Seluruh perasaan yang terkubur di dalam diri Kiana, seperti arus bawah laut yang datang dan pergi, muncul kembali. Malam itu mengingatkan pada saat-saat gelap yang pernah menjemputnya dengan kejam lima tahun lalu. Kiana mengusap wajahnya, mencoba menepis air mata yang hampir jatuh. Namun, kenangan itu tetap menguasai pikirannya-kenangan tentang malam di mana ia ditusuk oleh kepercayaan yang telah lama ia miliki, oleh orang-orang yang seharusnya melindunginya.
Kiana menarik napas dalam-dalam, matanya beralih ke foto hitam-putih yang terletak di meja. Potret itu menunjukkan dirinya, berusia dua puluh tahun, dengan senyuman ceria di wajah, mengelilingi Haidar, anak laki-lakinya yang masih berusia satu tahun saat itu. Haidar, dengan bola mata cokelat gelap dan rambut hitam legam seperti ibunya, adalah satu-satunya alasan mengapa Kiana tetap hidup. Ia menyentuh foto itu, seolah ingin merasakan kehangatan dari masa lalu yang tak pernah kembali.
"Haidar," bisiknya, suara yang bergetar. "Aku harus kuat untukmu."
Di luar, hujan mulai turun, tetesan airnya membentuk pola di kaca jendela. Suara gerimis itu seperti bisikan kenangan yang berulang, mengingatkan pada malam ketika hujan pertama kali menyaksikan kejatuhannya. Waktu itu, rumah besar yang kini kosong dan sunyi terasa seperti penjara yang menjebaknya, di mana kata-kata menyakitkan dan janji-janji kosong bersatu membentuk dinding yang tidak bisa ditembus.
"Kenapa aku di sini, dan bukan di sana?" Kiana bertanya pada bayangannya sendiri. Di ruang sunyi itu, hanya suara deru angin dan hujan yang menjawab.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki di depan pintu membangunkan Kiana dari lamunannya. Ia merasakan sesuatu yang aneh, seolah dunia di sekelilingnya terhenti sejenak. Jantungnya berdegup kencang. Mungkinkah Haidar sudah terjaga? Tapi tidak, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua pagi. Kiana menahan napas dan berjalan perlahan menuju pintu, mencoba memahami apakah itu hanya imajinasinya atau sesuatu yang lebih nyata.
"Pasti hanya angin," gumamnya, tapi suara di luar semakin jelas-ada ketukan lembut, diikuti dengan suara serak yang mengenalinya.
"Kiana...," panggilan itu penuh dengan kebingungan dan rasa cemas. Suara itu-itu suara Alif.
Kiana merasa tubuhnya kaku, seolah ada tangan yang membekap mulutnya, mencegahnya untuk berbicara. Sejenak, ia merasa dunia seperti berputar, dan semua ingatan buruk itu kembali mengguncangnya. Alif, pria yang telah lama hilang, kembali muncul setelah lima tahun. Setiap potongan kenangan yang berkaitan dengannya terasa seperti pisau yang menusuk.
Dengan langkah goyah, Kiana membuka pintu dan menemukan Alif berdiri di sana, wajahnya basah oleh hujan, dan mata itu memancarkan keputusasaan. Ia terlihat lelah, dan di tangannya, ada sebuah amplop cokelat tua yang terlipat rapi.
"Kiana, aku tahu ini tidak tepat, dan aku tidak seharusnya datang di malam seperti ini, tapi... aku harus berbicara denganmu," kata Alif, suaranya berat, penuh penyesalan.
Kiana menatapnya, ingin mengabaikan semua perasaan itu, ingin menutup pintu dan mengusirnya, tapi ada sesuatu di matanya yang membuatnya ragu. Kiana menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai dirinya. "Kau tidak punya hak untuk datang ke sini, Alif. Sudah lima tahun. Apa yang kamu inginkan?"
Alif mengangkat amplop itu, matanya tetap menatap Kiana. "Aku ingin berbicara tentang Haidar."
Nama itu, seperti mantra yang memiliki kekuatan untuk menarik Kiana dari semua kenyataan pahit, membuat jantungnya terhenti. Haidar. Anak yang ia jaga sendirian, yang ia besarkan tanpa bantuan siapa pun. Anak yang bahkan tak pernah tahu siapa ayahnya.
