Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Rahasia yang Menghancurkan Cinta
Rahasia yang Menghancurkan Cinta

Rahasia yang Menghancurkan Cinta

5.0
26 Bab
91 Penayangan
Baca Sekarang

Alara hanyalah putri dari seorang manajer rumah tangga sekaligus tangan kanan seorang pengusaha ternama. Seperti orang tuanya yang hidup untuk melayani majikannya, takdir Alara pun terjerat dalam lingkaran itu. Meski memiliki mimpi-mimpi besar, Alara harus menekan semua keinginan pribadinya. Ia dipaksa mengorbankan hati dan masa depannya untuk menjadi istri kedua bagi putra sang pengusaha - pria yang juga adalah suami dari sahabat terdekatnya, seseorang yang selama ini ia percayai sepenuh hati.

Konten

Bab 1 Klara selalu tampak sempurna

Alara menatap langit senja dari balkon kecil kamarnya, tangan gemetar memegang secangkir teh hangat yang baru saja diseduhnya. Suasana rumah besar keluarga Klara selalu tampak sempurna dari luar: taman yang rapi, lampu-lampu yang berkilau, dan aroma parfum mahal yang selalu menyelimuti udara. Namun, bagi Alara, rumah ini hanyalah panggung untuk sebuah drama yang tidak pernah ia pilih.

Sejak kecil, Alara belajar satu hal dengan keras: hidup orang tuanya bukanlah untuk diri mereka sendiri, melainkan untuk melayani keluarga pengusaha kaya raya yang mereka sebut "majikan." Ayahnya, Arman, selalu bangga ketika berkata bahwa ia adalah tangan kanan dari Tuan Gibran, seorang konglomerat ternama. Ibunya, Mira, tak kalah setia, mengatur rumah, mengawasi pegawai lain, dan memastikan setiap permintaan Tuan Gibran terpenuhi tanpa cela. Alara tumbuh dengan keyakinan bahwa pengabdian adalah harga sebuah keberhasilan. Namun, semakin ia dewasa, semakin jelas bagi Alara bahwa pengabdian itu juga berarti kehilangan dirinya sendiri.

Hari itu, Alara tengah menata ulang buku-buku di rak kayu besar, mencoba mencari ketenangan di tengah keramaian yang tak pernah berhenti. Ia menemukan sebuah buku diary lama milik sahabatnya, Celine, yang selama ini selalu ia anggap seperti kakak sendiri. Membaca halaman-halaman itu membuat Alara tersenyum getir. Celine selalu menulis tentang impian sederhana: hidup mandiri, menikah dengan seseorang yang dicintai, dan memiliki keluarga yang hangat. Alara menunduk. Impiannya sendiri telah lama terkubur, diganti oleh kewajiban yang tak pernah berhenti.

"Alara..." suara lembut terdengar dari ruang tamu. Suara itu milik ibunya, Mira. Nada suaranya biasa terdengar tenang, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat Alara menahan napas.

"Ya, Bu?" Alara menutup diarynya perlahan.

"Ibumu ingin bicara. Duduklah sebentar."

Alara menghela napas panjang. Ia tahu, ketika ibunya memanggil dengan nada seperti itu, biasanya ada keputusan penting yang harus diterimanya. Ia berjalan ke ruang tamu, tempat ibunya duduk di sofa berbahan beludru ungu tua, wajahnya tampak tegang tapi terkontrol.

"Alara... ini bukan mudah bagiku untuk mengatakannya," Mira memulai, suara seraknya nyaris terselip emosi. "Tapi kau harus mengerti. Ini untuk keluarga kita... untuk masa depanmu."

Alara menelan ludah. Ia sudah merasakan getaran jantungnya meningkat. "Masa depan saya, Bu?" suara Alara terdengar lebih pelan dari biasanya.

Mira menatapnya dalam-dalam. "Kau tahu Tuan Gibran... dan kau tahu putranya, Raden. Sudah saatnya kau mengambil peranmu."

Alara menegakkan punggung, mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyergap dadanya. "Apa maksud Ibu?"

"Maksudku, Alara... kau akan menjadi istri kedua Raden."

Kata-kata itu menusuk telinga Alara seperti pisau. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Suara jam di ruang tamu terdengar seperti gemerincing yang jauh. Ia menatap ibunya, mencari sinyal bahwa ini adalah lelucon, tapi wajah Mira tetap serius, matanya penuh tekad dan sedikit rasa bersalah.

"Kenapa... kenapa harus aku, Bu?" Alara hampir berbisik. Suara hatinya berteriak menolak, menolak keras. "Aku... aku bukan bagian dari dunia mereka! Aku bukan putri kaya atau siapa pun yang mereka pilih!"

Mira menghela napas. "Alara, aku tahu ini berat. Tapi pikirkanlah dari sisi lain. Ini cara kita bertahan. Ayahmu bekerja keras selama ini bukan untuk sia-sia. Ini kesempatanmu untuk tetap aman, untuk punya posisi di dunia yang selama ini selalu menuntut kita tanpa henti."

Alara menunduk, merasakan air mata panas menitik di pipinya. Ia teringat pada Celine, sahabatnya, yang selama ini menjadi tempat ia menumpahkan semua rahasia dan impiannya. Kini, sahabat itu... ternyata akan menjadi bagian dari penderitaan yang harus ia hadapi. Raden, pria yang selama ini sering ia lihat dari kejauhan, yang selalu tersenyum sopan kepada keluarga mereka, kini menjadi pusat dari pengorbanan yang ia benci.

"Mereka... mereka tahu aku punya perasaan sendiri, kan?" Alara berkata, suaranya pecah.

"Perasaanmu... tidak ada dalam pertimbangan mereka," Mira menjawab jujur, namun lembut. "Ini bukan soal cinta, Alara. Ini soal kewajiban. Kau harus menerima ini."

Alara menunduk, menutup wajahnya dengan tangan. Hatinya terasa remuk, namun ia tahu menentang ibunya akan sia-sia. Semua yang selama ini ia percayai tentang keadilan dan kebebasan seolah hilang. Ia hanyalah pion kecil dalam permainan besar orang-orang yang tidak pernah peduli padanya.

Malam itu, Alara menatap langit dari jendela kamarnya, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan kemarahan yang tak terucap. Ia merasa seperti burung di dalam sangkar emas: hidupnya nyaman dari luar, tetapi tidak ada ruang untuk terbang.

Keesokan harinya, ia diperkenalkan secara resmi pada Raden. Raden adalah pria muda, tampan, dengan senyum yang membuat orang percaya padanya, tapi bagi Alara, senyum itu terasa seperti jebakan. Ia tahu posisinya kini jelas: ia bukan lagi teman atau sekadar pegawai keluarga, tetapi calon istri kedua.

"Senang bertemu denganmu, Alara," kata Raden, suaranya lembut tapi ada aura kekuasaan yang membuat Alara menunduk. Ia mencoba membalas senyum itu, tapi rasa benci dan takut bercampur menjadi satu.

"Senang bertemu, Tuan Raden," jawab Alara singkat, mencoba menjaga jarak.

Seiring hari-hari berlalu, Alara mulai merasakan tekanan yang lebih besar. Setiap gerak-geriknya diawasi, setiap kata-katanya dianalisis. Ia harus belajar bagaimana bersikap sopan, bagaimana tersenyum tanpa memperlihatkan perasaannya, dan bagaimana menyembunyikan rasa sakit yang menggerogoti hatinya.

Suatu malam, ketika ia duduk di ruang baca sendirian, ia menatap foto Celine di meja sebelahnya. Sahabatnya itu sedang tersenyum hangat, tidak tahu bahwa hidup Alara akan berubah drastis. "Maafkan aku, Celine... aku tak tahu harus bagaimana," bisiknya. Air mata jatuh di halaman buku yang terbuka.

Namun di balik kesedihan itu, ada percikan kecil pemberontakan. Alara tidak ingin sepenuhnya menyerah. Ia ingin mencari celah, meskipun kecil, untuk mempertahankan identitas dan impiannya sendiri. Ia tahu bahwa jalannya penuh dengan rintangan dan pengkhianatan, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri: meskipun dunia menekan, ia akan mencari cara untuk tetap menjadi dirinya, bahkan jika itu berarti menghadapi orang-orang yang paling ia percayai.

Malam demi malam, Alara merencanakan langkah-langkah kecil. Ia mulai menulis diarynya sendiri, mencatat semua kejadian, semua percakapan, dan semua strategi untuk bertahan. Setiap kata yang ia tulis adalah sebuah upaya melawan nasib, sebuah perlawanan diam yang memberinya kekuatan.

Di balik semua kemewahan dan senyum palsu yang harus ia tunjukkan, Alara mulai menemukan kekuatan baru: kekuatan untuk bertahan, untuk menyusun strategi, dan untuk menjaga hati yang mulai rapuh ini. Ia sadar bahwa jalan yang menantinya tidak mudah, tetapi ia juga menyadari satu hal penting: meskipun dunia ini ingin menaklukkannya, ia tidak akan menyerah begitu saja.

Dan begitu malam itu berakhir, Alara menatap langit gelap dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan bahwa pertarungan sesungguhnya bukan tentang menjadi istri kedua, tetapi tentang menemukan dirinya sendiri di tengah dunia yang penuh tipu daya, pengkhianatan, dan ambisi yang mematikan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY