/0/19830/coverbig.jpg?v=1bcd7e88161e2f04c828944220655382)
Kehidupan Aira seketika hancur sejak kematian sang suami, kini ia harus berjuang menghidupi ketiga anaknya. Di tengah kehancuran itu Aira sempat mengabaikan anak-anaknya. Namun, Aira sadar jika kesedihan yang berlarut justru akan menghancurkan kehidupan mereka. Aira bangkit dan takdir mempertemukan dirinya dengan seorang pemuda bucin yang mencintainya secara ugal-ugalan. Akankah cinta mereka bersatu? Hal buruk apa yang Aira dapatkan di tengah perjuangannya untuk bangkit? Ikuti terus kisah mereka! Dijamin baper dan penuh warna.
"Mohon maaf, Bu." Dokter menjeda kalimatnya.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Allah memiliki rencana lain," sambungnya kemudian.
"Ma-maksudnya, Dok?"
"Mohon maaf, suami Ibu sudah meninggal dunia."
Bagai tersambar petir di siang bolong, hidup Aira hancur seketika. Suami yang sangat ia cintai berpulang lebih dulu dan meninggalkan ketiga anak mereka yang masih kecil-kecil.
Aira Annisa, wanita tangguh yang telah membersamai suaminya sejak sebelas tahun yang lalu hingga akhirnya sang suami menyerah dengan kanker hati yang ia derita sejak tiga tahun terakhir.
Abda Abdillah meninggalkan ketiga anaknya, yakni Amara yang berusia sembilan tahun, Amar enam tahun, dan si bungsu Akbar yang masih berusia tiga tahun.
"Kenapa Ayah bobok terus, Bu?" tanya Akbar polos.
Pertanyaan sederhana, tetapi berhasil membuat Aira hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Ia dekap erat tubuh sang anak, kemudian kembali hanyut dalam kehampaan.
Tangis pilu yang begitu menyayat hati siapa saja yang melihatnya. Seorang ibu muda dengan tiga anak ditinggalkan suami untuk selama-lamanya.
Aira menyeka air matanya kemudian menatap dalam wajah sang putra. "Sekarang Akbar belum paham, Sayang, tapi ibu janji suatu hari nanti akan menjelaskan semuanya."
Aira merupakan seorang anak yatim-piatu yang tidak memiliki keluarga, dikarenakan ayah dan ibunya sama-sama anak tunggal dan mereka hanyalah seorang perantau. Untung saja Aira memiliki tetangga serta sahabat yang sangat baik kepadanya.
"Tenangkan dirimu, Ra. Biarkan Akbar bersamaku," pinta Nuraini-sahabat dekat Aira.
"Bagaimana nasibku dan anak-anak ke depannya, Nur? Aku harus bagaimana sekarang?"
Nuraini langsung memeluk tubuh Aira, memberi kekuatan untuk sang sahabat yang sedang rapuh hati dan jiwanya.
"Serahkan semuanya sama Allah, Ra. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kalian."
"Tapi, Nur ..."
"Ssssttt ... sudah, Ra. Percaya sama aku. Kamu pasti bisa lalui ini semua, aku yakin. Kamu harus kuat demi anak-anak, coba kamu bayangkan gimana rapuhnya mereka tanpa kamu, mereka sudah kehilangan satu sayap, Ra! Jangan buat mereka semakin hancur dengan kehancuranmu. Aku tahu ini berat, tapi kamu harus menjalani ini. Kamu nggak sendiri, Ra, kamu punya Allah, kamu punya mereka, dan kamu punya aku."
Keduanya kembali berpelukan, setelah merasa sedikit tenang barulah Aira menghampiri ketiga anaknya yang sejak tadi dijaga oleh beberapa tetangga.
"Yang kuat ya, Ra. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuanmu," ucap salah satu tetangga.
Aira hanya bisa mengangguk lemah, ia sadar jika kini ada tiga anak yang harus ia tenangkan juga.
Amara yang memang sudah paham dengan keadaan yang terjadi terlihat lebih tegar dari sang ibu, ia terus menjaga kedua adiknya dan menjelaskan kepada Amar tentang kondisi ayah mereka.
"Sekarang Ayah udah nggak ada, Dek. Kita harus sama-sama jagain Ibu dan Akbar, ya," ucapnya.
Gadis cantik berhijab biru muda itu terus menggenggam tangan ibunya, tak sedetik pun ia lepas hingga akhirnya semua proses pemakaman sang ayah selesai.
Sama halnya dengan Amara, Nuraini pun tetap setia mendampingi Aira yang sempat tak sadarkan diri ketika jasad sang suami mulai dimasukkan ke liang lahat.
"Kuat, Ra, kuat. Kasihan suamimu."
Semua orang sudah pergi meninggalkan area pemakaman, bahkan ketiga anak Aira pun sudah dibawa pulang oleh beberapa tetangga, kini tinggal Aira yang masih terus menatap papan yang tertancap di atas pusara sang suami dengan Nuraini yang masih setia mendampinginya.
"Kenapa kamu pergi begitu cepat, Mas? Bukankah kita punya banyak mimpi yang belum sempat kita wujudkan?"
"Bukankah tahun depan kita akan pergi ke tanah suci bersama-sama? Bukankah kau berjanji akan mengantarkan Akbar di hari pertama sekolahnya? Bukankah kau sendiri yang akan menyerahkan Amara kepada suaminya kelak? Kau juga berjanji akan memastikan Amara mendapatkan suami yang salih dan bertanggung jawab. Lupa kah kau dengan janji-janjimu itu, Mas?" Aira memeluk dan mencengkram kuat gundukan tanah di depannya.
Nuraini mengusap punggung Aira. "Sudah, Ra. Tenangkan dirimu."
Aira tidak mengindahkan ucapan Nuraini, ia terus meratapi kepergian sang suami. Tangisnya pecah, tubuhnya berguncang hebat, hingga akhirnya kembali tak sadarkan diri.
Nuraini langsung menghubungi salah satu kerabatnya untuk meminta bantuan sambil terus berusaha membangunkan Aira. Namun sayang, tubuh Aira tetap lunglai di atas pusara sang suami.
Dengan sedikit kesusahan Nuraini mengangkat tubuh Aira kemudian ia peluk dengan erat.
"Kuatkan Aira, Ya Allah," lirihnya.
Tak lama bantuan datang, mereka langsung mengangkat tubuh Aira dan membawanya ke mobil.
"Kamu udah bangun, Ra? Minum dulu gih!" Nuraini menyodorkan segelas teh hangat, tetapi Aira langsung menepisnya.
"Aku nggak haus, Nur."
"Kamu harus minum teh ini, Ra, supaya sedikit bertenaga." Nuraini terus membujuk Aira hingga akhirnya ia mau meneguk sedikit teh hangat tersebut.
"Anak-anak di mana?" Aira berusaha beranjak dari tempat tidurnya, tetapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit. Ia meringis sambil memegangi kepalanya.
"Kamu istirahat aja, Ra. Jangan pikirin anak-anak. Anak-anak aman sama mamaku, beliau baru aja sampe."
"Makasih ya, Nur. Aku nggak tahu gimana jadinya aku kalo nggak ada kamu." Kedua perempuan itu kembali berpelukan.
Satu minggu berlalu, para tetangga sudah kembali ke rumah masing-masing setelah beberapa hari bergantian membantu Aira menyiapkan acara tahlilan untuk mendoakan mendiang suaminya, kini tinggal Nuraini juga sang ibu yang masih setia mendampingi Aira serta ketiga anaknya.
Namun, Nuraini pun memiliki aktivitas lain, ia memiliki pekerjaan dan pondok pesantren peninggalan sang ayah yang harus ia perhatikan.
"Aku sama Mama pulang dulu ya, Ra. Kamu baik-baik di rumah, jangan melamun, perbanyak ibadah. Ingat, Ra ada anak-anak yang masih butuh perhatianmu."
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan menghubungi ibu atau Nuraini ya, Ra. Ibu sudah menganggapmu seperti anak ibu sendiri, jadi jangan pernah sungkan apalagi malu. Sekarang ibu pulang dulu, insya Allah ibu akan ke sini lagi untuk bertemu cucu-cucu ibu."
"Makasih ya, Bu, Nur. Aira beruntung karena memiliki kalian berdua." Mata indah Aira mulai berembun, ia sangat terharu dengan kebaikan kedua ibu dan anak itu.
Nuraini langsung memeluk sang sahabat. "Udah jangan nangis lagi. Pokoknya kamu harus selalu ingat kalau kamu nggak sendiri, oke!"
"Iya, Nur. Makasih ya."
Sementara Bu Anita, ibunya Nuraini, langsung menghampiri ketiga cucu angkatnya.
"Cucu-cucu nenek yang cantik dan ganteng-ganteng, nenek pulang dulu ya. Ingat selalu pesan nenek, jangan tinggalkan salat, harus rajin belajar, dan jangan lupa untuk selalu mendoakan ayah." Dengan menahan tangis Bu Anita memeluk ketiga anak yang baru saja menjadi yatim itu. Dadanya sesak, kembali teringat ketika sang suami meninggalkan dirinya dan Nuraini untuk selama-lamanya.
"Sekarang Ayah sudah di surga ya, Nek?" celoteh Akbar.
"Iya, Sayang. Ayah sudah tenang di surga, jadi tugas kalian sekarang adalah menjadi anak salih salihah dan selalu mendoakan ayah agar ayah bahagia di sana."
Akbar mengangguk riang, sementara Amar dan Amara yang sudah memahami keadaan yang sesungguhnya justru langsung berubah muram. Mereka sadar jika saat ini tidak bisa lagi menatap dan memeluk orang yang selalu menemani mereka bermain.
Tidak akan ada lagi canda tawa dan senyum indah sang ayah yang kerap mereka saksikan ketika sedang bersenda-gurau bersama, tak ada lagi cinta pertama bagi Amara yang memang belum mengenal cinta.
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Setelah memutuskan hubungan dengan keluarganya yang terjerat kasus korupsi, Magnus bekerja pada keluarga Montgomery, sebuah perusahaan lokomotif terbesar di dunia. Dan dia harus menikah dengan Cressa, putri bungsu Montgomery yang pemarah. Bersama, Magnus dan Cressa punya tujuan masing-masing dalam pernikahan itu. Namun, perlahan-lahan Cressa mengungkap jati diri Magnus yang sebenarnya. Magnus bukan anak koruptor semata, lalu siapa sebenarnya dia?
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.