Pikirannya berkelana, kembali ke masa lalu. Lima tahun yang telah berlalu sejak ia menikah dengan Adrian. Lima tahun yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, tetapi kenyataannya justru penuh dengan kesunyian yang menyakitkan. Adrian... Suaminya. Namanya begitu familiar, begitu penuh arti dalam hidupnya, tetapi belakangan, semuanya terasa begitu asing. Sofia ingat betul betapa bersemangatnya dia saat pertama kali bertemu dengan Adrian. Dia seorang pria yang tampan, cerdas, dan tampaknya penuh perhatian. Semua teman-temannya berkata bahwa ia sangat beruntung menikahi pria seperti Adrian.
Namun, seiring berjalannya waktu, Sofia mulai merasakan perubahan. Adrian yang dulunya selalu ada untuknya, yang dulu begitu memperhatikannya, kini mulai terjarak. Tatapannya sering kosong, pikirannya sering melayang, dan ketegangan di antara mereka tak bisa disembunyikan lagi. Sofia mencoba untuk berpura-pura, mencoba untuk menganggap bahwa semuanya akan baik-baik saja, bahwa pernikahan mereka hanya sedang dilanda badai kecil. Namun, perasaan itu semakin dalam, semakin terasa tajam.
Dan sekarang, setelah semua yang telah terjadi, setelah sakit yang ia rasakan di tubuhnya, ia baru menyadari satu hal: bahwa selama ini ia hanya menjadi bayangan dalam hidup Adrian. Wanita itu, wanita yang selalu hadir dalam pikirannya, dalam setiap detik waktu yang dihabiskannya, selalu ada. Wanita yang bukan dirinya. Dan kini, saat ia tahu bahwa waktunya akan segera habis, ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Adrian tidak pernah benar-benar mencintainya. Cinta itu tidak pernah ada, meskipun mereka sudah menikah selama lima tahun.
Sofia menatap keluar jendela rumah sakit. Langit yang kelabu mencerminkan hatinya yang hancur. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Ia tahu, Adrian sudah menemukan kebahagiaan bersama wanita yang telah lama ia cintai, wanita yang bukan dirinya. Sakit ini... sakit yang datang bukan hanya dari tubuhnya yang lemah, tetapi dari pengkhianatan yang harus ia terima. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan yang tak berujung.
Dan saat itu, saat dunia terasa begitu kosong, ia mendengar suara Adrian di balik pintu, berbicara dengan lembut kepada seorang perawat. "Terima kasih sudah merawatnya dengan baik," kata Adrian, suaranya penuh perhatian. Sofia mengenal suara itu, namun kali ini terdengar asing, tak ada kehangatan seperti dulu. Hanya ada kekosongan.
Adrian masuk ke ruangan. Mata mereka bertemu, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Sofia. Rasanya dia tak lagi memiliki energi untuk berbicara. Semua yang ada di benaknya adalah satu pertanyaan yang tak terjawab, satu kenyataan yang harus ia hadapi. Apakah selama ini ia hanya menjadi sebuah pelampiasan untuk rasa sakit Adrian? Apakah dia hanya perantara, alat untuk membalas dendam?
Adrian berdiri di depan Sofia, menatapnya dengan tatapan kosong yang sulit dibaca. "Bagaimana hasilnya?" tanyanya, mencoba terdengar peduli, meskipun Sofia bisa merasakan jarak yang tak terjembatani antara mereka.
Sofia memejamkan matanya sejenak, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku tahu tentang dia," jawabnya perlahan, suaranya begitu lemah, hampir tidak terdengar. "Tentang wanita itu. Wanita yang selalu ada dalam pikiranmu. Aku tahu kau tidak pernah mencintaiku, Adrian. Aku hanya... alat dalam hidupmu."
Adrian terdiam. Tak ada penyesalan di wajahnya. Hanya ketegangan yang semakin menambah hancur hati Sofia. Seperti sebuah cermin yang pecah, dia bisa melihat bayangannya sendiri yang remuk, tak lagi utuh.
"Aku... aku menikahi kamu karena ini semua, Sofia," Adrian akhirnya berkata, suara rendah dan tajam. "Ini bukan tentang cinta. Ini tentang membayar utang keluargamu kepada keluarga kami." Kata-katanya menusuk langsung ke jantung Sofia. Semua yang ia dengar terasa seperti ledakan keras yang menghancurkan dinding-dinding hatinya. Utang? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang ia lakukan sampai harus membayar harga yang begitu mahal?
Dengan tangan gemetar, Sofia menarik sebuah surat dari dalam tasnya. Surat cerai yang telah ia siapkan, yang sudah ia tandatangani. "Aku tidak ingin lagi ada di sini, Adrian," katanya dengan suara serak, meskipun di dalam hatinya terasa begitu berat untuk mengatakan kalimat itu. "Aku akan pergi. Ini sudah selesai."
Adrian tak bergerak. Wajahnya tetap keras, namun di balik itu ada ketegangan yang mencuat. "Kamu ingin pergi?" katanya, dengan suara yang mulai terdengar berbeda. "Kamu pikir dengan pergi kamu bisa menyelesaikan semuanya? Ini bukan hanya tentang kita, Sofia. Ini tentang segalanya yang sudah terjadi, tentang keluarga kita yang hancur... dan aku hanya melakukan ini untuk membalas semua yang telah mereka lakukan padaku. Aku tidak pernah mencintaimu, dan kau tidak pernah benar-benar tahu siapa aku."
Sofia menatapnya dengan tatapan kosong. Ia tak bisa lagi menangis, tak bisa lagi merasa sakit. Yang ia rasakan hanya hampa. Semua yang pernah ia percayai ternyata hanya kebohongan. Semua cinta yang ia berikan hanya dibalas dengan kejam. Dengan langkah lemah, Sofia berdiri, dan tanpa berkata-kata lagi, ia berjalan keluar dari kamar itu, meninggalkan pria yang telah menghancurkan hidupnya, meninggalkan semua mimpi yang kini hanya tinggal kenangan pahit.
Saat ia keluar, dunia di luar tampak begitu sunyi, begitu kosong, seperti hatinya.