Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.
Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.
"Penghuluin orang mulu, Pak. Kapan nih, menghuluin diri sendiri?" tanyaku membuat semua orang di sini terkekeh.
"Mana bisa menghuluin diri sendiri, Ayu. Aneh kamu," kata Teh Rianti. Dia pengantin yang siap menikah.
Aku hanya diam dan tersenyum sembari mencuri pendangan ke arah penghulu muda dihadapan.
"Pak, manis banget, sih. Waktu diproduksi dulu, pake berapa kilo gula?" Bisikanku tidak keras tapi terdengar oleh semua orang yang berada di ruang tengah. Ibu yang ada di sebelahku sampai harus mencubit lengan ini tetapi gombalan barusan berhasil membuat mereka tertawa. Termasuk ibu yang sudah mencubit lenganku.
"Bisa kita mulai acaranya?" tanya Penghulu.
Huh, dia biasa aja bahkan gak senyum sama sekali dari tadi. Apa dia ini aktor drakor yang lagi cosplay jadi penghulu?
Acara ijab qobul pun dilaksanakan setelah sambutan singkat oleh calon suamiku. Eh, penghulu itu maksudnya.
"Pak, Pak Suami, eh. Pak penghulu siapa sih, namanya?" Kini Lia, tetangga sekaligus teman masa kecilku menggeleng pelan. Untung ibu sudah keluar duluan. Kalo enggak, entah aku akan dia apakan.
"Nama saya Jibril Mubarak," jawabnya.
"Wah, namanya seperti malaikat penyampai wahyu. Berarti bisa, dong, Pak sampein ke calon suami saya kapan dia datang?"
"Apa kamu belum menikah?" tanya dia lagi. Sekarang penghulu itu mendekat ke arahku.
"Belum." Aku memasang wajah memelas. Ya, siapa tahu dia mau menyumbangkan diri untuk menjadi imamku.
"Kasian, deh, loe."
Sontak aku membulatkan bibir. Hampir kuangkat kepalan tangan padanya, tetapi kutahan kuat-kuat. Untung ganteng.
"Kena mental, kan, makanya jangan ganjen." Kini Lia yang tengah sibuk membereskan ruangan bekas ijab qobul kakak perempuanku ini ikut bicara.
"Diam kau, Markonah. Aku tidak butuh pendapatmu."
Masih belum menyerah, aku mengikuti penghulu itu keluar ruangan. Wajah yang tersorot cahaya, benar-benar membuatku meleleh.
"Pak, Pak," panggilku. Dia pun seketika menoleh.
"Kenapa lagi?"
"Boleh minta nomer HP-nya nggak?"
"Buat apa?"
"Buat temen chating. Ya, siapa tau Bapak butuh temen chating yang cerewet kaya aku."
"Yang ada HP-ku nanti panas kalo setiap hari dengar suara kamu." Dia pun pergi begitu saja setelah memakai sepatu.
Tak menyerah, aku pun mengikutinya ketika melangkah ke meja prasmanan. Aku berlari kecil dengan mengangkat sedikit rok kebaya coklat. Aku pun beridri tepat di belakangnya.
"Ayolah, Pak. Boleh, ya. Itung-itung, sodakoh sama orang yang tidak mampu seperti saya."
"Dari tampilan kamu, saya nggak yakin kalau kamu tidak mampu."
Pak Jibril menoleh kembali dan memandangku sekelebat. Ece-ece yang melayani tamu di meja prasmanan, nampak keheranan melihatku.
"Tidak mampu menemukan tambatan hati, Pak." Dari belakang, ia nampak menghela napas.
"Nih." Tiba-tiba, dia memberikan HP-nya padaku. Uwaa, senangnya hati ini.
Tak menunggu lama, aku menggeser layar dan mengetik nomer HP-ku. Lalu, kutelpon nomerku dengan HP-nya.
"Makasih, Pak," ujarku sembari mengembalikan HP miliknya.
"Ada lagi?" tanyanya.
"Udah punya calon belum, Pak?"
