Badai emosi memenuhi dirinya. Rasa bingung dan kebahagiaan terpadu menjadi satu, dia merasa seperti bulu yang terlempar tinggi ke udara sebelum jatuh.
Hari ini, dia merayakan tiga tahun pernikahannya dengan Lukman Ermawan.
Di masa lalu, Elisa selalu mengingatkan Lukman, tetapi Lukman tidak pernah mengingatnya. Suaminya bahkan jarang pulang ke rumah.
Meski mereka sudah menikah, rasanya mereka tidak lebih dari orang asing.
Keintiman yang biasa terjadi pada pasangan seperti ini, merupakan pengalaman baru bagi mereka.
Dalam tiga tahun pernikahan mereka, Elisa tetap tidak pernah disentuh, tetapi dia tidak pernah membenci Lukman karena ini.
Pada akhirnya, pintu kamar mandi terbuka. Lukman melangkah keluar, mengenakan jubah mandi dan dikelilingi oleh uap.
Jubahnya terbuka, memperlihatkan bagian dadanya yang ditandai oleh cakaran kuku Elisa.
Elisa begitu gembira, seperti binatang kecil yang hiperaktif. Di tengah kegembiraannya, dia secara tidak sengaja beberapa kali mencakar kulit pria itu, tidak mampu menahan energi liarnya.
Ada senyuman dingin di wajah Lukman saat duduk dan dengan santai menyalakan rokok.
Beberapa menit setelah itu, Elisa keluar sambil memegang erat jubah mandinya. Pipinya merona, terlihat hasil perpaduan antara rasa malu dan kecanggungan. Dia berusaha keras untuk tampil tenang. "Kenapa hari ini kamu begitu bersemangat?" tanya Elisa, bisa didengar keraguan dalam suaranya.
Dalam pernikahan mereka, Elisa selalu menjadi pihak yang lebih penurut, sebagian karena rasa bersalah.
Tiga tahun lalu, adik tirinya yang bernama Rita Sistadi merencanakan kecelakaan mobil yang hampir menewaskan Elisa. Lukman yang sangat menyayangi Rita pun turun tangan menjadi penengah.
Bibir Lukman melengkung membentuk senyuman menawan. "Aku harus bagaimana baru kamu bersedia memaafkan Rita?"
Pada saat itu, Elisa sedang dalam masa pemulihan di ranjang rumah sakit, hampir tidak bisa bertahan, bahkan sulit untuk mengangkat tangannya. Dia berusaha mengangkat kepala, menatap bibir Lukman, lalu akhirnya tatapan mereka bertemu.
"Aku menginginkanmu," ucapnya, setiap kata dibebani dengan tekad kuat.
Apa yang dia inginkan jelas. Dia ingin Lukman menikahinya dan mengirim Rita pergi ke Prantas.
Dia memutuskan untuk melepaskan semua dendam dalam hatinya.
Dia terkejut ketika Lukman benar-benar mengiakan permintaannya.
Pernikahan yang dibuat berdasarkan kesepakatan tersebut sepertinya akan membosankan, tetapi hari ini berbeda. Lukman pulang lebih awal, dan mereka bercinta dengan penuh gairah, menyulut sedikit harapan di hatinya.
Elisa menghampirinya dengan hati penuh harapan, bahkan berani mengharapkan pelukan.
Setelah adegan penuh gairah mereka, kakinya masih tidak dapat berdiri mantap. Jubah mandinya yang diikat longgar, memperlihatkan bekas luka mulai dari pergelangan kaki sampai ke lututnya yang kurus dan halus, tetapi sepertinya siap untuk hancur.
Ini pengingat akan kecelakaan mobilnya yang hampir membunuhnya, luka yang ditutup lebih dari sepuluh jahitan.
Ini merupakan tanda perjuangannya untuk bisa bersama Lukman.
Lukman duduk di hadapan Elisa, membelakangi cahaya dan tatapannya dingin. "Kemarin, Rita kembali dari luar negeri, kondisinya sedang tidak sehat dan ingin tinggal bersamaku untuk memulihkan diri. Bagaimana menurutmu?"
Ujung rokoknya bersinar terang, dan dengan satu jentikan, abunya jatuh ke karpet mewah.
Apa yang selanjutnya jatuh adalah hati Elisa.
Pada detik ini, dia memahami semuanya.