Dengan susah payah, dia menyebut nama suaminya, Bramantyo, memohon agar pria itu menelepon 112.
"Bunda nggak bisa napas!" tangis Leo di telepon.
Tapi Bram, yang sedang sibuk "membangun jaringan" dengan selingkuhannya, Clara, menganggapnya enteng sebagai "serangan panik" biasa.
Beberapa menit kemudian, Bram menelepon kembali: ambulans yang seharusnya untuk Nindi dialihkan ke Clara, yang hanya "tersandung" dan pergelangan kakinya terkilir.
Dunia Nindi hancur berkeping-keping.
Leo, pahlawan kecil di hatinya, berlari keluar mencari bantuan, tapi malah tertabrak mobil.
Terdengar bunyi gedebuk yang mengerikan.
Dia hanya bisa menonton, seperti arwah dalam tragedinya sendiri, saat paramedis menutupi tubuh kecilnya yang hancur.
Putranya telah tiada, karena Bram lebih memilih Clara.
Kehancuran.
Kengerian.
Rasa bersalah.
Bayangan Leo menghantuinya, membekas begitu dalam.
Bagaimana bisa seorang ayah, seorang suami, menjadi begitu egois dan mengerikan?
Penyesalan yang pahit dan tak berkesudahan menggerogoti jiwanya.
Clara. Selalu Clara.
Lalu, mata Nindi terbuka lebar.
Dia terbaring di lantai ruang tamunya.
Leo, hidup dan sehat, berlari masuk.
Ini adalah kesempatan kedua yang mustahil dan menakutkan.
Masa depan yang mengerikan itu tidak akan terjadi.
Dia akan merebut kembali hidupnya, melindungi putranya, dan membuat mereka membayar semuanya.
Bab 1
Anindita Lestari megap-megap mencari udara. Dadanya menegang, seperti ada besi yang meremukkan paru-parunya.
Leo, putranya yang berusia enam tahun, menatapnya, wajah mungilnya pucat pasi karena ketakutan. "Bunda?"
Nindi meraba-raba mencari EpiPen-nya, pandangannya mulai kabur. Syok anafilaksis. Cepat sekali.
"Telepon... Bram," ucapnya terbata-bata. "Sembilan... satu... satu."
Leo, dengan hati pemberaninya, meraih ponsel ibunya. Jari-jari mungilnya kesulitan membuka layar.
Dia menekan tombol panggil untuk Bram.
"Ayah! Bunda nggak bisa napas! Kelihatannya parah banget!" tangis Leo di telepon.
Suara Bram terdengar dari seberang, jauh dan terganggu. "Mungkin Bunda cuma kena serangan panik, Leo. Kasih dia EpiPen. Ayah lagi ada acara networking sama Tante Clara. Nanti Ayah pulang."
"Bukan, Ayah! Ini serius! Bunda bilang telepon 112!"
"Oke, oke, Ayah panggilkan ambulans untuknya," kata Bram, tapi nadanya meremehkan.
Beberapa menit kemudian, saat Nindi melayang dalam kabut rasa sakit, Bram menelepon kembali. Leo menempelkan ponsel ke telinga ibunya.
"Nindi? Dengar, Clara tersandung. Pergelangan kakinya terkilir parah. Ambulans yang kupanggil untukmu, aku alihkan ke dia. Dia lebih dekat, dan dia kesakitan sekali. Kamu pakai saja EpiPen-mu, kamu akan baik-baik saja."
Dunia Nindi hancur. Clara. Selalu Clara.
Leo, mendengar ini, berteriak. "Nggak! Bunda butuh bantuan!" Dia menjatuhkan ponsel dan berlari ke pintu, mungkin mencoba memanggil Bu Ratih tetangga sebelah.
Klakson mobil meraung. Terdengar bunyi gedebuk yang mengerikan.
Nindi, di tengah kabut kesadarannya, mendengar jeritan yang berbeda, bukan jeritan Leo.
Lalu, hening.
Napasnya sendiri tercekat, sebuah helaan terakhir yang kasar. Rohnya terasa seperti tercabik, melayang ke atas.
Dia melihat Leo. Terbaring di jalan. Diam.
Tiba-tiba paramedis ada di sana, menanganinya, lalu bergegas ke arah Leo. Terlambat.
Gambaran itu membakar jiwanya: Leo, kecil dan hancur, karena Bram lebih memilih Clara.
Kehancuran. Kata yang terlalu kecil. Kengerian. Duka. Rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkannya.
Hatinya, atau apa pun yang tersisa darinya, hancur menjadi sejuta keping.
Dia menonton, seperti arwah dalam tragedinya sendiri, saat mereka menutupi tubuh Leo dengan selembar kain.
Bram. Ini salahnya. Kelalaiannya. Keegoisannya yang mengerikan.
Clara. Wanita itu.
Jika dia punya kesempatan lagi. Jika dia bisa kembali.
Dia tidak akan pernah membiarkan Bramantyo Wicaksono masuk ke dalam hidupnya. Dia akan melindungi Leo.
Dia akan membuat mereka membayar.
Rasa sakit itu mutlak. Penyesalan yang pahit dan tak berkesudahan.
"Bram," bisik arwahnya, sebuah sumpah yang dingin dan penuh amarah, "jika ada kehidupan selanjutnya, aku tidak akan pernah mau mengenalmu."
Tiba-tiba, mata Nindi terbuka lebar.
Dia terbaring di lantai ruang tamunya. Dadanya sakit, tapi dia bisa bernapas.
Tangannya gemetar. Dia menyentuh lehernya. Tidak ada bengkak.
Leo.
Dia bergegas bangkit, jantungnya berdebar kencang. "Leo!"
Leo berlari masuk dari kamarnya, matanya terbelalak. "Bunda? Bunda nggak apa-apa? Tadi Bunda mengeluarkan suara aneh."
Nindi meraihnya, memeluknya begitu erat hingga Leo memekik. Hidup. Dia hidup.
Matanya, dia tahu, mungkin merah. Tangannya masih gemetar.
Ingatan tentang jalanan, bunyi gedebuk, kain penutup... itu terlalu nyata.
Dia melihat kalender di dinding. Tanggal hari ini. Hari yang sama.
Itu belum terjadi.
Sebuah keajaiban. Kesempatan kedua yang menakutkan.
Disorientasi berperang dengan tekad yang kuat dan protektif.
Dia tidak akan membiarkan masa depan itu terjadi.
Ponselnya di meja kopi bergetar. Sebuah notifikasi. Instagram.
Clara Wijaya.
Darah Nindi terasa dingin. Dia mengambilnya, jarinya melayang di atas aplikasi.
Dia harus tahu.
Story Clara: makan malam mewah. Bram, tersenyum di sampingnya.
Dan di tangan Clara, sebuah cincin baru yang berkilauan. Sebuah "cincin janji."
Keterangannya: "Membangun masa depan dengan seseorang yang benar-benar melihat potensiku. Sangat bersyukur atas dukungannya dalam meluncurkan merek kesehatanku! #AwalBaru #SupportSystem."
Stempel tanggal di postingan itu: tadi malam.
Rasa sakit yang baru. Kemarahan. Jijik.
Bram sudah "membangun masa depan" dengan Clara saat masih menikah dengannya, saat Leo masih hidup dan sehat.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa seorang pria begitu tidak memiliki kesopanan dasar?
Kunci berputar di lubang. Bram masuk, bersiul.
Dia berhenti saat melihat wajah Nindi.
"Hei, ada apa? Kamu kelihatan seperti habis lihat hantu."
Dia berbau samar parfum Clara yang memuakkan. Noda lipstik, bukan warnanya, ada di kerahnya. Dia selalu begitu ceroboh.
"Kamu berlebihan," itu kalimat favoritnya. Kalimat itu menggores sarafnya, menimbulkan penolakan fisik.
"Bram," Nindi memulai, suaranya tegang. "Kita perlu bicara."
"Kalau aku bilang aku hampir mati hari ini, Bram, dan Leo juga hampir mati, karena kamu bersama Clara, apa yang akan kamu katakan?" tanya Nindi, suaranya tenang yang berbahaya.
Bram mengerutkan kening. "Apa yang kamu bicarakan? Itu gila. Kamu baik-baik saja?"
Nindi melihat kekosongan di matanya. Sama sekali tidak ada pemahaman.
Dia tidak akan mengerti. Dia tidak akan pernah mengerti.
Kelelahan itu seperti jubah yang berat. Kepahitan, rasa yang akrab.
Dia telah menyia-nyiakan bertahun-tahun.
"Aku mau cerai, Bram," katanya, kata-kata itu terasa seperti kebebasan.