Kali ini dia diam dan memilih menghindar. Ya, sudahlah. Tidak masalah. Toh, aku sudah mendapat nomer HP-nya. Berarti mulai besok, aku bisa meneror dia dengan gangombalan ampuh.
"Loh, Yu kok cemberut?" Aku berjalan menuju meja amplop.
"Aku dapet nomer HP-nya."
Aku berhasil nge-prank si Lia. Dia kira aku ini siapa, Ayu Mahesti. Kang gombal seantero kampung. Aku emang nggak jelek-jelek amat, tapi entah kenapa aku belum laku juga.
"Yu, itu ada penggemar beratmu," ucap Lia.
Di sana. Tepat di depan kami berdua ada laki-laki bernama Umar. Ya, dia tetanggaku juga, tapi rumahnya agak jauh.
"Neng Ayu. Aduh tambah cantik aja."
Aku cuma senyum dikit. Itu pun karena terpaksa.
"Iya, Kang."
Aku diam-diam melirik Pak Penghulu yang masih duduk di dekat prasmanan. Dia sibuk mengobrol dengan Mang Juki.
"Udah, Kang. Minggir sana. Merusak pemandangan." Aku mengusir Kang Umar supaya dia cepat pergi. Nggak enak juga kalau sampai Pak Penghulu tampan itu liat kami.
"Minta nomer WA kamu dulu atuh, Neng."
"Nggak ah, nggak ada!" jawabku judes. Aiss, dia itu nggak mau pergi juga.
Kang Umar akhirnya pergi setelah meletakkan amplop uang kepada Lia. Sebelum pergi, tiba-tiba dia memberiku sebuah amplop juga. Berwarna pink.
"Cie, Ayu dapet surat cinta," ledek Lia.
Iuhhh, laki-laki itu benar-benar menyebalkan.
Tanpa kusadari, Pak Penghulu sudah berada di depan meja kami. Ia menatapku sejenak sebelum meletakkan amplop miliknya. Dengan cepat aku menyambar amplop pink di atas meja dan menaruhnya di pangkuan. Nggak enak kalau dia sampai lihat. Takutnya, dia salah paham.
Eh, ternyata dia nelonyor pergi gitu aja. Nggak pamit dulu gitu sama calon istri, eh.
_____
"Yu, kapan kamu mau nikah?" tanya Ibu ketika kami duduk berdua di ruang tamu.
"Kapan-kapan, Bu."
"Umur kamu kan udah mau 25. Masa nggak kepikiran mau nikah?"
"Bu. Teh Rianti aja baru sebulan nikah. Masa sekarang Ibu nyuruh aku cepet nikah? Emang nggak pusing mikirin acara?"
Jengah juga. Semenjak Teh Rianti kenalin Kang Rohman yang sekarang jadi kakak ipraku, ibu terus tanya kapan aku mau kenalin calon suamiku. Beliau juga berharap siapa tahu aku dan Teh Rianti bisa nikah bareng. Jadi, bisa ngirit biaya resepsi.
"Tuh, Umar kan, suka sama kamu. Kenapa nggak kamu tanggepin?"
Aku bergidik. Masa iya, sama laki begitu? Emang iya, sih dia itu nggak jelek-jelek amat. Tapi, masa iya. Belum laku juga kan, aku pilih-pilih kalo soal laki-laki.
"Masa iya aku nikah sama si Umar itu? Sama ulat aja takut. Ibu inget nggak, waktu dulu kita lewat di depan rumahnya pas mau ke sawah. Dia jerit-jerit karena di bajunya ada ulat."
Aku dan ibu terkekeh bersama ketika mengingat saat itu.
"Iya, sih. Tapi, ibu pengen kamu cepet nikah, Yu. Kamu tau nggak. Umur kamu sekarang kalo waktu ibu dulu belum nikah, udah dibawa ke orang pinter."
"Kenapa, Bu?"
"Ya, biar cepet dapet jodoh."
Aku menghela napas kemudian bangkit. Kakiku berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kupakai alas kaki dan berjalan ke halaman. Pandanganku sejenak tersita ke arah deretan pot tenaman bunga mawar milikku.
"Ibu, bunga mawar putihku ke mana?"
"Dibawa Rianti ke rumah mertuanya."
Aishh. Perempuan satu itu sangat menyebalkan. Padahal susah payah aku merawat bunga itu. Seenaknya dia bawa ke rumah mertuanya tanpa ngomong dulu. Awas kamu Teh Ria!
Aku duduk berjongkok di depan pot-pot bunga mawarku hingga beberapa saat kemudian, ada sebuah mobil truk lewat. Jendela depan terbuka lebar sehingga aku bisa melihat siapa yang duduk di sana.
"Loh, itu kan ... ."
Bersambung.......
Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan menggantikan mempelai laki-laki untuk menikah dengan Uswa, mantan pacarku saat masih berseragam putih abu-abu. Ilham, teman sekaligus calon suami Uswa ternyata kritis saat acara ijab qobul mereka akan berlangsung. Dalam keadaan genting, Bang Adam beserta keluarga besar Uswa, memintaku untuk menggantikan Ilham. Terkejut, tak percaya, tak siap sama sekali akhirnya aku menikah dengan gadis manis itu. Lalu, bagaimana kehidupan kami setelah menikah?
Aku menyukai gadis lain bernama Azkia ketika aku telah menikahi gadis bernama Azizah. Azkia adalah gadis cantik jelita sedangkan aku belum pernah melihat wajah istriku sendiri karena ia memakai cadar. Di balik itu semua, ternyata Azizah menyimpan sebuah rahasia. Namun, apa rahasia itu?
Keluarga Gunawan yang dikira miskin ileh orang tuanya hanya karena berpenampilan sederhana. Namun siapa sangka, ia adalah seorang milyarder
Tanda pertama aku akan mati bukanlah badai salju. Bukan juga hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Melainkan tatapan mata tunanganku saat dia bilang kalau dia telah memberikan hasil kerja kerasku—satu-satunya jaminan kami untuk bertahan hidup—kepada wanita lain. "Karin kedinginan," katanya, seolah-olah aku yang tidak masuk akal. "Kamu kan ahlinya, kamu pasti bisa mengatasinya." Lalu dia mengambil telepon satelitku, mendorongku ke dalam lubang salju yang digali seadanya, dan meninggalkanku untuk mati. Pacar barunya, Karin, muncul, terbungkus nyaman dalam selimut pintar buatanku yang berkilauan. Dia tersenyum saat menggunakan kapak es milikku untuk merobek pakaianku, lapisan pelindung terakhirku dari badai. "Jangan lebay," katanya padaku, suaranya penuh penghinaan saat aku terbaring di sana, mati kedinginan. Mereka pikir mereka telah mengambil segalanya. Mereka pikir mereka telah menang. Tapi mereka tidak tahu tentang pemancar darurat rahasia yang kujahit di ujung lengan bajuku. Dan dengan sisa tenaga terakhirku, aku mengaktifkannya.
Perusahaanku, CiptaKarya, adalah mahakarya dalam hidupku. Kubangun dari nol bersama kekasihku, Baskara, selama sepuluh tahun. Kami adalah cinta sejak zaman kuliah, pasangan emas yang dikagumi semua orang. Dan kesepakatan terbesar kami, kontrak senilai 800 miliar Rupiah dengan Nusantara Capital, akhirnya akan segera terwujud. Lalu, gelombang mual yang hebat tiba-tiba menghantamku. Aku pingsan, dan saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Ketika aku kembali ke kantor, kartu aksesku ditolak. Semua aksesku dicabut. Fotoku, yang dicoret dengan tanda 'X' tebal, teronggok di tempat sampah. Saskia Putri, seorang anak magang yang direkrut Baskara, duduk di mejaku, berlagak seperti Direktur Operasional yang baru. Dengan suara lantang, dia mengumumkan bahwa "personel yang tidak berkepentingan" dilarang mendekat, sambil menatap lurus ke arahku. Baskara, pria yang pernah menjanjikanku seluruh dunia, hanya berdiri di sampingnya, wajahnya dingin dan acuh tak acuh. Dia mengabaikan kehamilanku, menyebutnya sebagai gangguan, dan memaksaku mengambil cuti wajib. Aku melihat sebatang lipstik merah menyala milik Saskia di meja Baskara, warna yang sama dengan yang kulihat di kerah kemejanya. Kepingan-kepingan teka-teki itu akhirnya menyatu: malam-malam yang larut, "makan malam bisnis", obsesinya yang tiba-tiba pada ponselnya—semua itu bohong. Mereka telah merencanakan ini selama berbulan-bulan. Pria yang kucintai telah lenyap, digantikan oleh orang asing. Tapi aku tidak akan membiarkan mereka mengambil segalanya dariku. Aku berkata pada Baskara bahwa aku akan pergi, tetapi tidak tanpa bagianku sepenuhnya dari perusahaan, yang dinilai berdasarkan harga pasca-pendanaan dari Nusantara Capital. Aku juga mengingatkannya bahwa algoritma inti, yang menjadi alasan Nusantara Capital berinvestasi, dipatenkan atas namaku seorang. Aku melangkah keluar, mengeluarkan ponselku untuk menelepon satu-satunya orang yang tidak pernah kusangka akan kuhubungi: Revan Adriansyah, saingan terberatku.
Menikahi single mom yang memiliki satu anak perempuan, membuat Steiner Limson harus bisa menyayangi dan mencintai bukan hanya wanita yang dia nikahi melainkan anak tirinya juga. Tetapi pernikahan itu rupanya tidak berjalan mulus, membuat Steiner justru jatuh cinta terhadap anak tirinya.
Menurut banyak orang, William menikahi Renee karena terpaksa. Kini, wanita yang benar-benar dicintainya telah kembali-dan sedang hamil-mereka tidak sabar menunggu William meninggalkan Renee. Secara mengejutkan, Renee sangat terbuka tentang ini."Jujur saja, justru aku yang minta cerai. Aku lebih ingin ini daripada kalian semua!"Tapi banyak orang anggap itu hanya upaya sia-sia untuk menjaga gengsi. Sampai akhirnya William membuat pernyataan sendiri."Tidak akan ada perceraian. Siapa pun yang menyebarkan rumor palsu akan menghadapi gugatan!" Renee hanya bisa mengernyit. "Si gila ini mau apa lagi sekarang?"
Sinta butuh tiga tahun penuh untuk menyadari bahwa suaminya, Trisna, tidak punya hati. Dia adalah pria terdingin dan paling acuh tak acuh yang pernah dia temui. Pria itu tidak pernah tersenyum padanya, apalagi memperlakukannya seperti istrinya. Lebih buruk lagi, kembalinya wanita yang menjadi cinta pertamanya tidak membawa apa-apa bagi Sinta selain surat cerai. Hati Sinta hancur. Berharap bahwa masih ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki pernikahan mereka, dia bertanya, "Pertanyaan cepat, Trisna. Apakah kamu masih akan menceraikanku jika aku memberitahumu bahwa aku hamil?" "Tentu saja!" jawabnya. Menyadari bahwa dia tidak bermaksud jahat padanya, Sinta memutuskan untuk melepaskannya. Dia menandatangani perjanjian perceraian sambil berbaring di tempat tidur sakitnya dengan hati yang hancur. Anehnya, itu bukan akhir bagi pasangan itu. Seolah-olah ada penghalang jatuh dari mata Trisna setelah dia menandatangani perjanjian perceraian. Pria yang dulu begitu tidak berperasaan itu merendahkan diri di samping tempat tidurnya dan memohon, "Sinta, aku membuat kesalahan besar. Tolong jangan ceraikan aku. Aku berjanji untuk berubah." Sinta tersenyum lemah, tidak tahu harus berbuat apa ....
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY