/0/20970/coverbig.jpg?v=11c9478cc6e4df24732abfb0a33e09f7)
Di balik kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna, seorang suami berselingkuh dengan rekan kerjanya. Namun, ketika sang istri mulai merasakan ada yang salah, ia menggali lebih dalam dan menemukan rahasia gelap yang menghancurkan hidupnya.
Kehidupan Hana dan Arya tampak begitu sempurna. Setiap pagi, Hana menyiapkan sarapan di dapur yang dipenuhi aroma kopi dan roti panggang. Arya duduk di meja makan, tersenyum sambil membaca koran atau mengecek berita dari ponselnya. Pagi mereka selalu hangat, penuh canda tawa, dan semua orang di sekitar mereka menganggap keluarga kecil ini sebagai pasangan ideal.
Namun, belakangan ini Hana mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda. Arya, yang biasanya sangat perhatian, kini sering tampak larut dalam pikirannya sendiri. Dia sering pulang terlambat, beralasan pekerjaan yang semakin sibuk, atau proyek besar yang butuh perhatian ekstra.
Suatu pagi, saat Hana menyuguhkan kopi seperti biasa, Arya terlihat kurang antusias.
"Kopi hitam, tanpa gula. Seperti biasa, Pak Arya yang sibuk," Hana mencoba menggoda, berharap bisa mencairkan suasana.
Arya tersenyum singkat, namun tidak seperti biasanya. Senyumnya terlihat samar, dan ia lebih banyak menunduk pada layar ponselnya.
"Terima kasih, Sayang," jawabnya singkat sambil menyeruput kopi.
Hana memandangnya lekat-lekat, merasa ada yang ganjil. Tapi ia menahan diri, berusaha meyakinkan hatinya bahwa ini hanya lelah biasa. Namun, instingnya berkata lain.
"Kamu baik-baik saja, Arya?" Hana akhirnya memberanikan diri bertanya. "Akhir-akhir ini kamu terlihat... berbeda."
Arya menghela napas, menatap Hana sejenak sebelum kembali fokus ke ponselnya. "Hanya kerjaan, Han. Ada proyek baru yang cukup bikin kepala pening."
Hana mencoba tersenyum dan mengangguk. Tapi perasaan aneh itu tak hilang, malah semakin besar. Arya biasanya suka bercerita tentang pekerjaannya, detail kecil yang ia tak sabar untuk bagi pada Hana. Tapi sekarang, jawaban Arya terasa menghindar, seakan ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Beberapa hari kemudian, rasa gelisah Hana semakin menjadi. Saat dia merapikan pakaian Arya di lemari, ia melihat dasi yang belum pernah dilihatnya sebelumnya, dengan motif yang lebih mencolok dari pilihan Arya biasanya.
"Mungkin aku yang lupa atau mungkin ini hadiah dari seseorang?" pikirnya dalam hati. Tapi, rasa penasaran itu terus mengusiknya.
Sore itu, Hana memutuskan untuk berbicara dengan sahabatnya, Rina, di sebuah kafe dekat kantor Rina. Rina sudah mengenal Hana sejak lama, dan selalu menjadi tempat Hana curhat.
"Aku tahu mungkin ini hanya perasaanku, Rin," ujar Hana, sambil menyesap teh hangatnya. "Tapi aku merasa Arya berubah. Dia makin sering pulang telat, sering lihat-lihat ponsel, dan... entahlah. Aku merasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan."
Rina mengerutkan dahi, mencoba menenangkan sahabatnya. "Mungkin kamu hanya terlalu khawatir, Han. Arya memang lagi sibuk banget kan? Kalau dia nggak pulang malam, itu malah aneh."
Hana tertawa kecil, tetapi tak sepenuhnya terhibur. "Iya sih, tapi kali ini beda, Rin. Bukan cuma soal pulang telat. Dia jadi tertutup. Aku coba nanya, dia cuma bilang soal proyek baru dan nggak mau cerita lebih."
Rina menatap Hana dengan cermat, lalu menggenggam tangannya. "Han, kamu tahu, komunikasi itu kuncinya. Kalau kamu merasa ada yang nggak beres, kamu bisa coba bicara lagi sama Arya. Tapi... pelan-pelan, ya?"
Hana mengangguk pelan. "Mungkin aku terlalu paranoid, ya?"
Malamnya, Hana menunggu Arya pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan belum ada kabar dari Arya. Perasaannya mulai tidak menentu. Setelah dua jam berlalu, Arya akhirnya tiba di rumah, terlihat lelah dan sedikit terkejut melihat Hana yang masih terjaga.
"Kenapa belum tidur?" tanya Arya, menaruh tas kerjanya di sofa.
Hana mencoba tersenyum, meski terasa getir. "Aku nunggu kamu. Kamu baik-baik aja, kan?"
Arya tersenyum kecil, dan menepuk pundaknya. "Iya, tentu saja. Jangan khawatir, Han. Semua baik-baik saja."
Namun, Hana tahu sesuatu tidak seperti biasanya. Meskipun ia ingin memercayai kata-kata Arya, bayang-bayang ketidakpastian terus menghantuinya. Di balik senyum manis dan kata-kata hangat, ada kabut yang semakin tebal menyelimuti kebahagiaan mereka.
Hana berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja. Ia mencoba mengabaikan pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di kepalanya. Namun, malam itu, ia tak bisa memejamkan mata. Ada perasaan gelisah yang tak dapat ia abaikan, seakan nalurinya mencoba memperingatkan sesuatu.
Pagi harinya, saat sarapan, suasana kembali terasa canggung. Arya tampak lebih banyak terdiam dan hanya sesekali melempar senyum seadanya. Hana mencoba bersikap biasa, tapi kegelisahannya terus meningkat. Di tengah suasana yang aneh itu, Hana tiba-tiba teringat sebuah acara pernikahan akhir pekan nanti.
"Arya, minggu ini kita kan diundang ke pernikahan Rina. Kamu masih ingat, kan?" Hana mencoba memulai percakapan dengan santai.
Arya terlihat terkejut sejenak, lalu tersenyum tipis. "Oh, iya... iya, aku ingat kok. Kamu mau pakai baju apa nanti?"
"Entahlah, mungkin gaun biru yang waktu itu kamu bilang bagus," jawab Hana sambil tersenyum. "Kita jarang pergi ke acara bareng, jadi aku mau tampil cantik untuk kamu."
Arya tersenyum kecil, tapi sorot matanya tak sepenuhnya menunjukkan antusiasme. Hana mengamati ekspresi suaminya yang tampak canggung, tapi ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya lebih jauh.
"Bagus, pasti kamu bakal terlihat cantik, Han," jawab Arya singkat sebelum kembali fokus pada sarapannya.
Hana mencoba mengabaikan perasaan aneh itu dan berusaha menikmati sarapan mereka. Setelah beberapa saat, Arya pamit untuk berangkat kerja. Seperti biasa, Hana mengantarnya ke depan pintu.
"Hati-hati di jalan ya," ujar Hana sambil tersenyum dan mencium pipinya.
Arya hanya mengangguk dan tersenyum singkat. "Kamu juga, jaga diri baik-baik."
Saat Arya keluar rumah, Hana masih berdiri di ambang pintu, menatap kepergian suaminya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin sekali percaya bahwa semua baik-baik saja, namun di sisi lain, hatinya dipenuhi rasa curiga yang tak kunjung hilang.
Selama beberapa hari berikutnya, Arya semakin sering pulang larut malam. Alasan yang diberikan selalu sama: pekerjaan yang menumpuk, klien yang butuh perhatian ekstra, atau rapat yang harus dihadiri. Hana berusaha menerima dan mencoba berpikir positif, tetapi pikirannya terus dihantui tanda-tanda yang terasa janggal.
Suatu malam, setelah Arya tertidur, Hana duduk di ruang tamu sendirian. Hatinya resah, pikirannya berlarian ke segala arah. Ia akhirnya memutuskan untuk memeriksa ponsel Arya. Ini bukan kebiasaannya, tapi kali ini, rasa penasarannya tak tertahankan. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan-pesan yang ada di ponsel itu.
Di antara pesan-pesan dari rekan kerja dan teman-teman, ada satu nama yang terus muncul-Mira. Hana tidak begitu mengenal Mira, tapi dia tahu bahwa Mira adalah rekan kerja baru Arya di kantornya.
Pesan-pesan yang tertulis tampak cukup formal, tetapi Hana merasa ada sesuatu yang aneh dengan frekuensi pesan-pesan itu. Setiap kali ada pembahasan tentang lembur atau rapat larut malam, Mira selalu ada di sana.
Tiba-tiba, Hana mendengar langkah kaki Arya dari kamar. Cepat-cepat, ia mengunci ponsel Arya dan meletakkannya kembali di meja samping sofa. Arya mengintip dari pintu kamar, mengusap wajahnya yang tampak lelah.
"Han, kok belum tidur?" tanyanya, suaranya sedikit serak.
Hana tersenyum tipis dan berusaha tampak tenang. "Nggak apa-apa, tadi aku sulit tidur. Lagi kepikiran aja, mungkin kebanyakan minum kopi sore tadi."
Arya mengangguk, seakan menerima jawaban itu tanpa curiga. "Jangan kebanyakan kopi, nanti susah tidur terus," ujarnya sambil kembali masuk ke kamar.
Hana hanya menatap punggungnya, mencoba menekan perasaan gelisah yang terus menghantui. Malam itu, ia tertidur dengan hati yang kacau dan penuh tanda tanya.
Keesokan harinya, Hana pergi menemui Rina. Dia sudah tak sanggup menahan semua ini sendiri dan butuh seseorang untuk berbicara.
"Aku sudah nggak tahu harus gimana lagi, Rin," kata Hana dengan suara serak. "Aku nggak pernah curiga sama Arya sebelumnya, tapi... akhir-akhir ini, ada hal-hal yang bikin aku nggak tenang."
Rina menghela napas dalam dan menggenggam tangan Hana. "Kamu tahu, Han, nggak ada yang salah dengan merasa seperti itu. Kadang, intuisi kita memang lebih peka. Tapi, kamu harus hati-hati juga. Jangan sampai rasa curiga ini menghancurkan kamu sendiri."
Hana menunduk, mencoba menahan air matanya. "Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya, Rin. Aku lelah dengan perasaan ini. Rasanya seperti ada sesuatu yang sangat salah di antara kami."
Rina mengusap bahu Hana lembut. "Kalau memang kamu merasa harus tahu, mungkin kamu bisa bicara langsung sama Arya. Tapi pilih waktu yang tepat. Jangan sampai dia merasa terpojok atau curiga balik."
Hana mengangguk perlahan, merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Rina. Namun, rasa gelisahnya tetap ada, mengakar kuat di dalam hati. Di balik kebahagiaan yang selama ini ia pertahankan, kini muncul kabut ketidakpastian yang menyesakkan. Dan di lubuk hatinya, Hana tahu bahwa ada sesuatu yang harus ia temukan, tak peduli seberapa menyakitkan kebenaran itu.
Bersambung...
Setelah bertahun-tahun menjalani pernikahan, pasangan ini menghadapi krisis yang membuat mereka mempertanyakan janji setia mereka. Namun, ketulusan hati dan cinta yang tak pudar membuat mereka menemukan kembali makna kesetiaan dalam pernikahan.
Seorang istri yang ditinggal suaminya bertahun-tahun karena pekerjaan terus menunggunya dengan setia. Meskipun menghadapi godaan dan tekanan dari lingkungan sekitar, ia tetap berpegang pada cinta sejatinya, berharap suatu hari suaminya akan kembali.
Pasangan yang saling mencurigai satu sama lain terlibat dalam permainan cinta yang rumit. Saat kecurigaan mereka terbukti benar, keduanya menemukan bahwa pernikahan mereka hanya sebuah ilusi yang harus diakhiri.
Seorang pria yang merasa kecewa dengan pernikahannya menjalin hubungan terlarang dengan teman istrinya. Perselingkuhan ini berakhir dengan pengkhianatan ganda yang memecah keluarga dan persahabatan.
Seorang gadis kecil sering memberikan permen kepada Dika, teman sekelasnya yang diam-diam ia suka. Tapi ketika Dika mulai membagikan permennya ke teman lain, ia cemburu dan harus menghadapi rasa sukanya yang polos.
Seorang wanita cantik yang merasa tidak puas dalam pernikahannya bertemu pria misterius yang membuatnya merasa hidup kembali. Hubungan ini membawanya ke dalam intrik dan pengkhianatan yang mengancam menghancurkan hidupnya.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
21+ !!! Harap bijak memilih bacaan HANYA UNTUK DEWASA. Untuk menguji kesetiaan pasangan masing-masing akhirnya Arga dan rekan-rekan sekantornya menyetujui tantangan gila Dako yang mengusulkan untuk membolehkan saling merayu dan menggoda pasangan rekan yang lain selama liburan di pulau nanti. Tanpa amarah dan tanpa cemburu. Semua sah di lakukan selama masih berada di pulau dan tantangan akan berakhir ketika mereka meninggalkan pulau. Dan itu lah awal dari semua permainan gila yang menantang ini di mulai...
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?