"Tidak ada yang bisa kamu katakan tentang Haidar. Dia bukan urusanmu," kata Kiana dengan suara yang tegas, meskipun ia bisa merasakan getaran di dalam dadanya.
Alif menghela napas panjang. "Haidar adalah anakku juga, Kiana. Aku tahu aku salah. Aku meninggalkanmu, dan aku meninggalkan dia. Tapi sekarang, aku ingin memperbaikinya. Aku ingin mengakui dia sebagai anakku."
Tangan Kiana gemetar, ingin meraih amplop itu, namun hatinya menolak. Mengapa sekarang? Mengapa baru sekarang dia muncul, setelah semua penderitaan yang ia alami? "Apa yang membuatmu berpikir aku akan mempercayaimu, Alif?" tanyanya, matanya basah.
"Karena aku tahu aku salah. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa jadi ayah yang baik untuknya. Aku ingin memperbaiki semuanya, walau aku tahu tidak ada yang bisa menghapus apa yang telah terjadi."
Mata Kiana berkaca-kaca, tetapi ia berusaha keras menahan air mata itu. Apa yang harus ia lakukan? Ia memandang Alif, pria yang dahulu menjadi segalanya bagi Kiana, sebelum pengkhianatan itu menghancurkan segalanya. Sekarang, di hadapannya, ada pria yang meminta kesempatan untuk kembali. Namun, apakah permintaan itu hanya kebohongan yang dibalut penyesalan? Atau apakah ini kesempatan untuk memberikan Haidar seorang ayah, walau ia sendiri masih belum siap?
"Kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kamu datang dan mengatakan semua ini?" Kiana menatap Alif dengan tatapan penuh pertanyaan.
Alif menunduk, sejenak terdiam. "Karena aku sadar bahwa aku tidak bisa terus menghindar dari kenyataan. Aku melihat Haidar di suatu tempat, di gambar yang kau unggah. Dia tumbuh menjadi anak yang luar biasa, dan aku ingin ada di sana untuknya. Aku tahu aku tidak berhak meminta maaf atau mendapatkan kesempatan kedua, tapi aku ingin kau tahu, Kiana... aku ingin mengakui Haidar sebagai anakku."
Suasana di ruang itu terasa berat. Angin yang bertiup kencang membawa suara hujan yang semakin deras, menambah ketegangan. Kiana memandang Alif, mencari kejujuran di matanya, tetapi hatinya terpecah antara amarah dan harapan. Akankah ia memberi pria itu kesempatan untuk menebus semua kesalahan? Ataukah ia akan mengusirnya dan tetap menjaga jarak, menghindari luka lama yang mungkin terbuka kembali?
"Alif," kata Kiana, suaranya penuh kebimbangan. "Kau harus tahu, tidak ada jaminan bahwa aku akan memaafkanmu. Haidar adalah hidupku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengancam kebahagiaannya."
Alif mengangguk, air matanya hampir tumpah, tetapi ia menahannya. "Aku tidak ingin mengancam kebahagiaannya. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupnya, jika kau membiarkanku."
Kiana memejamkan mata, mencoba mencerna kata-kata itu. Lima tahun lalu, ia mungkin akan jatuh dalam pelukan Alif, berharap segalanya bisa diperbaiki. Namun, kini, ia hanya ingin melindungi Haidar-anak yang ia rawat dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan.
Kiana membuka matanya dan melihat Alif yang berdiri dengan ekspresi penuh penyesalan. Ia tahu, di balik permintaan ini, ada cinta yang tersembunyi. Namun, apakah cinta itu cukup untuk mengubah segalanya? Ia tak tahu. Yang jelas, hatinya tidak pernah begitu terombang-ambing seperti sekarang.
"Aku akan memikirkan ini, Alif," katanya akhirnya, suara yang lemah. "Tapi kau harus mengerti, ini bukan keputusan yang mudah."
Alif mengangguk dan menunduk, lalu berbalik dan berjalan meninggalkan rumah tanpa berkata-kata lagi. Kiana menutup pintu dengan perlahan, merasa seolah sebuah babak baru dalam hidupnya baru saja dimulai.