Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku

Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku

5.0
3 Bab/Hari
235 Bab
128.6K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Dua tahun lalu, Regan mendapati dirinya dipaksa menikahi Ella untuk melindungi wanita yang dia sayangi. Dari sudut pandang Regan, Ella tercela, menggunakan rencana licik untuk memastikan pernikahan mereka. Dia mempertahankan sikap jauh dan dingin terhadap wanita itu, menyimpan kehangatannya untuk yang lain. Namun, Ella tetap berdedikasi sepenuh hati untuk Regan selama lebih dari sepuluh tahun. Saat dia menjadi lelah dan mempertimbangkan untuk melepaskan usahanya, Regan tiba-tiba merasa ketakutan. Hanya ketika nyawa Ella berada di tepi kematian, hamil anak Regan, dia menyadari, cinta dalam hidupnya selalu Ella.

Bab 1 Mari Kita Bercerai

Saat kota Etin tampak hidup di bawah langit senja, Ella Karyana sedang melakukan penerbangan pulang setelah menjalani tiga bulan syuting yang melelahkan.

Perjalanan empat jam itu terasa seperti selamanya sebelum akhirnya pesawat mendarat.

Setelah mengambil koper, dia berjalan menuju pintu keluar sambil berharap akan ada mobil perusahaan yang menjemputnya. Namun begitu pintu terbuka, dia melihat seseorang yang dikenalnya, yaitu Esau Robani, sopir lama Keluarga Juanda. Menunggu kedatangannya, pria itu berdiri di samping sebuah Rolls-Royce hitam mewah dengan postur tubuh kaku dan penuh hormat.

Sambil menyeret koper, dia mendekat. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Esau segera membawakan kopernya dan membukakan pintu mobil untuknya.

Di dalam, ada seorang pria duduk dalam diam. Kehadirannya, yang dingin dan berwibawa, terbungkus dalam setelan hitam yang dirancang sempurna. Dengan wajah yang tajam dan tanpa menunjukkan ekspresi apa pun, dia tidak mendongak ataupun melirik ke arah Ella.

Pria itu adalah Regan Juanda, yang telah menjadi suami Ella selama dua tahun. Kemunculannya yang tidak terduga membuat Ella lengah, meskipun dia segera ingat kenapa Regan ada di sini. Kesepakatan mereka berakhir hari ini, jadi tentu saja pria itu akan muncul.

Masuk ke dalam mobil, Ella menjaga jarak dengan Regan, di mana ruang di antara mereka tetap sunyi dan tegang seperti sebelumnya.

Selama dua tahun, Regan sudah menegaskan bahwa dia tidak ingin dekat-dekat dengan Ella. Malam ini adalah pertama kalinya mereka duduk begitu dekat.

Ella bisa mencium aroma samar dari parfum yang dikenakan Regan, yang tidak asing tetapi terasa begitu jauh.

Setelah memasukkan koper Ella ke dalam bagasi, Esau kembali duduk di belakang kemudi. Saat mobil bergerak meninggalkan bandara, keheningan di dalam terasa menyesakkan.

Ekspresi Regan tetap dingin dan jauh seperti biasanya, di mana ini menciptakan ketegangan di udara yang begitu mencekik sehingga membuat Ella gugup. Jantungnya berdebar kencang dan setiap tarikan napas terasa begitu dangkal dan tidak nyaman.

Dua puluh menit kemudian, Rolls-Royce itu berhenti di depan kediaman Keluarga Juanda. Sebelum Ella bisa menenangkan pikiran, sang kepala pelayan bergegas keluar dan cepat-cepat membuka pintu. Regan melangkah keluar terlebih dahulu dengan langkah yang panjang menuju rumah tanpa melirik ke arah Ella sedikit pun. "Ayo kita ke ruang kerja," gumamnya dengan tegas, bahkan tidak repot-repot memperlambat langkahnya.

Mengetahui apa yang akan terjadi, saraf Ella tegang sepanjang perjalanan. Memasuki ruang kerja, dia melihat Regan mengeluarkan setumpuk kertas dari laci meja dan melemparkannya ke hadapannya.

"Mari kita bercerai," ucap Regan.

Setelah tiga bulan tidak bertemu dengan Regan, kata-kata pertama yang diucapkan pria itu begitu dingin dan cuek seperti pisau yang menusuk jauh ke dalam hati Ella.

Ella telah mencintai Regan selama sepuluh tahun, tetapi bahkan dengan menjadi istrinya belum cukup untuk mendekatkan dirinya dengan pria itu. Tidak satu pun dari diri Regan, baik jiwa dan raga, pernah menjadi miliknya.

