Dina. Nama itu selalu muncul di setiap sudut pikirannya, bagai racun yang perlahan meresap ke dalam kehidupan rumah tangganya. Selina tahu, Dina bukanlah wanita biasa. Ia penuh ambisi, manipulatif, dan paling berbahaya-karena ia tahu bagaimana cara merayu dan mengambil apa yang seharusnya bukan miliknya.
Rafael, suaminya, terlihat santai ketika mengobrol di ruang kerja. Ia tertawa pada sesuatu yang Selina tidak tahu. Entah apa yang membuat pria itu begitu mudah terpesona. Selina menekankan rahang, menahan dorongan amarah yang hampir keluar begitu saja. Selina tidak bisa membiarkan Dina mengambil alih kehidupannya-terutama ketika anak mereka, Alya, masih membutuhkan sosok ibu yang kuat dan tegas.
Suara pintu terbuka, dan Rafael muncul dengan senyum lepas. Rambutnya yang selalu rapi kini sedikit berantakan, tapi bagi Selina, itu tidak menambah daya tarik. Sebaliknya, ia merasa ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
"Selina, kau tampak serius. Ada apa?" Rafael menatapnya, sedikit bingung.
Selina menelan ludah. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati, karena kali ini ia tidak bisa lagi diam. "Rafael, kita perlu bicara. Tentang Dina."
Rafael menegang. Ia tahu, setiap kali nama itu disebut, ada sesuatu yang akan berubah dalam rumah tangga mereka. "Apa yang kau maksud?"
Selina berdiri, menatapnya lurus. "Aku memberimu pilihan, sekali ini. Dina, dia... dia tidak akan berhenti sampai kau memberinya tempat di hidupmu. Jika kau ingin aku tetap di sini, aku butuh kau mengambil keputusan. Entah kau menegaskan bahwa aku satu-satunya di hatimu... atau kau biarkan dia pergi. Tapi jangan pernah sekalipun mencoba membawa dia masuk ke kehidupan kita lagi."
Rafael menunduk, menahan napas. Selina bisa merasakan dilema di matanya, campuran antara ketertarikan dan rasa bersalah. "Selina, aku... aku tidak tahu harus bagaimana. Dia... aku merasa... aku bingung."
"Bingung? Kau tidak bingung untuk dirimu sendiri, Rafael. Kau bingung untuk wanita yang tidak seharusnya kau biarkan merusak kebahagiaan kita," Selina menegaskan. Suaranya tegas, tapi ada getaran emosi yang tak bisa ia sembunyikan.
Namun, di luar sana, Dina sedang tersenyum. Ia baru saja menerima kabar bahwa Rafael menghabiskan waktu bersamanya, meskipun secara diam-diam. Dina tahu, langkah selanjutnya harus lebih cerdik, lebih halus. Ia bukan tipe yang menyerah begitu saja. Dalam pikirannya, Selina hanyalah batu sandungan kecil-sebuah tantangan yang membuat kemenangannya nanti terasa lebih manis.
Keesokan harinya, Selina memperhatikan Alya yang tampak murung. Gadis remaja itu mulai menangkap perbedaan perlakuan ayahnya, tatapan cemas ketika melihat Dina lewat di dekat rumah mereka, bahkan dalam pesta kecil yang Rafael adakan di kantor. Selina tahu, Alya mulai menebak keberadaan wanita lain dalam kehidupan mereka.
Malam itu, setelah Rafael tertidur di sofa ruang keluarga, Selina duduk di samping Alya. "Alya... kau tahu kan, Ibu selalu ingin yang terbaik untukmu dan ayahmu," katanya lembut.
Alya menunduk, jemarinya memainkan ujung selimut. "Aku... aku tahu, Bu. Tapi kenapa Ayah berubah? Kenapa ada wanita lain?"
Selina menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya sendiri sebelum menjawab. "Kadang, orang dewasa membuat kesalahan. Tapi Ibu janji, aku akan melindungimu. Tidak ada yang akan merusak keluargamu selamanya."
Alya memandang ibunya, mata gadis itu mulai berkaca-kaca. "Tapi Bu... aku tidak ingin kehilangan Ayah..."
Selina memeluk putrinya erat. "Kita tidak akan kehilangan satu sama lain. Aku janji, Alya. Kita akan tetap bersama, kuat."
Hari-hari berikutnya menjadi medan perang terselubung. Dina terus mengirim pesan, menghadirkan diri di pesta-pesta, bahkan terkadang 'tidak sengaja' muncul di kantor Rafael. Selina mulai menyusun strategi. Ia tidak hanya ingin melindungi keluarganya; ia ingin membuat Dina sadar bahwa setiap langkahnya akan diperhatikan dan setiap gerakannya bisa dipertanggungjawabkan.
Selina menghubungi kedua saudara Rafael, meminta mereka waspada dan siap membantu. Mereka semua sepakat, Dina terlalu berani dan terlalu licik untuk dibiarkan begitu saja. Bersama, mereka merencanakan langkah-langkah yang akan membuat Dina kewalahan, sekaligus menjaga hubungan Selina dan Alya tetap aman.
Sementara itu, Rafael mulai merasakan tekanan. Setiap kali ia mencoba mengabaikan Selina dan Alya, ada rasa bersalah yang menusuk. Dina tidak hanya hadir sebagai wanita yang memikat; ia juga mulai menuntut waktu dan perhatian. Rafael merasa terjebak di antara dua dunia yang sama-sama menuntut hatinya.
Selina, dengan kesabaran dan kecerdasannya, perlahan-lahan mulai menata perang psikologis ini. Ia tidak menyerang secara terang-terangan; ia menggunakan pendekatan yang lebih halus, memanfaatkan kekuatan informasi, dan menciptakan situasi di mana Dina merasa setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata-katanya dianalisis.
Hari demi hari berlalu dengan ketegangan yang meningkat. Alya mulai terbiasa dengan dinamika baru ini, tapi tetap ada rasa cemas yang membayangi. Selina, di sisi lain, mulai merasakan kepuasan kecil melihat Dina mulai ragu, menyadari bahwa tidak semua orang mudah ditaklukkan.
Namun Selina tahu, puncak konflik belum datang. Ia harus memastikan, ketika waktunya tiba, Dina benar-benar memahami bahwa rumah tangga ini bukan medan permainan. Bahwa cinta, keluarga, dan harga diri tidak bisa dirampas begitu saja. Dan ketika semua rencana berjalan sesuai skenario, Rafael dan Dina akan menyadari bahwa Selina bukanlah wanita yang mudah dikalahkan.
Selina menatap cermin sekali lagi, menyesap kopi yang mulai dingin. Ada senyum tipis di bibirnya. Perjuangan baru saja dimulai, dan ia siap menghadapi setiap tantangan, demi putrinya, demi keluarganya, dan demi dirinya sendiri.
Di luar, malam semakin gelap, tetapi Selina merasa terang. Ia tahu, cahaya yang sesungguhnya datang dari dalam diri sendiri. Dan kali ini, ia tidak akan menyerah pada siapapun, termasuk Dina yang penuh tipu daya itu.
Hujan deras menimpa kota saat Selina menutup pintu mobilnya. Suara tetes air yang memantul di atap logam membuat pikirannya berkecamuk. Hari itu bukan hari biasa; ada undangan dari perusahaan Rafael untuk menghadiri jamuan makan malam eksekutif, dan tentu saja, Dina akan hadir di sana. Selina menatap setelan jas hitam Rafael yang kini tertinggal di mobil.
Rafael menunduk saat melihat Selina mendekat. "Selina, kau akan pergi?"
Selina mengangkat bahu. "Aku harus memastikan semuanya berjalan baik. Aku tidak akan membiarkan dia mengacaukan malam ini."
Rafael menghela napas panjang, matanya menatap hujan. "Aku tahu kau ingin melindungiku... tapi kadang aku merasa terjebak. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun."
Selina menatapnya, menahan emosi yang bergejolak. "Rafael, ini bukan soal menyakiti atau tidak. Ini soal keadilan. Aku tidak bisa membiarkan wanita itu merusak hidup kita. Apalagi putri kita, Alya, yang sudah mulai merasakan kegelisahan ini."
Hujan semakin deras. Selina melangkah masuk ke gedung pertemuan, matanya langsung mencari sosok Dina. Wanita itu tampak menawan dalam gaun merah marun, senyum tipisnya menghiasi wajahnya, tapi ada kilatan sinis di matanya. Selina menelan ludah, menahan amarah yang hampir lepas.
Dina melangkah mendekat. "Selina, senang melihatmu datang. Aku pikir kau akan menghindari acara ini," suaranya manis tapi menusuk.
Selina tidak tergoyahkan. "Aku datang untuk memastikan semuanya tetap profesional. Aku tidak ingin ada hal yang mengganggu malam ini, terutama di depan kolega Rafael."
Dina tersenyum, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Profesional? Itu lucu. Aku hanya ingin... berbicara dengan Rafael. Bukan untukmu atau Alya."
Selina menyipitkan mata. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun dari Rafael. Jangan lupa siapa yang menjaga rumahnya, siapa yang membesarkan putrinya. Jangan coba-coba merusaknya."
Dina mengangkat alis, seolah menantang. "Aku hanya hadir. Itu hakku."
Selina hanya diam. Kata-kata tidak akan cukup. Ia tahu harus bertindak lebih cerdik.
Malam itu, jamuan berlangsung dengan lancar, meskipun ketegangan terasa di udara. Selina mengamati Rafael, yang terlihat tidak nyaman di dekat Dina. Setiap kali Dina tersenyum atau menatapnya dengan cara tertentu, Rafael tampak ragu. Selina mencatat setiap gerakan, setiap ucapan, setiap tatapan-untuk strategi yang akan ia jalankan nanti.
Setelah acara berakhir, Selina dan Rafael kembali ke rumah. Alya sudah menunggu di ruang tamu dengan buku di tangan, wajahnya tampak lesu. "Bagaimana acara itu, Bu?" tanyanya pelan.
Selina tersenyum tipis. "Semua berjalan baik, sayang. Ibu senang kau tidak ikut, karena ini bukan tempat yang aman untukmu sekarang."
Alya menunduk, jemarinya memainkan buku. "Tapi aku melihat Dina... dia menatap Ayah dengan cara yang aneh. Aku tahu dia mencoba mengganggu kita."
Selina memeluk putrinya erat. "Aku tahu, Alya. Tapi jangan khawatir. Ibu akan memastikan dia tidak bisa membuatmu takut. Kita harus tetap kuat."
Beberapa hari kemudian, Selina menyadari bahwa Dina mulai mengirim pesan melalui media sosial Rafael. Kata-katanya manis, tapi maksudnya jelas: ia ingin merusak keharmonisan rumah tangga itu. Selina tidak terburu-buru membalas; ia tahu setiap gerakan harus diperhitungkan.
Ia memutuskan untuk memanggil teman lama yang ahli strategi komunikasi, seorang wanita bernama Veronica, untuk membantunya menghadapi situasi ini. Veronica tiba di rumah Selina keesokan harinya, membawa laptop dan dokumen catatan yang penuh strategi.
"Kita tidak bisa bertindak emosional. Itu yang Dina harapkan. Kita harus bermain pintar," kata Veronica sambil membuka laptop. "Kau harus tahu, setiap kata, setiap tatapan, bahkan ekspresi wajahmu bisa menjadi senjata atau kelemahan."
Selina mengangguk. Ia tahu waktunya untuk balas strategi sudah tiba. Bersama Veronica, mereka menyusun rencana untuk menenangkan Rafael tanpa membuat Dina curiga, sekaligus memberi sinyal bahwa Selina tidak akan mudah digeser.
Sementara itu, Dina mulai kehilangan kendali sedikit demi sedikit. Ia merasa Selina terlalu tenang, terlalu cerdas, dan selalu satu langkah di depan. Usahanya untuk memancing Rafael menjadi sia-sia. Namun, ia tidak menyerah. Dina mulai menyusun rencana baru: pendekatan yang lebih personal, lebih intim, dengan harapan Rafael akan semakin dekat dengannya.
Selina pun merespon dengan cara yang berbeda. Ia mengajak Rafael berbicara secara pribadi, bukan tentang Dina, tapi tentang kehidupan mereka sendiri. Malam itu, ketika mereka duduk di balkon rumah, Selina berkata, "Rafael, aku tahu kau mungkin merasa bingung. Tapi kau harus tahu, kita harus menghadapi ini bersama. Aku dan Alya bukan musuhmu, dan kau juga bukan musuhku. Tapi ada wanita yang mencoba mengubah semuanya, dan kita harus melindungi apa yang benar-benar penting."
Rafael menatapnya, terlihat lelah. "Aku... aku ingin melakukan yang benar, Selina. Tapi aku... aku takut membuat kesalahan."
Selina menggenggam tangannya. "Kesalahan akan datang jika kita diam. Tapi jika kita sadar dan bertindak bersama, kita bisa menghadapi semuanya. Aku percaya padamu, Rafael. Tapi kau juga harus percaya padaku."
Rafael mengangguk pelan, seakan menemukan kekuatan dalam kata-kata Selina. Namun di sudut pikirannya, ia masih merasa dilema. Dina masih ada di luar sana, dan pesonanya sulit diabaikan.
Hari-hari berikutnya menjadi permainan tak terlihat. Selina mulai menempatkan diri di setiap lingkaran sosial yang Rafael masuki, memastikan ia tetap relevan dan tak tergantikan. Dina terus mencoba, tapi semakin agresif, semakin mudah diprediksi. Setiap langkahnya kini dipantau, setiap kata-katanya dianalisis. Selina tahu, kemenangan bukan hanya soal mempertahankan Rafael; ini soal menunjukkan siapa yang benar-benar memegang kendali dalam rumah tangga mereka.
Suatu sore, Alya mengajak Selina ke kamarnya. "Bu... aku ingin membantu. Aku ingin ayah tetap bersama kita."
Selina tersenyum hangat. "Aku tahu, sayang. Tapi ini urusan orang dewasa. Kau cukup kuat dengan menjadi dirimu sendiri. Aku akan urus sisanya."
Namun, Alya bersikeras. Ia mulai menulis catatan kecil, mengamati setiap interaksi ayahnya dengan Dina. Selina melihat semangat itu dan merasa bangga. Ia tahu, membesarkan Alya berarti menanamkan kekuatan, kecerdikan, dan ketegasan sejak dini.
Malam itu, Selina kembali menatap cermin, wajahnya refleksi dari perempuan yang tidak akan menyerah. Ia tahu Dina akan melancarkan teror lebih besar, tapi kini Selina lebih siap. Ia tidak hanya bertahan; ia merencanakan langkah-langkah yang akan memastikan setiap langkah Dina selalu berada dalam pengawasan, dan setiap niatnya untuk mengambil alih kehidupan keluarga mereka akan gagal.
Hujan turun lagi di luar jendela, tapi Selina tidak merasa takut. Malah, hujan seperti membasuh segala keraguan yang sempat muncul. Ia siap, bukan hanya untuk Rafael atau Dina, tetapi untuk masa depan Alya, untuk dirinya sendiri, dan untuk rumah tangga yang telah ia bangun dengan susah payah.
Di balik pintu kamar, suara langkah Dina terdengar samar, menandakan ia tidak akan berhenti. Tapi kali ini, Selina tersenyum. Kali ini, ia yang memegang kendali permainan. Dan permainan baru saja dimulai.