Dua hari yang lalu, Alina adalah seorang gadis biasa-seorang wanita muda yang bekerja keras di perusahaan desain interior, menghabiskan hari-harinya dengan proyek-proyek kecil dan mimpi-mimpi besar yang selalu terasa jauh. Hidupnya sederhana, tetapi itu sudah cukup untuk membuatnya merasa bahagia. Tapi semuanya hancur ketika pertemuan tak terduga dengan Arjuna mengubah jalan hidupnya.
Arjuna adalah duda kaya yang terkenal di dunia bisnis, seorang pria yang tampaknya tak pernah memiliki waktu untuk urusan pribadi. Wajahnya yang tampan dan tenang, dengan tatapan yang kadang bisa menusuk, membuatnya dihormati sekaligus ditakuti. Dia memiliki segalanya-harta, rumah, dan pengaruh-tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar mengenalnya. Begitu pula dengan Alina. Mereka bertemu karena sebuah proyek perumahan yang membutuhkan desain interior, dan entah bagaimana, pertemuan itu menjadi lebih dari sekadar pekerjaan profesional.
"Alina, aku ingin kamu menjadi istriku," kata Arjuna, dengan suara yang tenang dan penuh keyakinan, dua hari yang lalu. Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan yang terdengar lebih seperti perintah. Tanpa memberi kesempatan bagi Alina untuk berpikir, Arjuna sudah memberikan cincin berlian yang berkilau di depan matanya.
"Apa?" kata Alina, matanya terbuka lebar, tak percaya. "Tunggu, maksudmu... kita baru saja bertemu!"
"Tentu, kita sudah bertemu, tapi aku sudah memikirkannya dengan matang," jawab Arjuna, matanya tak pernah lepas dari wajahnya, seolah Alina adalah satu-satunya yang ada di dunia ini. "Aku membutuhkan seseorang yang bisa merawat rumahku, anak-anakku, dan-" Dia berhenti sejenak, mengerutkan kening, "-menjadi pendamping hidupku."
Alina merasa tercekik oleh kata-kata itu. Ada begitu banyak yang tidak ia mengerti, begitu banyak yang harus ia pertanyakan, tetapi segala keraguan itu seperti tertutup oleh pesona Arjuna yang luar biasa. Dalam sekejap, kehidupannya berubah-dari seorang wanita muda yang bebas dengan impian sederhana menjadi calon istri dari seorang pria yang hanya bisa membuat hatinya bertanya-tanya apakah ia benar-benar siap untuk semua ini.
***
Dua hari berlalu, dan Alina sudah berada di altar, mengenakan gaun pengantin putih yang megah, tetapi di hatinya tidak ada kebahagiaan yang bisa ia rasakan. Ia merasa seperti boneka yang dipakaikan gaun oleh seseorang yang tidak benar-benar peduli padanya. Arjuna berdiri di sampingnya, tak ada ekspresi kegembiraan di wajahnya, hanya ketegasan yang membuatnya terlihat seperti pria yang selalu mengendalikan segalanya.
"Kamu yakin?" kata Alina dengan suara gemetar, meski ia tahu pertanyaan itu sudah terlambat untuk diajukan. Semua sudah terlambat.
Arjuna menoleh sekilas ke arahnya, kemudian mengangguk tanpa ekspresi. "Aku yakin, Alina. Kita akan membuat ini berhasil."
Tetapi Alina merasa sebaliknya. Bagaimana mungkin ia merasa yakin, jika seluruh pernikahannya hanya didasarkan pada kewajiban dan bukan pada cinta? Apa yang ia harapkan dari pria yang bahkan tidak pernah menunjukkan rasa ingin tahu tentang dirinya, tentang siapa dia, atau apa yang ia inginkan dari hidup ini?
Setelah upacara selesai, mereka kembali ke rumah besar yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Rumah itu megah dan penuh dengan perabotan mewah, tetapi Alina merasa seperti berada di dalam sebuah penjara emas. Dindingnya dingin, kosong, seperti jiwa suaminya yang tidak pernah tampak hangat atau penuh kasih.
Alina menyadari, untuk pertama kalinya, bahwa pernikahannya bukanlah sebuah kisah cinta. Itu adalah sebuah kontrak, sebuah pengaturan yang dibuat demi kenyamanan, bukan perasaan. Arjuna hanya menginginkan seseorang untuk mengurus rumah dan anak-anaknya, sementara ia sendiri, entah karena alasan apa, menginginkan dirinya untuk berada di sampingnya, tanpa pernah benar-benar ingin mengenalnya.
Malam pertama mereka sebagai pasangan suami istri berlangsung tanpa kehangatan. Alina terbaring di tempat tidur besar yang terasa asing, sementara Arjuna tidur di sisi yang jauh, seolah mereka berdua hanyalah dua orang yang kebetulan berada di ruangan yang sama. Tidak ada pelukan, tidak ada ciuman, hanya kesepian yang mengisi ruang yang luas itu.
Alina menatap langit-langit, bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa yang ia lakukan salah. Apakah ini harga yang harus ia bayar untuk kehidupan yang lebih baik? Atau, apakah ia hanya sebuah pengorbanan dalam permainan kekuasaan yang lebih besar dari dirinya?
Di luar, hujan turun deras, tetapi di dalam, hatinya terasa jauh lebih dingin.
***
Pagi berikutnya, saat Alina baru saja bangun dari tidurnya yang gelisah, ia mendapati Arjuna sudah tidak ada di rumah. Pekerjaannya, selalu menjadi prioritas utama dalam hidupnya, sudah membawanya pergi lagi. Alina berkeliling rumah besar itu, mencoba menyesuaikan diri, namun ia merasa terasing di dalam dinding-dinding yang tidak pernah menjadi rumah bagi hatinya.
Anak-anak Arjuna yang masih kecil juga belum bisa menerima kehadirannya. Mereka lebih suka dengan pengasuh lama mereka yang sudah seperti ibu bagi mereka, dan Alina hanya merasa seperti pelengkap, bukan bagian dari keluarga itu. Setiap detik yang ia jalani di rumah itu seakan semakin menjeratnya dalam kesepian.
"Ini bukan pernikahan," gumamnya pada dirinya sendiri, sambil memandang dirinya di cermin lagi. "Ini adalah perangkap."