"Niken sudah cukup umur untuk menikah sekarang, kan?" ucap Ella dengan suara bergetar, meskipun dia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.

Alis Regan berkedut sedikit dan secercah ketidaksabaran tampak di wajahnya yang tajam. Dia tidak repot-repot menanggapi komentar Ella. Sebaliknya, dia segera mengulurkan sebuah pulpen ke arah wanita itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ella mengangkat sudut bibir dengan paksa, memberikan senyuman yang sama sekali tidak tampak alami. Tanpa riasan yang biasa dia kenakan, bibirnya tampak pucat dan wajahnya tampak kuyu. Kelelahannya tidak dapat disangkal.

"Tanda tangani saja," ucap Regan dengan tegas tanpa menunjukkan emosi sedikit pun.

Ella menerima pulpen yang disodorkan padanya. Tanpa melirik sedikit pun isi kontrak, dia langsung membalik halaman ke halaman terakhir dan menandatangani namanya. Tindakan ini terasa final, tetapi hampa.

Ella meletakkan pulpen dan melirik ke arah Regan. Tatapan mata yang masih tajam itu menatap balik ke arahnya dengan sikap dingin yang membuat sekujur tubuhnya merinding, seolah-olah pria itu sedang melihat orang asing, bukan istri.

"Sekarang sudah larut malam. Apa tidak apa-apa jika aku pindah besok? tanya Ella dengan suara rapuh sambil tersenyum tegang saat dia berusaha mencari secercah kehangatan di wajah Regan. Namun, tanggapan Regan yang cepat dan tajam membuat harapannya pupus seketika. "Esau akan mengantarmu ke hotel."

Apakah Regan benar-benar mengusirnya sekarang juga? Dia bahkan tidak diizinkan untuk menghabiskan satu malam terakhir di bawah atap ini?

Senyum yang dipaksakan memudar seketika dan keheningan di antara mereka terasa semakin berat. Tatapan mereka bertemu sesaat sebelum dia berbalik dan hatinya semakin mengeras seiring setiap langkah yang dia ambil saat meninggalkan ruangan.

Di kamar, Ella mengambil koper yang bahkan belum sempat dia buka. Ketika dia menyeret kopernya turun ke lantai bawah, para pelayan bergegas untuk membantu, tetapi dia melambaikan tangan menolak mereka dan berkata sambil tersenyum lelah, "Terima kasih, tapi aku bisa membawanya sendiri."

Para pelayan saling bertukar pandang tanpa daya dan berdiri berjajar tanpa mengucapkan sepatah kata pun sembari menyaksikan Ella berjalan menuju pintu keluar.

Selama dua tahun tinggal di rumah ini, Ella mulai menumbuhkan kepedulian pada orang-orang di sini. Semua orang, kecuali Regan, sangat baik padanya. Walaupun sangat sedih, setelah menjalani dua tahun pernikahan yang dingin, dia tidak memiliki kekuatan lagi untuk berjuang.

Sekarang, semuanya sudah berakhir. Saatnya dia bergerak maju dan melepaskan masa lalu.

Meski merasakan sakit yang membakar di dadanya, Ella tetap tidak menangis. Dia telah belajar cara menyembunyikan emosinya dengan baik. Duduk di kursi belakang mobil, dia memaksakan diri untuk terlihat tenang. Setelah Esau menurunkannya di sebuah hotel berbintang di pusat kota, dia langsung keluar dengan membawa kopernya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah masuk ke dalam kamar, Ella menyalakan ponselnya, yang telah mati selama berjam-jam. Terdapat panggilan tidak terjawab dari ayahnya, Kurnia Karyana.

Ella menarik napas dalam-dalam dan mempersiapkan diri sebelum menghubungi nomor Kurnia, yang segera diangkat olehnya.

"Ella, kondisi Niken makin memburuk," ucap Kurnia dengan suara serak karena terbebani oleh rasa lelah dan khawatir.

Terkejut, Ella bertanya dengan jantung berdebar kencang, "Apa? Kapan ini terjadi?"

"Sekitar seminggu yang lalu."

"Kenapa Ayah tidak memberitahuku lebih awal?" tanya Ella.

"Kamu sedang sibuk syuting, jadi aku tidak ingin membebanimu," jawab Kurnia.

Ella terdiam sejenak, keheningan di antara mereka terasa berat. Pikirannya teringat kembali ke dua tahun lalu, saat dia mendonorkan sumsum tulang belakangnya untuk menyelamatkan nyawa Niken Karyana. Tiba-tiba, dia mengerti kenapa ayahnya menelepon. "Apa yang perlu kulakukan?" tanyanya dengan suaranya tenang tetapi pasrah.

