Naira berdiri di tepi makam, tangan kurusnya menggenggam payung tua yang sudah bolong di beberapa bagian. Hatinya terasa hampa, sementara suara tangis palsu terdengar di sekitarnya. **Rossa**, ibu tirinya, berdiri tidak jauh darinya, mengenakan gaun hitam mewah. Di sampingnya, **Ayla**, kakak tirinya, berdandan seperti hendak pergi ke pesta, bukan ke pemakaman.
"Kasihan, ya, dia. Sekarang nggak punya siapa-siapa," bisik Ayla dengan suara cukup keras agar Naira mendengarnya.
Rossa tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan tangan. "Dia pikir dunia ini masih berpihak padanya? Kalau bukan karena ayahnya, kita bahkan nggak akan repot-repot datang ke pemakaman ini."
Naira memejamkan matanya, berusaha keras menahan tangis. Ia tahu, setelah ini, hidupnya tidak akan pernah sama.
"Apa-apaan ini?" suara Rossa melengking dari ruang tamu. Naira, yang sedang mengepel lantai dapur, segera menghampiri.
Rossa mengangkat surat DO dari universitas Naira dengan wajah murka. "Kamu nggak bayar kuliah, ya? Berani-beraninya kamu menyusahkan aku!"
Naira menunduk. Suaranya nyaris tak terdengar ketika ia berkata, "Aku nggak punya uang, Bu."
"Berhenti panggil aku 'Bu'! Aku bukan ibumu!" Rossa melemparkan surat itu ke lantai. "Dan mulai sekarang, lupakan kuliah! Kamu pikir aku mau buang-buang uang untuk anak seperti kamu? Kalau kamu mau makan di rumah ini, kerja! Bersihkan rumah, cuci baju, masak, lakukan semuanya!"
Naira menahan napas, mencoba mengabaikan perih di hatinya.
"Dan satu hal lagi," tambah Rossa dengan nada merendahkan. "Kalau kamu nggak suka, silakan angkat kaki. Tapi jangan pernah berharap aku akan memberi uang sepeser pun untukmu."
Naira duduk di kamarnya, sebuah ruangan kecil di belakang rumah yang dulunya digunakan untuk menyimpan barang-barang bekas. Ia menatap layar ponselnya, menggulirkan aplikasi yang baru saja diunduh.
"Apa aku benar-benar harus melakukan ini?" gumamnya pelan. Di benaknya, terlintas wajah ayahnya, seolah pria itu sedang menatapnya dengan kecewa.
Namun, bayangan lain muncul. Surat DO, ejekan Rossa, dan wajah Ayla yang selalu menatapnya dengan penuh penghinaan.
"Kalau aku nggak ambil langkah ini, aku akan hancur."
Dengan tangan gemetar, ia mulai mendaftar di aplikasi itu, memasukkan foto dan informasi yang membuatnya merasa telanjang meski masih berpakaian lengkap.
---
**Pertemuan Pertama**
Ketika pesan dari pria misterius itu masuk, Naira hampir saja membatalkan semuanya. Tapi nominal yang ditawarkan terlalu besar untuk ditolak.
Ia tiba di hotel seperti yang diminta. Jantungnya berdegup kencang saat ia mengetuk pintu kamar bernomor 707.
Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang pria yang tidak asing. "Naira?" suara itu penuh keterkejutan.
Naira membeku di tempatnya. "Rafael?"
Keduanya saling menatap dalam kebisuan yang mencekam.
"Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?" suara Rafael terdengar berat.
"Aku..." Naira tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Ia ingin lari, tapi kakinya terasa terpaku di lantai.
Rafael memandangnya dengan ekspresi campur aduk antara marah dan bingung. "Jadi, kamu benar-benar terlibat di dunia ini? Apa kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan, Naira?"
"Aku nggak punya pilihan," jawab Naira pelan. "Aku... aku butuh uang."
Rafael mendesah panjang. "Kamu pikir ini solusi? Menjual diri? Apa kamu sadar apa yang kamu pertaruhkan di sini?"
Air mata Naira mengalir tanpa ia sadari. "Kamu nggak tahu apa-apa tentang hidupku sekarang, Kak. Kamu nggak tahu apa yang sudah aku alami sejak Ayah pergi. Jadi, jangan hakimi aku."
Rafael mengusap wajahnya, berusaha meredam emosinya. "Dengar, aku nggak akan membiarkan orang lain menyentuhmu. Kalau ini yang kamu pilih, maka aku akan memastikan aku satu-satunya orang yang terlibat."
Naira tertegun. "Apa maksudmu?"
"Aku akan bayar semua yang kamu butuhkan," kata Rafael dengan suara rendah. "Tapi kamu milikku. Jangan pernah mencoba berurusan dengan orang lain."
---