Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Istri Tercampakkan, Legenda Hukum Bangkit
Istri Tercampakkan, Legenda Hukum Bangkit

Istri Tercampakkan, Legenda Hukum Bangkit

5.0
21 Bab
134 Penayangan
Baca Sekarang

Selama tiga tahun, aku menyerahkan hidupku sebagai "Nemesis," pengacara tak terkalahkan itu, demi menjadi istri sempurna untuk jaksa bintang Jakarta, Baskara Wijoyo. Aku menukar berkas-berkas hukumku dengan buku resep, percaya aku bisa menyembuhkan pria yang kucintai. Di hari jadi pernikahan kami, dia pulang mabuk, menciumku dengan putus asa, dan membisikkan nama wanita lain. "Aurelia," bisiknya. "Aku tahu kau akan kembali padaku." Tapi putusan akhir pernikahan kami jatuh di sebuah restoran. Ketika seorang pelayan menumpahkan seteko kopi panas, Baskara tidak ragu sedetik pun. Dia melompat untuk melindungi mantan kekasihnya, Aurelia, dari beberapa tetes kopi. Sisa kopi panas dari teko itu menyiram lenganku, menyebabkan luka bakar tingkat dua. Dia panik hanya karena bekas kemerahan kecil di tangan Aurelia, dan langsung membawanya ke klinik pribadi. Dia bahkan tidak pernah melirik kulitku yang melepuh. Dia hanya menyodorkan kartu kreditnya padaku. "Naik taksi saja ke UGD," katanya. "Nanti aku telepon." Saat itulah istri yang berbakti itu mati. Aku berjalan keluar dan tidak pernah menoleh ke belakang. Tiga bulan kemudian, aku berdiri di seberangnya di ruang sidang, mewakili pria yang dia tuntut dalam kasus terbesar dalam kariernya. Dia tidak tahu bahwa ibu rumah tangga pendiam yang dia buang adalah legenda hukum yang dikenal sebagai Nemesis. Dan aku akan menghancurkan rekor sempurnanya yang tak terkalahkan.

Konten

Bab 1

Selama tiga tahun, aku menyerahkan hidupku sebagai "Nemesis," pengacara tak terkalahkan itu, demi menjadi istri sempurna untuk jaksa bintang Jakarta, Baskara Wijoyo. Aku menukar berkas-berkas hukumku dengan buku resep, percaya aku bisa menyembuhkan pria yang kucintai.

Di hari jadi pernikahan kami, dia pulang mabuk, menciumku dengan putus asa, dan membisikkan nama wanita lain.

"Aurelia," bisiknya. "Aku tahu kau akan kembali padaku."

Tapi putusan akhir pernikahan kami jatuh di sebuah restoran. Ketika seorang pelayan menumpahkan seteko kopi panas, Baskara tidak ragu sedetik pun. Dia melompat untuk melindungi mantan kekasihnya, Aurelia, dari beberapa tetes kopi.

Sisa kopi panas dari teko itu menyiram lenganku, menyebabkan luka bakar tingkat dua. Dia panik hanya karena bekas kemerahan kecil di tangan Aurelia, dan langsung membawanya ke klinik pribadi.

Dia bahkan tidak pernah melirik kulitku yang melepuh. Dia hanya menyodorkan kartu kreditnya padaku.

"Naik taksi saja ke UGD," katanya. "Nanti aku telepon."

Saat itulah istri yang berbakti itu mati. Aku berjalan keluar dan tidak pernah menoleh ke belakang. Tiga bulan kemudian, aku berdiri di seberangnya di ruang sidang, mewakili pria yang dia tuntut dalam kasus terbesar dalam kariernya.

Dia tidak tahu bahwa ibu rumah tangga pendiam yang dia buang adalah legenda hukum yang dikenal sebagai Nemesis. Dan aku akan menghancurkan rekor sempurnanya yang tak terkalahkan.

Bab 1

Di dunia hukum korporat Jakarta, nama "Nemesis" adalah legenda. Sosok hantu. Selama tiga tahun, komunitas hukum berspekulasi, bertanya-tanya ke mana perginya si jenius yang tidak pernah kalah dalam satu kasus pun. Beberapa bilang dia kelelahan. Yang lain berbisik dia punya musuh yang terlalu kuat dan terpaksa bersembunyi.

Tidak ada yang menebak kebenarannya.

Kebenarannya saat ini sedang merangkai buket bunga lili putih di dalam vas minimalis, gerakannya hati-hati dan senyap. Eva Lestari, yang dulu dikenal sebagai Nemesis, sekarang memakai nama Eva Wijoyo. Dia adalah istri Baskara Wijoyo, jaksa bintang Jakarta, pria yang juga punya rekor sempurna tak terkalahkan.

Selama tiga tahun, dia telah memainkan peran sebagai ibu rumah tangga yang sederhana dan berbakti. Dia telah menyimpan setelan jas tajam dan berkas-berkas hukumnya, menukarnya dengan celemek dan buku resep. Dia melakukannya demi cinta, atau apa yang mati-matian dia harapkan akan menjadi cinta.

Pernikahan mereka terjadi begitu cepat, lahir dari satu malam kesepian yang mereka bagi bersama dan rasa tanggung jawab di pihak Baskara. Eva adalah seorang pengacara muda yang sedang naik daun, diam-diam mengagumi jaksa brilian yang terkadang dia hadapi dalam simulasi persidangan. Suatu kali, dia melihat secercah kerapuhan dalam dirinya, rasa sakit yang dia sembunyikan di balik karismanya. Eva pikir dia bisa menjadi orang yang menyembuhkannya.

Dia salah besar.

Rasa sakit Baskara punya nama: Aurelia Hartono. Cinta pertamanya, seorang desainer mode selebriti yang meninggalkannya untuk membangun kerajaannya sendiri. Baskara tidak pernah bisa melupakannya. Rumah mereka adalah museum obsesinya. Meskipun tidak ada foto Aurelia di dinding, kehadirannya ada di mana-mana. Ada pada merek kopi yang dia minum karena Aurelia menyukainya, musik yang dia putar, cara matanya akan menerawang, tersesat dalam kenangan di mana Eva tidak punya tempat.

Eva sudah mencoba. Dia telah mempelajari rutinitasnya, seleranya, suasana hatinya. Dia telah mencurahkan semua kejeniusan strategisnya ke dalam satu kasus yang tidak mungkin dimenangkan: memenangkan hati suaminya.

Tetapi setelah seribu hari sikap dingin, menjadi orang asing yang sopan di rumahnya sendiri, dia tahu putusannya sudah jelas. Dia telah kalah.

Bukti terakhir datang tadi malam. Itu adalah hari jadi pernikahan mereka, tanggal yang, seperti biasa, dilupakan Baskara. Dia pulang larut malam, berbau wiski mahal dan aroma bunga samar dari parfum wanita. Dia mabuk, lebih mabuk dari yang pernah Eva lihat.

Dia terhuyung-huyung masuk ke ruang tamu, tempat Eva menunggu. Teman-temannya dari Kejaksaan bersamanya, menertawakan beberapa kasus lama. Mereka nyaris tidak menyadari keberadaan Eva, mata mereka melewatinya seolah-olah dia adalah bagian dari perabotan.

"Mas Baskara, kamu perlu istirahat," kata Eva lembut, bergerak untuk membantunya.

Dia menyandarkan tubuhnya yang berat pada Eva, napasnya yang panas terasa di telinga Eva. Untuk sesaat yang memusingkan, Eva merasakan secercah harapan. Dia dekat. Dia menyentuhnya.

Lalu dia menciumnya. Ciuman yang kasar dan putus asa, tidak seperti kecupan singkat dan sekadarnya yang terkadang dia berikan. Jantung Eva berdebar kencang di dadanya. Mungkin ini saatnya. Mungkin alkohol akhirnya meruntuhkan dinding pertahanannya.

Dia menarik diri, matanya kabur dan tidak fokus. Dia tersenyum, senyum yang rapuh dan lembut yang bukan ditujukan untuk Eva.

"Aurelia," bisiknya, ibu jarinya mengelus pipi Eva. "Aku tahu kau akan kembali padaku."

Nama itu terasa seperti tamparan keras. Harapan di dalam dirinya hancur berkeping-keping, berubah menjadi debu halus dan tajam yang memenuhi paru-parunya. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia hanya membantunya ke kamar tidur mereka, melepaskan pakaiannya, dan menidurkannya, gerakannya mekanis.

Baskara langsung tertidur, menggumamkan nama Aurelia untuk terakhir kalinya.

Eva berdiri di ruangan yang sunyi, cahaya bulan menyoroti garis-garis tajam wajah tampannya. Dia adalah pria yang dipuja oleh kota, seorang raksasa keadilan. Tapi baginya, dia adalah kekosongan. Pengingat terus-menerus tentang siapa dirinya yang bukan.

Dia berjalan keluar dari kamar tidur dan masuk ke ruang kerjanya, sebuah ruangan yang tidak pernah Baskara masuki. Dia menarik sebuah kotak berdebu dari belakang lemari. Di dalamnya ada barang-barang lamanya. Sebuah ijazah berbingkai dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Piala-piala dari kompetisi debat hukum. Dan sebuah tempat kartu nama hitam yang sederhana.

Dia mengeluarkan satu kartu. Desainnya tegas dan minimalis.

Eva Lestari

Advokat

Kartu itu terasa asing di tangannya. Peninggalan dari kehidupan lain.

Dia mengambil ponselnya. Dia menggulir melewati nama Baskara, fotonya adalah kebohongan publik yang tersenyum. Jarinya berhenti di atas nomor yang tidak pernah dia hubungi selama tiga tahun.

Dharmawan Suryo. Mantan mentornya di sebuah firma hukum besar di SCBD. Pria yang menjulukinya Nemesis.

Dia menekan tombol panggil, jantungnya berdetak dengan irama yang stabil dan dingin. Saat itu sudah lewat tengah malam di Jakarta, tapi dia tahu Pak Dharmawan akan menjawab. Dia selalu bekerja lembur.

Dia mengangkat pada dering kedua. "Dharmawan." Suaranya serak dan familier seperti biasa.

"Pak Dharmawan," kata Eva. Suaranya sendiri terdengar aneh, serak karena lama tidak digunakan.

Hening lama di ujung sana. Eva bisa membayangkannya dengan sempurna: duduk di kantor sudutnya yang menghadap ke kota, mungkin sebatang cerutu terjepit di antara giginya, matanya yang tajam menyipit.

"Eva?" tanyanya, suaranya penuh rasa tidak percaya. "Ya Tuhan, apa ini benar-benar kau? Ke mana saja kau selama ini? Seluruh komunitas hukum di Jakarta mengira kau lenyap ditelan bumi."

Kata-katanya yang gelisah menjadi balsam bagi hatinya yang beku. Seseorang mengingatnya. Seseorang tahu siapa dia.

"Saya mengambil cuti panjang," katanya, sebuah pernyataan yang sangat meremehkan.

"Cuti panjang tiga tahun? Nemesis, kau tidak mengambil cuti panjang. Kau menawan lawan," gerutunya. "Setiap kali aku harus berurusan dengan para hiu korporat kelas dua ini, aku mengutuk namamu karena meninggalkanku untuk menangani mereka sendirian. Mereka jadi lembek tanpamu untuk membuat mereka tetap waspada."

Eva menatap bayangannya di jendela yang gelap. Seorang wanita pucat dengan mata lelah dan rambut yang diikat sanggul sederhana. Dia mengenakan kardigan krem yang lembut. Ini bukan Nemesis. Ini adalah hantu.

"Apa dia sudah tahu siapa dirimu?" tanya Pak Dharmawan, suaranya merendah. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang pernikahan rahasianya.

"Dia tidak pernah bertanya," jawab Eva, kebenaran itu terasa hampa dan mutlak.

Kemudian, dia menarik napas dalam-dalam, udara dingin memenuhi paru-parunya dan membersihkan sisa-sisa debu terakhir.

"Saya akan mengajukan gugatan cerai."

Hening lagi. Kemudian, embusan napas yang pelan dan puas dari Pak Dharmawan. "Bagus."

"Dan, Pak Dharmawan," kata Eva, suaranya menguat, baja yang lama hilang kembali ke tulang punggungnya. "Saya akan kembali."

"Kapan?"

"Penerbanganku mendarat di Soekarno-Hatta besok sore."

Eva bisa mendengar senyum dalam suaranya. "Kantor sudut menantimu. Selamat datang kembali, Nemesis. Saatnya mengingatkan mereka seperti apa pertarungan yang sebenarnya."

Dia menutup telepon dan menatap surat gugatan cerai yang sudah ditandatangani di mejanya. Dia telah menyiapkannya berbulan-bulan yang lalu, sebuah rencana darurat yang tidak pernah dia pikir akan dia butuhkan.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Baskara.

Aku telat. Aurelia ada di kota. Ada rapat sambil makan malam. Tidak usah menungguku.

Eva melihat pesan itu, lalu menghapusnya tanpa membalas.

Dia mengambil pulpen dan menandatangani surat-surat itu dengan goresan mantap. Tanda tangannya tajam dan percaya diri, tanda tangan seorang wanita yang tahu nilainya sendiri.

Semuanya sudah berakhir. Sandiwara, pernikahan, penantian panjang dan menyakitkan untuk seorang pria yang tidak akan pernah melihatnya.

Eva Wijoyo sudah mati.

Nemesis telah kembali.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 21   11-06 21:44
img
img
Bab 1
29/10/2025
Bab 2
29/10/2025
Bab 3
29/10/2025
Bab 4
29/10/2025
Bab 5
29/10/2025
Bab 6
29/10/2025
Bab 7
29/10/2025
Bab 8
29/10/2025
Bab 9
29/10/2025
Bab 10
29/10/2025
Bab 11
29/10/2025
Bab 12
29/10/2025
Bab 13
29/10/2025
Bab 14
29/10/2025
Bab 15
29/10/2025
Bab 16
29/10/2025
Bab 17
29/10/2025
Bab 18
29/10/2025
Bab 19
29/10/2025
Bab 20
29/10/2025
Bab 21
29/10/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY