Seolah belum cukup, Safira merusak kuburan adikku, menumpahkan abunya ke tanah hanya untuk mengubur kucingnya di sana.
Aku tidak mengerti, mengapa pria yang pernah begitu kucintai bisa membiarkan semua ini terjadi?
Setelah semua penderitaan itu, Prabu akhirnya sadar dan menghancurkan hidup Safira. Ia kembali, berlutut di hadapanku dengan cincin, memohon kesempatan kedua.
"Ananda, menikahlah denganku."
Aku menatap matanya yang penuh penyesalan, lalu dengan dingin menjawab, "Tidak."
Bab 1
Ananda POV:
Saya tidak pernah menyangka bahwa undangan reuni alumni yang begitu saya nantikan akan menjadi awal dari akhir segalanya.
Sore itu, Prabu pulang dengan senyum tipis, membawa undangan mewah dari almamaternya.
"Aku tidak bisa menemanimu," katanya santai, tanpa menatap mataku.
Hatiku mencelos. Padahal aku sudah menyiapkan gaun terbaik dan latihan dansa dengannya.
"Kenapa?" tanyaku, mencoba menyembunyikan kekecewaan.
Ia mengangkat bahu, "Ada beberapa meeting penting yang tidak bisa ditinggalkan."
Aku mengangguk, mencoba memahami.
Malam reuni, aku duduk sendirian di sofa, memerankan istri yang pengertian.
Aku terus memantau ponselku, berharap ada kabar darinya.
Namun, yang kudapatkan adalah notifikasi dari akun Instagram temanku.
Sebuah foto Prabu, tersenyum lebar, menggandeng seorang wanita muda.
Wanita itu bukan aku.
Dia Safira Ongkowijoyo, mahasiswi bimbingannya yang terkenal lugu dan rapuh itu.
Dadaku sesak, napas terasa tercekat.
Foto itu seolah menonjok ulu hatiku.
Prabu yang arogan dan egois itu, yang selalu menganggap diriku remeh.
Semua pengorbanan dan kesabaranku seakan tak berarti.
Kemarahan menjalar, membakar habis sisa-sisa pengertian yang kumiliki.
Aku tahu, ini bukan hanya tentang reuni yang terlewat.
Ini tentang kehormatan, tentang harga diri yang diinjak-injak.
Aku merenung semalaman, membiarkan sakit hati menggerogoti setiap inci jiwa.
Pagi harinya, sebuah keputusan bulat telah kubuat.
Aku tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan yang penuh kebohongan ini.
"Prabu," panggilku, suaraku datar, tanpa emosi.
Dia menoleh, masih dengan aura angkuh yang selalu melekat padanya.
"Ada apa? Kau sudah menyesal?" tanyanya, senyum mengejek tersungging di bibirnya.
"Aku ingin bercerai," kataku tegas, menyerahkan dokumen yang sudah kusiapkan.
Prabu terdiam sesaat, lalu tertawa renyah.
"Cih, hanya karena reuni alumni yang kubatalkan? Kau terlalu berlebihan, Ananda."
Ia menganggap enteng permintaanku, seolah ini hanya lelucon.
"Bukan hanya itu," jawabku, "Ini tentang kau dan Safira."
Wajahnya sedikit berubah, tapi dengan cepat ia menguasai diri.
"Oh, jadi ini tentang cemburu murahanmu itu? Ingat, Ananda, kau bukan siapa-siapa tanpaku."
"Terserah apa katamu," sahutku dingin.
"Kau akan menyesalinya, Ananda," ancamnya.
"Tidak akan," balasku, mataku menatap lurus ke arahnya.
Aku meletakkan dokumen perceraian di atas meja, di tangannya.
Dia melihatnya, lalu mencibir.
"Kau pikir aku akan takut dengan ancamanmu ini?"
Prabu merobek dokumen itu di depan mataku.
"Kau akan tahu siapa aku, Ananda," katanya.