"Tidak, tidak ada yang perlu kamu lakukan. Regan sudah mengurus semuanya. Dia mendatangkan dokter-dokter terbaik dan pihak rumah sakit juga telah menemukan donor sumsum tulang belakang yang cocok untuk Niken. Kamu hanya perlu berkunjung jika kamu sempat," ucap Kurnia.

Ella tetap terdiam, dadanya terasa sesak. Merasakan keraguan Ella, Kurnia memberikan nomor bangsal Niken dan mendesaknya untuk segera datang sambil menyebutkan betapa Niken merindukannya.

Rasa sakit yang tajam mencengkeram hati Ella. Dia berhasil mengiakan permintaan itu dengan lemah sebelum buru-buru mengakhiri panggilan telepon itu karena tidak sanggup mendengar lebih banyak lagi.

Malam ini terasa tidak berujung. Dia berguling-guling di tempat tidur hotel yang asing dengan pikiran berkecamuk. Pada pukul 2 dini hari, akhirnya dia menyerah dan memesan sebotol anggur merah. Setelah menghabiskan anggur tersebut separuh botol lebih, akhirnya dia berhasil tertidur walaupun masih gelisah.

Keesokan paginya, mendekati tengah hari, Ella terbangun karena ponselnya berdering. Itu adalah panggilan telepon dari manajernya, yang mengajukan gagasan untuk bergabung dengan acara realitas di pedesaan yang populer, di mana acara ini menjanjikan batu loncatan dalam dunia hiburan bagi semua para peserta yang berpartisipasi.

"Aku tidak tertarik. Aku butuh istirahat," jawab Ella dengan suara serak karena kelelahan.

Merasa jengkel, manajernya membentak, "Istirahat? Apa menurutmu kamu bisa beristirahat kapan pun kamu mau? Lihat, kamu sudah berkecimpung di industri ini selama tiga tahun. Kamu telah menolak adegan intim dan acara realitas, serta menghindari aksi publisitas dengan selebriti pria. Perusahaan telah berusaha sekuat tenaga untuk mengakomodasi kamu! Apa lagi yang kamu inginkan?" Suaranya menjadi lebih tajam saat melanjutkan, "Setelah meniti karier di dunia hiburan tiga tahun, kamu tetap tidak memiliki ambisi. Jika kamu seperti ini terus, kariermu akan tamat."

"Kalau begitu, biarlah itu terjadi," sahut Ella.

"Ella, kamu ...."

Suara manajernya terputus saat Ella mengakhiri panggilan telepon itu tanpa ragu. Rasa jengkel menggelegak dalam dirinya, tetapi dia tidak membiarkan dirinya berlarut-larut dalam kejengkelan ini. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengabaikan suara ponselnya yang tak henti-hentinya berdering.

Setelah mandi cukup lama, dia merasa sedikit lebih jernih dan memutuskan untuk menghubungi Jenny Hanafi, sahabat karibnya yang sudah lama tidak dia temui. Ella bertanya apakah dia bisa tinggal di tempat Jenny selama beberapa hari. Jenny dengan senang hati langsung menyetujuinya dan segera datang menjemputnya.

Sesampainya di rumah Jenny, Ella membongkar barang bawaannya dan makan siang bersama Jenny. Kemudian, dia berangkat ke Rumah Sakit Umum Etin.

Dari balik kaca bangsal Niken, Ella melihatnya sedang disuapi makanan oleh seorang pengasuh. Niken, yang lemah dan pucat, hanya berhasil makan beberapa suap sebelum dia memuntahkan semuanya. Pemandangan ini membuat dada Ella terasa sesak dengan kesedihan.

Niken adalah adik tirinya yang berusia lima tahun lebih muda darinya dan kini menginjak usia dua puluh tahun. Mereka tidak terpisahkan sejak kanak-kanak. Sebagai adik, Niken selalu mengagumi Ella dan mengikutinya ke mana pun. Namun, semuanya berubah ketika mereka berdua jatuh cinta pada Regan.

Dua tahun yang lalu, ketika Niken pertama kali didiagnosis menderita leukemia, Regan sangat khawatir. Pada saat inilah Ella menyadari bahwa orang yang dicintai Regan bukanlah dirinya, melainkan Niken.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 235 Minum-Minum   Hari ini00:21
img
11 Bab 11 Demam Mendadak
18/11/2024
14 Bab 14 Dia Membantunya
18/11/2024
19 Bab 19 Tidak Hamil
18/11/2024
29 Bab 29 Tamasya Bertiga
18/11/2024
37 Bab 37 Disergap
19/11/2024
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY