Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / KISAH PANAS STEWART RANZO
KISAH PANAS STEWART RANZO

KISAH PANAS STEWART RANZO

5.0
95 Bab
40 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

21+ DISCLAIMER! Cerita ini hanya fiktif belaka. Berisi banyak adegan DEWASA. Setiap manusia pasti akan melalui pengalaman indah yang namanya tumbuh dewasa dan jatuh cinta. Begitu pula dengan Ranzo, sederet kisah asmara dan pengalaman mendebarkan sampai pengalaman ranjang banyak ia lalui. Hingga pada akhirnya ia akan menemukan wanita cinta sejatinya. Bagaimana pengalaman kisahnya dengan berbagai macam karakter wanita? Akankah keberuntungan akan selalu berpihak pada si tampan Ranzo? Ikuti selengkapnya di novel ini.

Bab 1 Tawaran Mengejutkan

My name Ranzo Steward. Aku berasal dari keluarga yang cukup berada, ayahku bekerja sebagai Arsitek di Jakarta sedangkan ibuku bekerja sebagai wanita karir di salah satu perusahaan asuransi di Jakarta.

Aku memiliki seorang kakak bernama Ranty Steward. Dia seorang wanita yang cerdas, dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri. Hubunganku dengan kakakku tidak benar-benar dekat, aku jarang sekali ngobrol dengan dia bahkan hanya sekedar membahas tentang keluarga kami. Bisa dibilang kita punya kehidupan masing-masing.

Berbeda 180 derajat dengannya, aku adalah seorang murid yang kurang di bidang akademik, katakanlah bodoh. Sebenarnya aku bukan pemalas, aku sudah berusaha belajar dengan tekun, namun semua pelajaran itu tidak ada yang masuk ke otak sedikitpun. Jadi aku memutuskan untuk pasrah dan menerima kenyataan ini.

Tetapi dibalik kekurangan itu aku memiliki kelebihan yaitu di bidang non-akademik, olahraga dan beladiri menjadi keunggulan ku, saat aku masih SMP aku menjuarai hampir di semua cabang olahraga hingga beladiri.

Itulah mengapa aku bisa masuk ke SMA yang cukup favorit di Jakarta, di sana aku hanya dijadikan sebagai lumbung prestasi untuk sekolah ini, aku tak pernah benar-benar dianggap siswa oleh sebagian guru yang anti terhadap siswa bodoh, fu*k this school!.

***

Bel sekolah berbunyi saat aku berada di warung belakang sekolah sedang menyantap sarapanku. Aku memang tidak biasa sarapan di rumah, ibuku terlalu sibuk untuk memasak di pagi hari sedangkan subuh saja ibuku sudah berangkat ke ke kantor.

Pemilik warung itu adalah ibu dari salah satu teman sekolahku namanya Ririn, bukan teman sekelas tapi karena aku sudah menjadi langganan di warung itu aku pun cukup akrab dengan dia karena dia juga ikut membantu ibunya berjualan di pagi hari saat akan berangkat sekolah, saat istirahat dan setelah pulang sekolah.

Karena dia anak dari pemilik warung kecil di belakang sekolah, dia sering menjadi bahan bulian oleh anak-anak sekolah yang sok kaya dan berkuasa, namun aku selalu membela dan melindungi dia dari anak-anak itu.

"Ran, udah bel tuh masuk yuk!" ajak Ririn untuk bergegas masuk ke sekolah.

"Yuk," balasku singkat.

Seharusnya untuk memasuki sekolah kita harus memutar dan melewati gerbang depan karena gerbang belakang sekolah hanya berupa pintu teralis yang digembok untuk menghindari siswa terlambat yang memasuki sekolah.

Namun karena terlalu jauh kalau harus memutar maka kita biasanya memanjat tembok yang tingginya kisaran 2 meter.

"Udah siap belum?" tanya Ririn memastikan.

"Udah yuk." Aku bersiap-siap membantunya naik dengan mengangkat kakinya agar dia bisa menjangkau puncak tembok itu, terkadang momen itu aku manfaatkan untuk mengintip isi dalam roknya, namun entah dia sadar atau tidak sekarang dia selalu memakai celana pendek di dalam rok SMA-nya.

Setelah berhasil menjangkau tembok itu lalu dia melompat ke arah seberang. Setelah dia menghilang aku pun lalu melompat dengan hanya sekali tumpuan pada tangan kananku aku langsung melewati tembok itu.

Namun naas ternyata Ririn masih berada dibalik tembok tepat di bawahku dan aku tidak bisa menghindar sehingga aku mendarat di atas tubuhnya.

Brukkkk...

"Aduh!!!" Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat.

Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjangku, tiba-tiba dia berontak.

"Ah, Ranzo minggir!" pekik Ririn.

"Eh, sorry rin, gue gak tau kalo lo masih di situ," ucapku meminta maaf.

"Iya udah, tapi badan lo minggir berat tau."

Aku tersadar kalau kami masih berada di posisi yang sama. Untung saja tidak ada yang melihat, kalau ada pasti akan jadi masalah.

Aku pun membantunya untuk bangun, wajahnya sudah seperti kepiting rebus, sekilas dia melirik ke bagian depan celanaku melihat apa yang tadi mengganjal lalu ia berpaling.

Dia tampak berjalan sambil membersihkan seragamnya yang sedikit kotor karena terjatuh tadi, kami pun berpisah di koridor sekolah karena memang kita berbeda kelas.

Aku pun menuju ke ruang kelasku, setibanya di sana aku melihat teman sekelasku sudah datang semua, aku datang paling akhir.

Aku langsung menuju ke mejaku yang letaknya berada di pojok kanan depan, tepat berada di depan meja guru. Bukan karena aku rajin tapi karena aku terlambat saat hari pertama masuk sekolah, jadi aku kebagian duduk di bangku yang laknat itu.

"Ranzo!" sambut teman sebangkuku yang bernama Lisa.

Nasibnya sama sepertiku, kami sama-sama terlambat dihari pertama masuk ke sekolah sehingga kita jadi teman sebangku. Awalnya kami sangat canggung karena aku baru pertama kali sebangku dengan perempuan.

Tapi seiring berjalannya waktu kami pun semakin akrab, bahkan aku diam-diam mulai menyukainya tapi aku belum berani untuk menyatakan cinta kepadanya.

"Apa?" jawabku singkat.

"Lu udah ngerjain pr matematika belum?" tanyanya.

"Emang kalo gue jawab udah lu percaya?" jawabku sambil cengengesan.

"Nih," ucapnya sambil memberikan pr yang sudah ia kerjakan.

"Thanks banget ya, lu emang sahabat gue yang terbaik." Tanpa banyak urusan aku pun langsung menyalin semua jawaban pr nya.

Sudah jadi rutinitas kalau aku selalu mencontek semua tugas sekolah dari dia, meskipun hampir semua jawabannya salah tapi itu lebih baik daripada tidak mengerjakan sama sekali.

Tapi aku tidak mendapatkannya secara gratis, dia sering meminta tolong padaku untuk menjadi tukang ojeknya yang mengantarkan dia kemanapun dia mau, aku tidak keberatan justru aku senang karena bisa selalu dekat dengan dia.

"Ran!" panggil Lisa yang tepat berada di sampingku.

"Apa?"

"Nanti pulang sekolah temenin gue ya."

"Kemana?" tanyaku masih sambil menyalin tugasnya.

"Ke tempat temennya kakak gue," jawab Lisa.

Aku berhenti sejenak lalu menatapnya, aneh sekali dia tiba-tiba minta diantarkan ke tempat teman kakaknya namun aku tidak ambil pusing, aku kembali melanjutkan tugas yang aku hentikan tadi.

"Emang ada urusan apa?"

"Udah nanti lu bakalan tau deh." Lisa kemudian membetulkan duduknya karena tiba-tiba gurunya datang.

Aku yang sedang menyalin tugasnya pun langsung mengerahkan kemampuanku, aku mengerjakan tugas dengan mataku menatap kearah guru yang datang memberi salam, aku melakukannya sampai selesai.

***

Saat bel pulang sekolah berbunyi, aku langsung berjalan ke tempat parkir, menyalakan motorku dan menuju ke gerbang sekolah. Di sana sudah ada Lisa yang menungguku karena memang kita ada janji sepulang sekolah.

"Yuk, mau pulang dulu?" tawarku padanya.

"Gak usah, kita gas aja langsung."

"Ya udah."

Setelah Lisa naik ke atas motorku aku pun langsung memacu motorku dengan arahan darinya.

Dia mengarahkan kami ke sebuah kafe dekat dengan kampus kakakku. Setelah aku memarkirkan motorku aku lalu menyusul Lisa yang sudah lebih dulu masuk ke kafe itu. Di sana sebagian besar diisi oleh mahasiswa yang sedang nongkrong. Kita menuju ke sebuah meja, di sana sudah ada 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang aku tebak mereka adalah mahasiswa di kampus tempat kakakku kuliah itu.

"Halo kak!" sapa Lisa kepada mereka.

"Halo Lis, sini duduk!" jawab salah satu laki-laki itu.

"Makasih." Lisa kemudian duduk tepat di depan lelaki itu.

"Ini kak, temenku yang aku ceritain kemarin, namanya Ranzo," ucap Lisa memperkenalkanku kepadanya.

"Ran, ini namanya kak Dimas, yang tadi aku ceritain."

Dimas lalu berdiri dan menyodorkan tangannya.

"Dimas," jawabnya singkat.

Aku kemudian menjabat tangannya dan menjawab, "Ranzo."

Sejenak Dimas melihatku dari atas kepala sampai kaki, aku sedikit heran dengan apa yang dia lakukan. Sepertinya dia sedang menginginkan sesuatu dariku.

"Lu beneran anak SMA temennya Lisa?" tanya Dimas kepadaku.

"Lha iya, emang kenapa?"

"Lu gak kaya anak SMA, haha." ucap dimas sambil tertawa.

"Masa iya? emang muka gue boros banget ya?"

"Enggak, bukan muka lu yang boros, tapi badan lu yang kegedean, haha." Dimas kembali tertawa.

"Tapi bagus deh, jadi lu gak ketahuan kalo lu masih anak SMA," ucapnya lagi semakin membuatku curiga.

"Sebenernya ada apa sih? kalian ada perlu apa sama gue?" tanyaku dengan suara yang agak tinggi, aku kemudian menatap ke arah Lisa karena dialah yang membawaku kesini.

Lisa hanya menunduk tidak berani menatapku, ekspresinya cemas mungkin takut aku akan marah pada dirinya.

"Loh emang Lisa belum sama lu?" Dimas balik bertanya.

Aku hanya menggelengkan kepala.

"Jadi gini, minggu depan hari sabtu kita ada POM (Pekan Olahraga Mahasiswa) dan kita mewakili universitas kita di cabor basket." ucap Dimas menjelaskan.

"Tapi dari hasil tahun-tahun sebelumnya, tim kita selalu kena bantai sama lawan lain yang lebih kuat," lanjutnya.

"Dan kemarin Lisa bilang sama gue kalo dia punya temen yang jago basket, dan kita tertarik make lu buat memperkuat tim kita."

Aku mengerti sekarang apa yang mereka inginkan, tetapi aku masih marah dengan Lisa karena dia tidak memberi tahuku dari awal.

"Gimana? lu mau kan?" tawar Dimas kepadaku.

Aku masih diam, belum memberi keputusan. Dimas melihat keraguanku menerima tawarannya.

"Gak usah khawatir kalo masalah duit, kita akan bayar 1 juta kalo lu mau ikut, kita yakin kalo Lisa gak akan bohong soal skill lu."

Aku masih terdiam.

"Kalo sampe final gue tambahin 2 juta lagi," lanjutnya.

Aku belum bergeming.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY