"Maaf, saya akan menghangatkannya, Pak," jawab Nadine dengan suara pelan, berusaha untuk tidak membuat situasi semakin buruk.
Arman mendengus keras. "Sudah berapa kali kubilang, jangan menyiapkan makanan seperti ini? Kau memang tak bisa diandalkan!" Arman berbicara dengan nada yang penuh amarah, seperti biasa. Nadine hanya bisa menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Dia tahu, dalam pandangan Arman, dia selalu saja tidak cukup baik.
Clara, kekasih Arman yang duduk di sofa dengan ekspresi acuh tak acuh, tertawa sinis mendengar kata-kata Arman. "Memangnya kau berharap apa, Mas? Wanita ini bahkan tak pantas jadi istri. Dia hanya sampah," ujarnya dengan penuh kebencian, memutar cangkir kopi di tangannya.
Nadine menggigit bibirnya, berusaha menahan isaknya. Kata-kata Clara seperti pisau yang terus menusuk hati, mengingatkan dirinya akan betapa rendahnya posisinya di mata mereka. "Maaf..." hanya itu yang bisa ia ucapkan, suaranya tercekat.
Di ruang itu, ada begitu banyak kata yang tak terucapkan. Ada begitu banyak luka yang tersembunyi, yang kini harus ia telan sendiri.
---
Di Kamar Tidur Nadine
Malam semakin larut, namun Nadine tidak bisa tidur. Matanya terbuka lebar, namun pikirannya terperangkap dalam kenangan yang gelap. Kenangan yang datang begitu tiba-tiba, menyusup dalam benaknya. Pikirannya kembali ke malam itu, malam yang penuh dengan kekeliruan dan ketidakberdayaan.
Suara Arman kembali terngiang di telinganya. "Nadine... ini salahmu. Kau menggoda aku hingga aku kehilangan kendali." Kata-kata itu masih menghantui dirinya, bahkan kini lebih keras dari sebelumnya.
Nadine menggenggam perutnya, merasakan getaran kecil di dalamnya. "Maafkan Mama, Nak. Mama hanya ingin kau lahir dengan selamat..." bisiknya lirih, berbicara pada bayi yang kini tumbuh dalam rahimnya.
Setiap malam, ia merasakan kesakitan-fisik maupun emosional-namun ia tahu, bayi ini adalah satu-satunya alasan ia bertahan. Tanpa bayi itu, ia tak tahu apakah ia bisa terus hidup dalam kebisuan ini.
---
Pagi Harinya
Ketika matahari sudah menyinari rumah, Clara berdiri di depan pintu kamar Nadine dengan ekspresi yang mengesalkan. "Cepat bersihkan rumah. Aku muak melihat debu di mana-mana," perintah Clara dengan nada tajam.
Nadine hanya mengangguk, menyembunyikan rasa sakit yang semakin dalam. Ia tahu, membantah hanya akan memperburuk segalanya. Tanpa sepatah kata pun, ia bangkit dan mulai membersihkan rumah. Namun, saat sedang menyapu ruang tamu, Clara dengan sengaja menumpahkan kopi ke lantai, seakan sengaja menantang Nadine.
"Aduh, aku ceroboh. Bersihkan ini juga, Nadine," Clara berkata sambil tersenyum sinis, menikmati penderitaan yang ditimpakan pada Nadine.
Nadine menahan napas, mencoba untuk tidak terbawa emosi. Ia hanya bisa mengangguk dan membersihkan lantai yang basah, sementara dalam hatinya bergumul rasa sakit yang semakin dalam.