"Ya Allah, Ya Rabb, Tuhan yang berkuasa diatas segala-galanya, kabulkanlah doa hambamu ini Ya Allah. Jadikanlah Zaky sebagai jodohku. Jodohku di dunia dan di akhirat. Jadikanlah dia sebagai imamku. Imam yang bisa membimbingku menuju jalan-Mu. Pertemukanlah kami kembali Ya Allah. Dekatkanlah kami, jika memang kami berjodoh. Dan jauhkanlah kami, jika memang kami tidak berjodoh. Amiin ya rabbal alamin."
Aku melipat kembali mukena dan sajadah yang tadi ku kenakan untuk sholat dengan rapi, lantas menaruhnya di atas tempat tidur. Setelah itu, aku menuju kamar mandi untuk membersihkan badan serta menyegarkan tubuh.
Tak berapa lama, aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah melekat sempurna di tubuhku, serta jilbab yang sudah bertengger manis di kepalaku.
Aku menuju meja belajar, menata buku-buku yang sudah ku siapkan tadi malam dan memasukkannya ke dalam tas.
Setelah dirasa semua keperluan untuk kuliahku sudah siap, aku berjalan membuka pintu kamar. Tak lupa, mengucapkan basmalah sebelum keluar dari kamar. Agar semua yang ku lalukan mendapat ridho dari-Nya.
"Abah mana ummi?" tanyaku saat melihat ummi yang hanya sendiri di meja makan.
"Abah di kamar, katanya lagi gak enak badan. Ini ummi mau bawain sarapan ke kamar" jawab ummi. Aku mengangguk paham.
"Ya udah ummi, kalau gitu Sabrina makan di kampus aja ya?" lanjutku bertanya. Ummi menatapku sebentar, lantas tersenyum.
"Ummi siapin bekal buat kamu dulu ya?" ucap ummi sebelum melenggang pergi. Sembari menunggu ummi yang tengah menyiapkan bekal, aku pun berniat pamit pada Abah terlebih dahulu.
"Ummi, aku pamit sama Abah dulu ya?"
"Iya"
Aku segera melangkahkan kakiku menuju kamar abah. Kamar abah dan juga ummi berada lantai dua. Sama seperti kamarku, hanya berbeda arah saja.
Di rumah ini, kami hanya tinggal bertiga. Kakak perempuanku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Sedang adik laki-lakiku memilih untuk tinggal di rumah kos yang dekat dengan kampusnya.
"Gimana kondisi Abah?" Aku bertanya.
Ku lihat Abah tengah duduk bersandar di kepala ranjang, wajahnya terlihat sedikit pucat dan lelah.
"Abah baik-baik aja kok. Mau berangkat kuliah ya?" Aku mengangguk.
"Ya udah hati-hati. Jaga diri. Jaga hati. Semoga Allah memberi kemudahan untukmu dalam menuntut ilmu." pesan abah. Aku kembali mengangguk, lantas mencium punggung tangan Abah.
"Amiin ya rabbal alamin. Abah cepet sembuh ya"
Abah tersenyum seraya mengangguk.
Setelah berpamitan sekaligus melihat kondisi abah, aku pun keluar dari kamar dan kembali menghampiri ummi.
"Nih bekalnya, udah ummi siapin." Ummi menyerahkan bekal yang sudah disiapkannya kepadaku.
"Makasih ummi" ucapku seraya memasukkan bekal itu ke dalam tas.
"Sabrina berangkat ya ummi" lanjutku mencium punggung tangan ummi.
"Iya, hati-hati." jawab ummi. Aku mengangguk.
Begitu keluar dari rumah, aku langsung disambut oleh suasana pesantren yang penuh oleh rutinitas para santri seperti biasanya. Ada yang masih mengantri untuk mandi, ada yang sedang mengantri untuk makan, ada juga yang sudah bersiap untuk sekolah.
Aku sudah terbiasa dengan suasana pesantren seperti ini. Karena sejak kecil, aku memang sudah dibesarkan di lingkungan pesantren. Ya. Abah adalah pendiri pesantren ini. Pesantren Al-Huda. Pesantren ini terbilang cukup sederhana. Tidak sebesar dan tidak seterkenal pesantren yang lainnya. Para santri dan santriwati-nya pun tidak banyak. Hanya orang-orang di daerah sini saja.
Mendirikan pesantren merupakan cita-cita Abah sejak kecil. Beliau dengan semangat dan kegigihannya berhasil mendirikan pesantren yang terletak tepat disebelah rumah kami dengan dana pribadi hasil kerja kerasnya sendiri, juga merekrut guru-guru yang dengan ikhlas mengajar di pondok pesantren kami tanpa bayaran apapun.
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju halte untuk menunggu bus. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya bus yang ku tunggu datang juga.
Aku segera masuk ke dalam bus. Mencari tempat duduk yang masih kosong.
Ku lihat kursi penumpang sudah penuh, hanya tersisa dua kursi kosong berdampingan. Aku pun memutuskan untuk duduk di kursi dekat jendela bus.
Jalanan kota hari ini begitu padat, padahal ini masih sangat pagi. Mungkin karena hari ini hari efektif bekerja dan bersekolah. Entahlah, aku tidak terlalu memikirkan hal itu.
Aku menghela napas. Entah mengapa pikiranku malah kembali dipenuhi oleh sosok lelaki yang bernama Zaky.
Ku buka tasku, lantas ku ambil sebuah foto yang terselip dalam sebuah buku diaryku.
Foto itu adalah foto kenangan persahabatanku dengan mereka selama di pesantren. Aku, Zaky, Bayu, dan Rian. Ya. Mungkin persahabatan kami terdengar aneh. Seorang perempuan dan tiga orang laki-laki. Tapi, memang itulah kenyataannya.
Awal mula persahabatan kami, adalah ketika Zaky dan Rian datang ke pondok pesantren. Mereka berasal dari daerah yang jauh. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka memilih untuk tinggal di pondok pesantren dan hidup mandiri dengan usia mereka yang masih terbilang anak-anak. Orangtua mereka mempercayakan anak-anaknya pada Abah, meminta Abah untuk menjaga dan menyayangi Zaky serta Rian seperti Abah menjaga dan menyayangiku.
Abah menepati janjinya. Beliau bahkan menempatkan Zaky dan Rian di rumah kami, bukan di pondok pesantren. Membuat mereka senyaman mungkin agar tidak tertekan.
Aku sangat senang ketika Zaky dan Rian tinggal di rumahku. Kami bermain bersama, makan bersama, mengaji bersama, bahkan mandi pun bersama.
Selain Zaky dan Rian, ada juga Bayu. Dia anak tetangga sebelah. Dia sering bermain dengan kami. Sampai akhirnya Bayu memilih untuk tinggal di rumahku karena tidak ingin dipisahkan dengan kami bertiga.
Meski dengan berat hati, orangtua Bayu akhirnya mengijinkan anaknya untuk tinggal di rumahku dan belajar di pondok pesantren. Entahlah, padahal jarak rumahku dengan Bayu lumayan dekat, tapi ia tetap saja bersikukuh untuk tinggal di rumahku.
Abah dan ummi tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka malah senang jika ada anak kecil yang bersemangat untuk belajar ilmu agama seperti Bayu.
Kemanapun ummi mengajakku pergi, aku selalu meminta ummi untuk mengajak serta Zaky, Bayu, dan Rian. Ummi selalu mengiyakan permintaanku, meski dirinya sendiri akan kerepotan jika membawa empat anak kecil di acara-acara seperti pengajian, yasinan, dan lain-lain.
Ya, kenangan masa kecil yang indah. Kami berempat sudah seperti saudara beda orangtua. Apapun dan dimanapun pasti bersama.
Bertahun-tahun kami bersahabat, hingga ketika kami beranjak dewasa, barulah kami sadar akan adanya perasaan lain. Perasaan yang lebih dari sekadar sahabat. Ya. Aku dan Zaky. Kami ternyata memendam perasaan yang sama.
Saat itu kami hanyalah sepasang remaja yang baru dilanda asmara jatuh cinta, tidak mengerti harus bagaimana. Hanya bisa berharap, suatu saat nanti kami akan bersama.
Namun, harapan itu sirna ketika Zaky pergi meninggalkan pondok pesantren. Pergi meninggalkanku. Itu bagian terpahit dari semua kenangan persahabatan kami.
Tanpa kusadari, air mataku jatuh membasahi kedua pipiku.
"Kamu.....menangis?" tanya sebuah suara. Aku menoleh dan mendapati seorang laki-laki di sampingku tengah menatapku dengan heran.
Hei, tunggu! Siapa dia? Dan, sejak kapan dia berada di sampingku?
**********
Mampir ke instagram author yukk!! @iney_calysta