/0/16079/coverbig.jpg?v=14ff95820c0d19497146f5b5a0cdd2d5)
Aku menyukai penghulu yang menikahkan Kakakku. Dia tampan dan rupawan, tapi sikapnya sangat tak acuh dan dingin. Namun, aku tak menyerah dan terus melancarkan gombalan berharap bisa meruntuhkan gunung es itu.
"Penghuluin orang mulu, Pak. Kapan nih, menghuluin diri sendiri?" tanyaku membuat semua orang di sini terkekeh.
"Mana bisa menghuluin diri sendiri, Ayu. Aneh kamu," kata Teh Rianti. Dia pengantin yang siap menikah.
Aku hanya diam dan tersenyum sembari mencuri pendangan ke arah penghulu muda dihadapan.
"Pak, manis banget, sih. Waktu diproduksi dulu, pake berapa kilo gula?" Bisikanku tidak keras tapi terdengar oleh semua orang yang berada di ruang tengah. Ibu yang ada di sebelahku sampai harus mencubit lengan ini tetapi gombalan barusan berhasil membuat mereka tertawa. Termasuk ibu yang sudah mencubit lenganku.
"Bisa kita mulai acaranya?" tanya Penghulu.
Huh, dia biasa aja bahkan gak senyum sama sekali dari tadi. Apa dia ini aktor drakor yang lagi cosplay jadi penghulu?
Acara ijab qobul pun dilaksanakan setelah sambutan singkat oleh calon suamiku. Eh, penghulu itu maksudnya.
"Pak, Pak Suami, eh. Pak penghulu siapa sih, namanya?" Kini Lia, tetangga sekaligus teman masa kecilku menggeleng pelan. Untung ibu sudah keluar duluan. Kalo enggak, entah aku akan dia apakan.
"Nama saya Jibril Mubarak," jawabnya.
"Wah, namanya seperti malaikat penyampai wahyu. Berarti bisa, dong, Pak sampein ke calon suami saya kapan dia datang?"
"Apa kamu belum menikah?" tanya dia lagi. Sekarang penghulu itu mendekat ke arahku.
"Belum." Aku memasang wajah memelas. Ya, siapa tahu dia mau menyumbangkan diri untuk menjadi imamku.
"Kasian, deh, loe."
Sontak aku membulatkan bibir. Hampir kuangkat kepalan tangan padanya, tetapi kutahan kuat-kuat. Untung ganteng.
"Kena mental, kan, makanya jangan ganjen." Kini Lia yang tengah sibuk membereskan ruangan bekas ijab qobul kakak perempuanku ini ikut bicara.
"Diam kau, Markonah. Aku tidak butuh pendapatmu."
Masih belum menyerah, aku mengikuti penghulu itu keluar ruangan. Wajah yang tersorot cahaya, benar-benar membuatku meleleh.
"Pak, Pak," panggilku. Dia pun seketika menoleh.
"Kenapa lagi?"
"Boleh minta nomer HP-nya nggak?"
"Buat apa?"
"Buat temen chating. Ya, siapa tau Bapak butuh temen chating yang cerewet kaya aku."
"Yang ada HP-ku nanti panas kalo setiap hari dengar suara kamu." Dia pun pergi begitu saja setelah memakai sepatu.
Tak menyerah, aku pun mengikutinya ketika melangkah ke meja prasmanan. Aku berlari kecil dengan mengangkat sedikit rok kebaya coklat. Aku pun beridri tepat di belakangnya.
"Ayolah, Pak. Boleh, ya. Itung-itung, sodakoh sama orang yang tidak mampu seperti saya."
"Dari tampilan kamu, saya nggak yakin kalau kamu tidak mampu."
Pak Jibril menoleh kembali dan memandangku sekelebat. Ece-ece yang melayani tamu di meja prasmanan, nampak keheranan melihatku.
"Tidak mampu menemukan tambatan hati, Pak." Dari belakang, ia nampak menghela napas.
"Nih." Tiba-tiba, dia memberikan HP-nya padaku. Uwaa, senangnya hati ini.
Tak menunggu lama, aku menggeser layar dan mengetik nomer HP-ku. Lalu, kutelpon nomerku dengan HP-nya.
"Makasih, Pak," ujarku sembari mengembalikan HP miliknya.
"Ada lagi?" tanyanya.
"Udah punya calon belum, Pak?"
Kali ini dia diam dan memilih menghindar. Ya, sudahlah. Tidak masalah. Toh, aku sudah mendapat nomer HP-nya. Berarti mulai besok, aku bisa meneror dia dengan gangombalan ampuh.
"Loh, Yu kok cemberut?" Aku berjalan menuju meja amplop.
"Aku dapet nomer HP-nya."
Aku berhasil nge-prank si Lia. Dia kira aku ini siapa, Ayu Mahesti. Kang gombal seantero kampung. Aku emang nggak jelek-jelek amat, tapi entah kenapa aku belum laku juga.
"Yu, itu ada penggemar beratmu," ucap Lia.
Di sana. Tepat di depan kami berdua ada laki-laki bernama Umar. Ya, dia tetanggaku juga, tapi rumahnya agak jauh.
"Neng Ayu. Aduh tambah cantik aja."
Aku cuma senyum dikit. Itu pun karena terpaksa.
"Iya, Kang."
Aku diam-diam melirik Pak Penghulu yang masih duduk di dekat prasmanan. Dia sibuk mengobrol dengan Mang Juki.
"Udah, Kang. Minggir sana. Merusak pemandangan." Aku mengusir Kang Umar supaya dia cepat pergi. Nggak enak juga kalau sampai Pak Penghulu tampan itu liat kami.
"Minta nomer WA kamu dulu atuh, Neng."
"Nggak ah, nggak ada!" jawabku judes. Aiss, dia itu nggak mau pergi juga.
Kang Umar akhirnya pergi setelah meletakkan amplop uang kepada Lia. Sebelum pergi, tiba-tiba dia memberiku sebuah amplop juga. Berwarna pink.
"Cie, Ayu dapet surat cinta," ledek Lia.
Iuhhh, laki-laki itu benar-benar menyebalkan.
Tanpa kusadari, Pak Penghulu sudah berada di depan meja kami. Ia menatapku sejenak sebelum meletakkan amplop miliknya. Dengan cepat aku menyambar amplop pink di atas meja dan menaruhnya di pangkuan. Nggak enak kalau dia sampai lihat. Takutnya, dia salah paham.
Eh, ternyata dia nelonyor pergi gitu aja. Nggak pamit dulu gitu sama calon istri, eh.
_____
"Yu, kapan kamu mau nikah?" tanya Ibu ketika kami duduk berdua di ruang tamu.
"Kapan-kapan, Bu."
"Umur kamu kan udah mau 25. Masa nggak kepikiran mau nikah?"
"Bu. Teh Rianti aja baru sebulan nikah. Masa sekarang Ibu nyuruh aku cepet nikah? Emang nggak pusing mikirin acara?"
Jengah juga. Semenjak Teh Rianti kenalin Kang Rohman yang sekarang jadi kakak ipraku, ibu terus tanya kapan aku mau kenalin calon suamiku. Beliau juga berharap siapa tahu aku dan Teh Rianti bisa nikah bareng. Jadi, bisa ngirit biaya resepsi.
"Tuh, Umar kan, suka sama kamu. Kenapa nggak kamu tanggepin?"
Aku bergidik. Masa iya, sama laki begitu? Emang iya, sih dia itu nggak jelek-jelek amat. Tapi, masa iya. Belum laku juga kan, aku pilih-pilih kalo soal laki-laki.
"Masa iya aku nikah sama si Umar itu? Sama ulat aja takut. Ibu inget nggak, waktu dulu kita lewat di depan rumahnya pas mau ke sawah. Dia jerit-jerit karena di bajunya ada ulat."
Aku dan ibu terkekeh bersama ketika mengingat saat itu.
"Iya, sih. Tapi, ibu pengen kamu cepet nikah, Yu. Kamu tau nggak. Umur kamu sekarang kalo waktu ibu dulu belum nikah, udah dibawa ke orang pinter."
"Kenapa, Bu?"
"Ya, biar cepet dapet jodoh."
Aku menghela napas kemudian bangkit. Kakiku berjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Kupakai alas kaki dan berjalan ke halaman. Pandanganku sejenak tersita ke arah deretan pot tenaman bunga mawar milikku.
"Ibu, bunga mawar putihku ke mana?"
"Dibawa Rianti ke rumah mertuanya."
Aishh. Perempuan satu itu sangat menyebalkan. Padahal susah payah aku merawat bunga itu. Seenaknya dia bawa ke rumah mertuanya tanpa ngomong dulu. Awas kamu Teh Ria!
Aku duduk berjongkok di depan pot-pot bunga mawarku hingga beberapa saat kemudian, ada sebuah mobil truk lewat. Jendela depan terbuka lebar sehingga aku bisa melihat siapa yang duduk di sana.
"Loh, itu kan ... ."
Bersambung.......
Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya akan menggantikan mempelai laki-laki untuk menikah dengan Uswa, mantan pacarku saat masih berseragam putih abu-abu. Ilham, teman sekaligus calon suami Uswa ternyata kritis saat acara ijab qobul mereka akan berlangsung. Dalam keadaan genting, Bang Adam beserta keluarga besar Uswa, memintaku untuk menggantikan Ilham. Terkejut, tak percaya, tak siap sama sekali akhirnya aku menikah dengan gadis manis itu. Lalu, bagaimana kehidupan kami setelah menikah?
Aku menyukai gadis lain bernama Azkia ketika aku telah menikahi gadis bernama Azizah. Azkia adalah gadis cantik jelita sedangkan aku belum pernah melihat wajah istriku sendiri karena ia memakai cadar. Di balik itu semua, ternyata Azizah menyimpan sebuah rahasia. Namun, apa rahasia itu?
Keluarga Gunawan yang dikira miskin ileh orang tuanya hanya karena berpenampilan sederhana. Namun siapa sangka, ia adalah seorang milyarder
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Pernikahan itu seharusnya dilakukan demi kenyamanan, tapi Carrie melakukan kesalahan dengan jatuh cinta pada Kristopher. Ketika tiba saatnya dia sangat membutuhkannya, suaminya itu menemani wanita lain. Cukup sudah. Carrie memilih menceraikan Kristopher dan melanjutkan hidupnya. Hanya ketika dia pergi barulah Kristopher menyadari betapa pentingnya wanita itu baginya. Di hadapan para pengagum mantan istrinya yang tak terhitung jumlahnya, Kristopher menawarinya 40 miliar rupiah dan mengusulkan kesepakatan baru. "Ayo menikah lagi."
Cerita rumah tangga dan segala konflik yang terjadi yang akhirnya membuat kerumitan hubungan antara suami dan istri