Bermain cantik kepada sahabat karib yang ternyata dia istri pertama dan aku istri kedua
Bermain cantik kepada sahabat karib yang ternyata dia istri pertama dan aku istri kedua
CUKUP SETAHUN
"Mas ... setega itukah kamu, padaku,hiks ... hiks ...," ucapku parau. Air mata sudah tak terbendung. Aku menghamburkan badanku ke kasur. Menenggelamkan wajah ke bantal.
"Aaa ...," teriakku kencang-kencang. Membuang bantal kamar dengan sekenanya. Bantal kenangan indah, namun pahit di rasa sekarang. Bantal romantis, yang selalu aku dan Mas ardi pakai secara bersama. Satu bantal untuk berdua.
"Gimana para saksi, sah!"
"Sah ... sah,"
Suara dari bawah sana bersahut-sahutan. Membuat hatiku semakin nestapa. Nelangsa. Tak berujung.
Kini, aku sah menjadi Istri tua, Bermadukan sahabatku sendiri.Rasanya sakit. Lebih sakit saat berada di ruang oprasi. Berjuang sendiri melawan kesakitan. Hatiku lebih hancur-sehancurnya, daripada oprasi pengangkatan rahimku.
"Tuhan ... aku tahu. Aku yang telah memilih Wulan sebagai maduku. Tapi, entahlah. Hatiku tetap sakit. Maafkanlah aku. Jikalau ketidak ikhlasanku, aku tak bisa menyentuh surga-Mu,"
"Cukup disini saja, Tuhan. Engkau mengujiku. Aku takut. Diriku bisa binasa. Mencintai makhluk, yang kau letakkan surga dalam ridhonya," tutupku berdoa dalam sujud. Mengadukan nelangsa seorang hamba. Yang baru saja di madu karena tak ada rahim dalam tubuhnya.
******
Kala itu ...
"Mas, aku nggak mau kamu madu, Mas. Aku sangat mencintaimu. Melebihi apapun.Jangan kau bagi cintamu, Mas,"
Mohonku mengiba pada Mas Ardi.
"Fa, aku pingin punya anak," sahutnya tanpa menatapku. Pandangannya ke luar jendela kamar kita. Matanya terus menatap pemandangan bukit di malam hari. Indah.
"Kita bisa adopsi, Mas. Banyak bayi yang bisa kita rawat," kilahku tak setuju.
"Bayi siapa? Bayi panti asuhan? tak jelas asal-usulnya. Aku tak sudi, Fa," ketusnya.
"Lagian, Mama dan aku, ingin anak dari darah dagingku. Bukan orang lain, Safa" imbuhnya.
Aku menghela napas perlahan. Mengatur tangisan, yang sesak sampai ke dada.
"Tidak ada carakah lain, Mas, selain kau membagi cintaku," isakku. Sambil mengusap air mata sekenanya.
"Kita bisa cari wanita lain. Kita program bayi tabung dan sewa rahimnya untuk mengandung anak kita,"
"Tanpa kau menduakanku. Kita bisa punya anak, Mas. Aku trauma dengan poligami, Mas," tutupku penuh harap.
Aku tahu, ideku gila. Tapi aku tak punya pilihan lain. Pun tak tahu harus berbuat apa.
"Nggak ... Ibu nggak setuju dengan idemu. Konyol," sembur ibu mertua di ambang pintu kamar kami. Dari belakang. Sedari tadi pintu tidak tertutup.
"Kamu tahu kan, Ardi. Hukumnya haram, Nak. Kalau kamu sewa rahimnya, berarti kau juga harus menikahinya ... "
"Aku nggak mau, Bu," potongku cepat.
Mata Ibu menatapku lekat. Tatapan tak sukanya padaku, begitu kental terasa.
"Diam, kamu! Ngakunya Islam, tapi nggak tahu hukum agama. Wajarlah, Islam KTP,"
bentaknya padaku. Ujung-ujungnya, selalu islam KTP yang ia gelarkan. Padaku.
Mas Ardi hanya diam menatapku. Tanpa mau, sedikitpun membela.
Aku kecewa dengan sikapnya. Selalu tunduk pada wanita, yang selama sembilan bulan mengandung dirinya.
"Ardi, okelah. Ibu setuju, dengan ide istrimu. Untuk program bayi tabung dan menempatkan pada rahim orang lain. Karna memang istrimu tak punya rahim. Tapi, bukan tanpa menikahi wanita itu, caranya. Haram, Nak"
"Nanti kalau bayi itu lahir, statusnya seperti anak zina. Karena, anak itu lahir dari rahim wanita yang tanpa status pernikahan yang sah, dengan Bapak dari janin itu. Jangan lakukan itu Ardi," imbuhnya menasehati.
"Safa, nggak mau di madu, Bu. Safa ingin cinta seutuhnya," tolakku lirih.
Mendengar penuturannya, membuat hatiku sakit. Seperti tersayat tajamnya sembilu. Sakit sekali mendengar penuturan wanita yang sudah kurawat sepenuh hati, tiga tahun lamanya.
"Kamu apa nggak mau punya anak. Selamanya?" tanyanya memojokkanku.
Aku menggeleng pasrah.
"Kalau mau senang, ya harus berkorban dulu, Safa. Sekarang kamu milih. Anakku nikah lagi, punya anak dari istri baru atau anakku nikah lagi, tapi punya anak dari kamu?"
"Aku setuju sama Ibu," seloroh Mas Ardi tanpa pedulikan diriku yang sudah banjir air mata.
"Ardi, carilah istri kedua. Untuk kau nikahi. Tapi, yang pemahaman agamanya bagus. Nggak islam KTP saja," sindir ibu, melirikku sinis.
Aku menatap lekat Mas Ardi. Seraya menggeleng. Memberi isyarat jangan. Jangan lakukan ini padaku.
"Oke, Bu,"
"Mas ... jangan lakukan ini padaku, aku nggak mau kehilangan kamu," mohonku sambil sujud-sujud menyentuh kakinya.
"Lepasin, Safa," hardik Mas ardi membuang tubuhku kasar.
"Kamu tahu. Surga istri, ada di ridho suami. Kalau kamu buatku marah terus-terusan. Nggak bakalan aku meridhoimu,"
Tangisku semakin pecah. Tanpa bisa kukendalikan. Aku beringsut berdiri. Mencoba menatap mereka dengan berani.
"Contohlah si Wulan, sahabatmu itu. Dulu sama mantan suaminya, selalu ia utamakan ridho suami, padahal selalu di KDRT. Walau sampai punya anakpun dia tetap bertahan. Cari ridho suami. Contohlah, dia," seloroh Mas Ardi. Membanding-bandingkan aku dengan Wulan.
Wulan adalah sahabatku. Baru enam bulan kami bertemu. Aku menampungnya, karena kasihan. Melihatnya dipukul secara membabi buta di depan mata kepalaku. Oleh, suaminya, yang kini sudah menjadi mantan. Semua itu tak lepas dari usaha dan jerih payahku.
Itulah cerita sekilas. Awalku bertemu Wulan. Singkatnya, dia sahabat terbaikku. Wulandari Kartika.
Aku menggeleng. Tak henti-hentinya, air mata mengalir.
"Kalau kamu sepakat. Satu tahun saja pernikahan ini, dan kamu bisa milih, wanita yang kamu suka," imbuh Mas Ardi.
Kulirik sekilas ibu mertua. Nampaknya ia kaget.
"Ardi, itu sama saja nikah kontrak. Haram," nasehat Ibu layaknya ustadzah bohongan.
"Ceraikan saja si Safa, Di. Lagian, dia istri nggak ada guna. Kenapa, sih kamu dulu nikahin wanita tanpa rahim ini?" geram ibu sambil melirikku.
Mas Ardi. Diam tak bersuara. Pun aku. Hanya diam menunduk. Meratapi nasib. Beginikah nasib wanita tanpa rahim? Maju mati, mundur pun juga.
Siapa, yang mau menjadi wanita tanpa rahim. Ku rasa, semua wanita tak mau. Aku juga tak bisa memilih. Antara takdir yang ditetapkan Tuhan padaku.
Lengkaplah sudah. Gelar, yang diberikan mertuaku padaku. Wanita islam KTP tanpa rahim. Penuh luka dan derita. Hiks.
"Aku kaya, Bu," lirihku akhirnya memberanikan diri.
Mas Ardi mengangkat tangan kanan. Hendak menamparku. Spontan, Kututupi wajahku. Ketakutan. Bergidik ngeri. Mengingat tangan kokoh Mas Ardi menggampar wajahku.
Tapi, aneh ...
Kenapa tak ada rasa. Terhentikah?
Mataku mengerjap-ngerjap. Membuka kelopak mata.
Ternyata, Ada tangan yang menghalanginya. Siapa?
“Aduh!!!” Ririn memekik merasakan beban yang amat berat menimpa tubuhnya. Kami berdua ambruk dia dengan posisi terlentang, aku menindihnya dan dada kami saling menempel erat. Sejenak mata kami bertemu, dadanya terasa kenyal mengganjal dadaku, wajahnya memerah nafasnya memburu, aku merasakan adikku mengeras di balik celana panjang ku, tiba-tiba dia mendesah. “Ahhh, Randy masukin aja!” pekik Ririn.
"Kau sedang mengintip? Bagaimana jika kuajari secara langsung?" Tawari Hunter Oragle kala menangkap basah putri tirinya mengintip dirinya yang tengah bergumul panas dengan ibunya. •••• Perasaan dan hubungan tabu itu menjadi rumit saat fakta dan kebenaran mencuat.
21+ Dia lupa siapa dirinya, dia lupa siapa pria ini dan bahkan statusnya sebagai calon istri pria lain, yang dia tahu ialah inilah momen yang paling dia tunggu dan idamkan selama ini, bisa berduaan dan bercinta dengan pria yang sangat dia kagumi dan sayangi. Matanya semakin tenggelam saat lidah nakal itu bermain di lembah basah dan bukit berhutam rimba hitam, yang bau khasnya selalu membuat pria mabuk dan lupa diri, seperti yang dirasakan oleh Aslan saat lidahnya bermain di parit kemerahan yang kontras sekali dengan kulit putihnya, dan rambut hitammnya yang menghiasi keseluruhan bukit indah vagina sang gadis. Tekanan ke kepalanya Aslan diiringi rintihan kencang memenuhi kamar, menandakan orgasme pertama dirinya tanpa dia bisa tahan, akibat nakalnya lidah sang predator yang dari tadi bukan hanya menjilat puncak dadanya, tapi juga perut mulusnya dan bahkan pangkal pahanya yang indah dan sangat rentan jika disentuh oleh lidah pria itu. Remasan dan sentuhan lembut tangan Endah ke urat kejantanan sang pria yang sudah kencang dan siap untuk beradu, diiringi ciuman dan kecupan bibir mereka yang turun dan naik saling menyapa, seakan tidak ingin terlepaskan dari bibir pasangannya. Paha yang putih mulus dan ada bulu-bulu halus indah menghiasi membuat siapapun pria yang melihat sulit untuk tidak memlingkan wajah memandang keindahan itu. Ciuman dan cumbuan ke sang pejantan seperti isyarat darinya untuk segera melanjutkan pertandingan ini. Kini kedua pahanya terbuka lebar, gairahnya yang sempat dihempaskan ke pulau kenikmatan oleh sapuan lidah Aslan, kini kembali berkobar, dan seakan meminta untuk segera dituntaskan dengan sebuah ritual indah yang dia pasrahkan hari ini untuk sang pujaan hatinya. Pejaman mata, rintihan kecil serta pekikan tanda kaget membuat Aslan sangat berhati hati dalam bermanuver diatas tubuh Endah yang sudah pasrah. Dia tahu menghadapi wanita tanpa pengalaman ini, haruslah sedikit lebih sabar. "sakit....???"
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
Lima tahun lalu, aku menyelamatkan nyawa tunanganku di sebuah gunung di Puncak. Insiden itu membuatku cacat penglihatan permanen—sebuah pengingat yang berkilauan, yang terus-menerus ada, tentang hari di mana aku memilihnya di atas penglihatanku yang sempurna. Dia membalasku dengan diam-diam mengubah rencana pernikahan kami di Puncak menjadi di Bali, hanya karena sahabatnya, Amara, mengeluh di sana terlalu dingin. Aku mendengarnya menyebut pengorbananku sebagai "drama murahan" dan melihatnya membelikan Amara gaun seharga delapan ratus juta rupiah, sementara gaunku sendiri ia cibir. Di hari pernikahan kami, dia meninggalkanku menunggu di altar untuk bergegas ke sisi Amara yang—sangat kebetulan—mengalami "serangan panik". Dia begitu yakin aku akan memaafkannya. Dia selalu begitu. Dia tidak melihat pengorbananku sebagai hadiah, tetapi sebagai kontrak yang menjamin kepatuhanku. Jadi, ketika dia akhirnya menelepon ke lokasi pernikahan di Bali yang kosong melompong, aku membiarkannya mendengar deru angin gunung dan lonceng kapel sebelum aku berbicara. "Pernikahanku akan dimulai," kataku. "Tapi bukan denganmu."
© 2018-now Bakisah
TOP
GOOGLE PLAY