yang terjadi, aku melihat pemuda bertubuh gembul itu nyungsruk ke sawah milik orang yang baru ditanami padi.
"Duh itu gak di tolongin kasihan, tapi dilihat juga bikin sakit perut," kataku sambil menertawakan pemuda yang tadi mengejekku dengan sebutan gila.
Dari arah berlawanan, ada bapak-bapak yang lewat dan membantu Wahyi dari kubangan lumpur.
"Ya ampun, mirip pisang coklat," ucapku lirih dan menahan tawa. Sedangkan kucing di dekapanku tampak juga setuju dengan apa yang aku katakan.
"Eh, hujannya padahal belum berhenti, kenapa aku malah melihat adegan nyungsruk itu. Kalau gak kena omel Bunda aku."
Dengan kecepatan kilat, aku lari menerjang rintik hujan sambil membawa kucing yang kehujanan tadi.
Di depan rumah tampak Bunda melihatku dengan tatapan khawatir, detik kemudian telingaku kena jewer Bunda yang mode singa.
"Kamu dari mana saja, Can. Lihat nih sudah hampir sore, hujan lebat malah keluyuran kesana kemari. Dan itu kenapa bawa kucing segala," omel Bunda yang melihatku dengan pakaian kotor, basah, serta ditambah lagi tadi masih tugas piket.
"Maaf, Bunda. Tadi aku masih piket kelas, biar besok gak usah lagi berangkat pagi," ucapku dengan jujur.
"Ya sudah masuk dan mandi, jangan lupa cuci seragam sekolahmu agar tidak meninggalkan bercak bintik hitam seperti dosa."
Bunda mencoba melucu, namun yang ku dengar malah terdengar garing dan tidak tepat.
Selesai bersih-bersih aku menemui Bunda yang berada di ruang tamu, menonton siaran ikan terbang kesukaannya.
"Bun, aku boleh meminta sesuatu gak?"
Atensi Bunda kini menghadap kearahku.
"Kamu mau minta apa, Nak?" tanya Bunda lembut. Wanita paruh baya itu selalu menyempatkan diri untuk mendengar keluh kesahku setiap hari.
"Bunda, bolehkah aku merawat kucing lucu ini, tadi aku melihat dia kedinginan di luar sana dan tidak punya tempat tinggal."
Tampak Bunda ingin menyampaikan jawabannya, namun aku segera memotong dulu, "Jika tidak boleh dipelihara, aku juga tidak masalah kok, Bun," kataku dengan nada lirih.
"Nak, dengar dulu kata, Bunda. Kamu boleh memelihara kucing ini, tapi ingat beri dia makan juga."
"Beneran, Bun?" tanyaku dengan nada senang tak terkira.
'Tak ku sangka ternyata Bunda mengizinkanku memelihara kucing lucu ini,' batinku bersyukur dalam hati.
"Kamu tahu 'kan apa saja yang harus diperhatikan jika punya hewan peliharaan?" tanya Bunda kepadaku.
Sejenak aku berpikir lalu tersenyum.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Amanda merasa sedikit kesepian, meskipun ia menikmati momen-momen sendirinya. Ia memandang ke arah rumah tetangganya yang tampak sepi. Rumah itu milik keluarga Raka dan Laila. Raka adalah seorang pria yang tampan dan karismatik, sementara Laila adalah wanita yang cantik dan ramah. Mereka adalah pasangan yang sempurna di mata orang-orang di sekitar mereka.
Sejak kecil Naura tinggal bersama dengan asisten Ayahnya bernama Gilbert Louise Tom, membuat Naura sedari balita sudah memanggilnya "Dady". Naura terus menempel pada laki-laki yang menyandang gelar duda tampan dan kekar berusia 40 tahun. Diusianya yang semakin matang laki-laki itu justru terlihat begitu menggoda bagi Naura.
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...