Alya menghela napas panjang. "Ah, kenapa rasanya tidak tenang?" gumamnya pelan. Ia menoleh ke arah pintu depan, berharap bisa menenangkan diri sebelum menyambut tamu yang akan datang.
Tepat saat itu, bel pintu berbunyi. Hatinya semakin berdebar. Alya berdiri dan menata rapi bajunya, memastikan penampilan tetap rapi dan sopan. Ketika membuka pintu, di hadapannya berdiri seorang pria paruh baya dengan senyum hangat dan tatapan mata yang dalam.
"Selamat pagi, Nona Alya," sapa pria itu dengan suara lembut tapi tegas.
"Selamat pagi, Pak...?" Alya ragu sejenak, mencoba mengingat nama pria itu.
"Saya Rafly Pranata, sahabat kakekmu," jawabnya sambil menundukkan kepala sopan.
Alya segera tersenyum, berusaha menunjukkan keramahan. "Oh, Pak Rafly. Silakan masuk." Ia menyingkir, memberi jalan agar Rafly bisa melangkah ke dalam rumah.
Rafly melangkah masuk dengan anggun, matanya sesekali menatap sekeliling rumah dengan rasa kagum. "Rumahmu sangat indah, Alya. Sangat sesuai dengan selera kakekmu," puji Rafly sambil menatap Alya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuat jantung Alya berdebar lebih cepat, tapi ia menepis perasaan aneh itu.
Mereka duduk di ruang tamu. Rafly tampak santai, tetapi ada aura ketegasan yang tidak bisa disembunyikan. Mereka mulai berbincang tentang kakeknya yang sedang berada di luar kota, tentang kondisi keluarga, dan kenangan lama yang membuat suasana sejenak cair. Alya mencoba tersenyum dan menanggapi dengan sopan, tapi hatinya tetap cemas.
Namun, tanpa disadari, percakapan mereka mulai meluncur ke topik yang tak Alya duga. Rafly berbicara tentang warisan keluarga, tanggung jawab, dan-secara mengejutkan-tentang pernikahan Alya.
"Nona Alya, kakekmu sering bercerita tentangmu," kata Rafly dengan nada serius. "Dia selalu berharap kau bisa menempuh hidup yang aman dan terjaga. Aku... ingin membantu mewujudkannya."
Alya mengerutkan kening. "Maksud Bapak...?" tanyanya hati-hati, mencoba membaca maksud perkataan Rafly.
Rafly menatap Alya dalam-dalam. "Aku... ingin menikahimu."
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Alya tercekat. "Maaf, Pak... menikahi saya? Maksud Bapak..." Suaranya bergetar, jantungnya terasa seperti hendak melompat keluar.
"Aku tahu ini tiba-tiba, tapi demi kebaikanmu dan untuk menghormati kakekmu... Aku ingin melindungimu," Rafly menjelaskan dengan tenang, meski tatapannya penuh ketegasan.
Alya ingin menolak, tapi hatinya hancur ketika ingat kakeknya yang selalu mempercayai Rafly. "Pak Rafly... saya... saya... sebenarnya sudah punya kekasih. Kami merencanakan menikah tahun depan," ujarnya terbata-bata.
Rafly hanya tersenyum tipis. "Aku tahu, tapi kadang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Kakekmu mempercayakan semuanya padaku. Aku tidak ingin menolaknya."
Situasi itu membuat Alya bingung. Hatinya terbelah antara keinginan menolak dan rasa hormat pada kakeknya. Akhirnya, tanpa sepatah kata lagi, Alya pun "terpaksa" menerima pernikahan mendadak itu.
Empat bulan berlalu, dan kehidupan Alya berubah drastis. Ia kini resmi menjadi istri Rafly Pranata, seorang miliarder yang lebih tua dua dekade darinya. Awalnya, Alya merasa aneh dengan kehidupan baru ini, penuh kemewahan dan protokol. Setiap langkahnya diawasi, setiap kata diperhatikan. Namun, di sisi lain, ia mulai menyadari bahwa Rafly sebenarnya sosok yang hangat dan perhatian.
Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu pagi, ketika Rafly tengah duduk di ruang kerjanya, jantungnya tiba-tiba menyerang tanpa ampun. Dalam sekejap, pria itu terkulai lemas, meninggalkan Alya dalam kepanikan. Dokter menyatakan serangan jantung mendadak adalah penyebab kematiannya.
Alya tidak percaya. Ia menatap tubuh suaminya yang kini telah dingin. Air mata jatuh tanpa henti, campuran antara kesedihan, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Dalam sekejap, hidupnya berubah total.
Namun, kematian Rafly meninggalkan warisan yang sangat besar. Alya kini seorang janda muda dengan kekayaan melimpah, rumah megah, dan bisnis yang tersebar di berbagai bidang. Banyak pria mendekatinya, sebagian besar karena harta yang dimilikinya. Alya merasa terjebak dalam dunia baru yang penuh intrik, ketertarikan, dan kepura-puraan.
Suatu hari, ketika ia sedang menata kembali dokumen bisnis Rafly, terjadi insiden yang mengubah hidupnya lagi. Sebuah perusahaan yang Rafly investasikan mengalami masalah besar, dan Alya harus mengambil keputusan sulit untuk mempertahankan bisnis itu. Di tengah tekanan, seorang pria muda muncul untuk menawarkan solusi-dan bukan sembarang pria.
Dia adalah Kael Arindra, seorang pengusaha tampan berusia 32 tahun, dikenal karena ketegasan dan pesonanya yang tak tertandingi. Kael menawarkan perjanjian kontrak pernikahan, sebuah solusi yang memungkinkan Alya menyelamatkan bisnisnya sekaligus menghindari skandal yang bisa menghancurkan reputasi.
Alya menatap Kael, hatinya campur aduk. Di satu sisi, ia ingin menolak; di sisi lain, situasinya tidak memberi pilihan. "Kalau ini satu-satunya cara... saya akan melakukannya," pikir Alya, dengan napas berat.
Kael tersenyum tipis. "Jangan khawatir. Aku tidak akan menyulitkanmu. Kita lakukan ini demi tujuan yang sama."
Itu adalah awal dari babak baru dalam hidup Alya-pernikahan kontrak dengan pria muda yang penuh misteri, sementara bayangan Rafly masih menghantui hatinya. Dunia Alya kini penuh dengan ambisi, rahasia, dan dilema yang harus ia hadapi seorang diri.
Hari itu, Alya menatap cermin di kamar pribadinya, mencoba memahami siapa dirinya sebenarnya. Ia bukan lagi gadis biasa, tapi seorang wanita muda yang harus menghadapi kenyataan pahit, mengambil keputusan sulit, dan menavigasi dunia yang penuh intrik.
"Apapun yang terjadi... aku harus kuat," bisiknya pada diri sendiri. Mata Alya berkilat, campuran antara tekad dan rasa takut. Ia tahu, jalan ke depan tidak akan mudah. Tapi satu hal yang pasti: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.