Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kontrak Cinta
Kontrak Cinta

Kontrak Cinta

5.0
1 Bab
191 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Mahesa terpaksa menunda skripsinya, karena dia harus mencari biaya tambahan untuk pengobatan bapak dan menutup hutang bapak. Beruntung, dia memiliki seorang kawan yang berhasil memberinya sebuah pekerjaan, menjadi pelayan di sebuah kelab malam. Sial bagi Mahesa, di hari pertamanya bekerja, dia bertemu dengan seorang wanita mabuk dan sakit hati karena putus cinta. Namun, saat wanita itu sadar dari mabuknya, tiba-tiba saja mengajak Mahesa untuk menikah. Dan sebagai gantinya, semua biaya pengobatan bapak dan hutangnya akan dibayar oleh wanita itu. Ragu yang Mahesa rasakan atas tawaran itu seketika menguap entah kemana. Dan dimulailah hari-hari penuh sandiwara Mahesa.

Bab 1 S A T U

Mahesa tertunduk menatap secarik kertas tagihan yang ada di tangannya saat ini. Berapa pun lamanya dia menatap, jumlah digit di bagian ‘total’ itu tidak akan berubah menjadi nol, ataupun berstempel lunas. Tidak ada larangan bagi pria menangis, karena saat ini Mahesa sudah kehabisan cara untuk mencari uang. Bahkan sejak bulan lalu, dia sudah cuti kuliah demi menjaga bapak di rumah sakit. Padahal tinggal dua semester lagi dia akan lulus. Gaji paruh waktunya yang semula akan digunakan untuk membayar kuliahnya, terpaksa dialihkan untuk berobat bapak.

Bapak masuk rumah sakit bukan tanpa sebab. Beliau menjadi korban tabrak lari sebulan lalu. Minimnya informasi dan saksi mata di tempat kejadian, membuat penabrak yang tidak bertanggung jawab itu sulit untuk dilacak.

Sudahlah, berapa kalipun Mahesa menyumpahi si penabrak, toh tetap tidak ada yang berubah dengan kondisinya sekarang. Jika sampai besok malam tagihan ini belum lunas, pihak rumah sakit terpaksa menghentikan pengobatan bapak. Darimana Mahesa bisa mendapatkan uang sebanyak 20 juta dalam waktu semalam?

Mahesa merogoh saku celannya, ponselnya berdering.

“Ya, Ga? Beneran?!” seru Mahesa tak percaya. “Ok, gue ke sana sekarang.”

Sebuah telepon dari Raga, kawan lamanya saat SMP yang memilih cuti kuliah, karena kondisi keuangan keluarganya. Mahesa melangkah mendekati ranjang bapak untuk pamit pergi sebentar. Setelah itu, Mahesa dengan motornya meluncur ke tempat kerja Raga.

Setengah jam perjalanan, Mahesa sampai di tempat kerja Raga—kelab malam. Berbekal nama Raga, satpam yang menyeleksi tamu kelab langsung mempersilakan Mahesa masuk. Hingar bingar musik EDM dan lampu membuat Mahesa mengerjap beberapa kali. Ini adalah kali kedua dia pergi ke kelab malam seperti ini. Pengalaman pertamanya tidak mengenakan, sehingga membuat Mahesa lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan daripada menerima ajakan kawan-kawannya untuk berpesta tiap malam.

Mahesa mengedarkan pandangannya, lalu menemukan sosok Raga sedang berdiri di balik meja bar melayani pelanggan yang memesan minuman.

“Ga!” sapa Mahesa dengan terpaksa setengah berteriak.

“Oi, udah nyampe lo?”

Mahesa mengangguk, lalu duduk di kursi di depan meja bar.

“Bentar ya, gue kelarin satu pesanan ini dulu.”

Mahesa kembali mengangguk, sembari tatapannya tidak lepas dari Raga yang lincah meramu minuman untuk pelanggan. Setelah menyajikan segelas cocktail, Raga kembali menghampiri Mahesa.

“Gimana kabar bapak?”

“Mendingan. Lusa operasi tulang kaki, biar bisa jalan normal lagi.”

Raga mengangguk. Kini dia mengerti kenapa sahabatnya ini sangat membutuhkan pekerjaan.

“Bos bilang lo bisa mulai malam ini kalau mau. Tapi lo yakin mau kerja ginian? Maksud gue, sayang kan sarjana lo?”

“Gue belum sarjana, Ga. Udah enggak apa-apa. Yang penting gue ada kerjaan.”

Raga mengangguk, tapi juga menatap nelangsa sahabatnya. “Soal gaji di muka itu …”

Mahesa terdiam mendengarkan kalimat Raga, ini adalah kabar yang paling dinantikannya.

“Bos bisa sih kasih lo, tapi cuma setengah.”

Mahesa tersenyum. Tidak apa, setidaknya dia bisa membawa gajinya yang dibayar di muka ke rumah sakit.

“Enggak apa-apa. Setengahnya nanti gue cari ke yang lain. Santai aja.”

Raga tersenyum. “Nih, apron lo. Terserah lo mau beresin meja atau nyuci gelas dulu.”

Mahesa menerima apronnya, lalu mengenakannya sembari berujar, “Gue beresin meja dulu aja.”

Mahesa mulai mengumpulkan gelas, piring kotor, dan membuang puntung rokok dari meja kelab. Lalu membawa piring kotor ke dapur, sedangkan untuk gelas wine ataupun cocktail dicuci di bak cuci bar.

“Baru ya?”

“Main sama kita, yuk!”

“Dih, ganteng tapi kok bisu.”

Mahesa tidak meladeni mereka para wanita yang sengaja menggodanya sejak detik pertama dia datang ke meja ini. Dirinya tetap fokus membersihkan meja, tidak peduli dengan apapun yang dilakukan oleh wanita-wanita dengan pakaian seksi di sekelilingnya.

“Digodain ya?” tanya Raga saat Mahesa sudah selesai mencuci gelas di bak cuci. “Ntar juga lo biasa kok.”

Mahesa tahu resiko seperti ini akan terjadi padanya saat dia memutuskan menerima pekerjaan di kelab malam. Digoda—kalau tidak mau disebut pelecehan verbal—oleh banyak pelanggan bar, terutama wanita. Tidak salah memang jika para wanita itu melihat Mahesa dan akhirnya merasa gemas sendiri. Mahesa tidak jelek, tapi juga tidak tampan, ya manislah—itu yang dulu yang sering diucapkan oleh teman-teman wanita di kampusnya. Tubuhnya yang tinggi dengan massa otot ideal sangat menunjang penampilannya.

“Biasalah, kayak anak-anak di kampus.”

“Mereka itu langganan di sini.”

Mahesa menoleh kembali ke arah kumpulan wanita yang memilih duduk di meja paling pojok dekat dengan ruang VIP.

“Sering ngadain pesta di sini.”

“Orang kaya?”

Raga mengangguk. “Bos pernah bilang kalau mereka itu sekumpulan, hem … apa ya istilahnya. Ah, intinya mereka itu cewek-cewek yang prinsip hidupnya you only live once. Kebanyakan juga masih single, kalaupun ada yang bawa cowok, palingan cuma dijadiin ONS atau enggak gigolo yang disewa mereka buat bachelorette party, atau buat ngejamu klien-klien mereka yang udah tante-tante.”

“Kok enggak nyewa private room aja?”

Raga mengedikkan bahunya tak tahu.

“Lo cocok tuh, jadi gigolo mereka.”

“Ogah!”

***

Arloji Mahesa sudah menunjuk ke angka tiga, suasana kelab sudah sepi. Hanya menyisakan beberapa tamu yang masih asyik mengobrol dan seorang wanita yang sedari satu jam lalu duduk dengan kepala menunduk di meja bar. Mabuk.

“Mbak?” panggil Mahesa yang kegiatan mengelap meja barnya sedikit terganggu. Dia perlu agar wanita itu bergerak dari duduknya, atau lebih baik pulang sekalian.

“Apa panggil-panggil?!” seru wanita mabuk itu sambil menunjuk-nunjuk ke wajah Mahesa.

“Maaf, Mbak. Saya mau bersihin meja, dan Mbak ngalangin saya.”

“Kamu jahat! Kenapa kamu pergi? Aku tuh nungguin kamu balik!” teriak wanita itu, lalu sedetik kemudian dia tergugu. “Papa sama mama nanyain kamu terus,” isaknya di tengah tangis.

Seorang yang sedang mabuk, memang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Seperti sekarang, Mahesa hanya memilih mengelap sisi meja lainnya dan membiarkan wanita itu menangis hingga lega. Mungkin dia memang perlu mengeluarkan sesak di dadanya, entah apapun itu masalahnya. Namun, orang mabuk juga bisa nekat melakukan banyak hal, bahkan yang membahayakan hidupnya. Oleh karena itu, sesekali Mahesa masih menoleh untuk memastikan bahwa wanita tadi tidak melakukan hal bodoh.

Setelah selesai mengelap meja dan hendak kembali menghampiri wanita mabuk tadi, Mahesa tidak menemukannya di tempat semula. Mahesa panik. Dia tahu, dirinya dan wanita itu adalah dua orang asing yang tidak saling mengenal, tapi Mahesa merasa memiliki tanggung jawab pada pelanggannya. Dirinya bergegas berlari keluar mencari wanita itu, tapi nihil. Mahesa kembali lagi ke dalam, dan menemukan wanita itu terduduk di salah satu bilik toilet dengan napas terengah.

“Mbak baik-baik aja?”

Wanita itu tidak langsung menjawab. Sebuah senyum sinis tercipta di wajahnya. “Baik-baik aja? Setelah apa! Yang! Kamu! Lakuin! Kamu pikir aku akan baik-baik aja?” geramnya sambil memukul tubuh Mahesa dengan tas.

Mahesa berusaha menghindar, tapi wanita itu tetap bisa menjangkaunya—meski dengan tubuh sempoyongan. Entah pukulan yang ke berapa, Mahesa akhirnya menangkap tangan si Pemabuk, lalu menyatukan kedua tangannya di balik punggung wanita itu.

“Lepasin!” rontanya.

Mahesa bisa mencium bau menyengat dari mulut wanita ini, karena wajah mereka begitu dekat. Berapa gelas alkohol yang diminum sampai bisa semabuk ini? Wanita itu terus meronta, membuat Mahesa terpaksa menyeretnya keluar toilet.

“Ga, kasihan nih mbaknya mabok.”

Raga tertegun saat mendapati Mahesa datang dari arah toilet bersama seorang wanita. Dia pikir Mahesa sudah lebih dulu pulang.

“Kasih duduk di depan aja. Ada sekuriti yang jagain, biasanya ntar subuh atau pagi gitu ada yang jemput orang-orang mabuk kayak gini. Ya, paling apes mereka nyadar terus pulang pake taksi.”

“Tapi ini cewek, Ga.”

“Banyak kok cewek yang kayak gitu. Udah biarin aja di depan sana. Gue balik dulu, ya,” pamit Raga, lalu berlalu meninggalkan Mahesa yang menatap bingung wanita dalam pelukannya.

Mahesa menuruti apa kata Raga. Dia yakin Raga lebih tahu bagaimana menghadapi situasi seperti ini, karena pasti dia sudah sering menemukan orang-orang teler sampai pagi.

“Tolong jagain ya, Pak,” pesan Mahesa pada sekuriti, lalu memastikan bahwa wanita mabuk ini sudah tenang, barulah Mahesa menuju parkiran motor.

Dalam perjalanan kembali menuju rumah sakit, Mahesa tidak henti-hentinya memikirkan wanita mabuk yang dia tinggalkan di sana. Ada rasa bersalah dan tidak tega menggelayutinya. Akhirnya Mahesa memutar motornya kembali menuju kelab.

Wanita itu masih di sana, tak sadarkan diri. Mahesa melepaskan jaketnya, lalu menyelimutkannya ke tubuh wanita mabuk. Mahesa menghela napas, tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan.

“Ntar juga ada yang jemput, Mas.”

“Kasihan, Pak. Dia langganan di sini atau bukan ya?”

Pak Satpam yang sedari tadi asyik mengisi TTS melongok sejenak memperhatikan wajah wanita di depan Mahesa. Kemudian menggeleng sebagai jawaban.

“Baru lihat malahan.”

Mahesa kembali menghela napas. Masih memandangi wajah lelap di hadapannya, hingga tatapannya bertemu dengan tas hitam milik si wanita. Mahesa tahu, membongkar tas milik orang adalah perbuatan salah. Namun bisa jadi ada kartu identitas di sana, sehingga Mahesa bisa mengantarkan wanita ini pulang.

“Pak, tolong Bapak jadi saksi saya buka tas mbaknya ini ya. Saya cuma mau lihat KTP-nya aja.”

Pak Satpam kembali menoleh, lalu mengangguk.

Mahesa membuka tas hitam itu, lalu mengambil dompet warna cokelat dan membukanya. Mengambil KTP dan sekilas membacanya. Alamatnya lumayan jauh dari sini, naik motor mungkin butuh satu jam. Mahesa kembali melihat ke dalam tas, ditemukannya sebuah kartu akses salah satu unit apartemen yang tidak jauh dari kelab. Mungkin sekitar 15 menit perjalanan. Tapi Mahesa tidak mungkin membonceng wanita mabuk ini, apalagi keadaan masih gelap.

“Pak, bisa tolong panggilin taksi?”

“Taksi jam segini susah, Mas. Nunggunya lama.”

Mahesa terdiam sejenak. Ya sudah, tidak ada pilihan lain. Memang dia sendiri yang harus membonceng wanita ini. Mahesa memakaikan jaketnya untuk si wanita, lalu menggendongnya, menuju motor. Diikuti oleh Satpam yang membawa seutas tali—entah dia dapat darimana—lalu mengikat tubuh Mahesa dan wanita itu.

Mahesa kembali melaju menuju apartemen si wanita. Entah itu apartemen miliknya atau tidak, tapi setidaknya di dalam apartemen lebih baik daripada di teras kelab dan kedinginan. Setelah sampai, dibantu seorang satpam Mahesa melepaskan ikatannya.

“Lho, Mbak Indira kenapa, Mas?”

“Bapak kenal sama dia?”

Satpam apartemen mengangguk, “Dia tinggal di sini. Lagian siapa yang enggak kenal sama—”

“Maaf, Pak. Bisa kasih tahu unitnya nomer berapa? Biar saya antar.”

“Lantai paling atas, Mas,” jawab Satpam apartemen seraya menahan pintu lift.

Setelah mengucapkan terima kasih dan pintu lift menutup, Mahesa menekan tombol lift dengan sikunya. Mahesa tidak tahu lantai berapa yang paling atas, karena setelah angka 20, tidak ada lagi angka. Hanya ada petunjuk penthouse. Mahesa takjub dengan wanita dalam gendongannya ini. Dia terlihat masih muda, cantik, dan sukses. Terbukti dia tinggal di penthouse.

Dua menit kemudian Mahesa sudah sampai di lantai teratas. Saat keluar dari lift, Mahesa hanya mendapati satu pintu yang terletak di sisi kirinya. Mahesa melangkah menuju pintu itu, lalu menggesek kartu akses ke panel kunci. Muncul di layar pilihan untuk membuka pintu, dengan sidik jari atau dengan pin. Tentu saja Mahesa memilih pilihan sidik jari, karena mana mungkin dia tahu pin kunci pintunya.

Bunyi bip terdengar begitu sidik jari jempol Indira selesai diidentifikasi oleh panel. Mahesa mendorong pintu di depannya. Takjub! Penthouse ini sangat luas, tapi kosong. Mungkin lebih cocok disebut minimalis. Ruang tamu dengan sofa minimalis dan dinding kaca menyambut Mahesa. Membuatnya terpesona dengan keeleganannya, terlebih pemandangan kerlip lampu kota dan bintang di kejauhan, menambah kekagumannya.

Erangan pelan Indira menarik kembali Mahesa dari lamunannya. Buru-buru Mahesa menuju sofa dan membaringkan Indira di sana.

“Jangan pergi,” racau Indira.

Mahesa menunduk untuk lebih jelas mendengar racauan Indira, tapi ternyata wanita itu sudah kembali lelap. Detik berikutnya, dengan hati-hati Mahesa membuka jaketnya yang dipakai oleh Indira. Sepelan mungkin agar Indira tidak terbangun dan meracau lagi. Namun saat Mahesa hendak berhasil melepas keseluruhan jaketnya, Indira mengubah posisi tidurnya menjadi miring. Bahkan tanpa sadar memeluk sebelah tangan Mahesa. Dan pelukan Indira semakin erat setiap kali Mahesa mencoba melepaskan diri.

Baiklah, mungkin Mahesa harus menunggu sesaat sebelum melepaskan diri. Mungkin setengah jam lagi Indira akan mengubah posisi tidurnya. Mahesa akhirnya duduk di lantai, di samping sofa Indira. Membiarkan lengannya dipeluk erat Indira, sedangkan Mahesa menyandarkan kepalanya di sofa dengan tatapan yang masih menikmati kerlip bintang dan lampu di luar sana. Hingga tanpa terasa, Mahesa turut lelap, mengistirahatkan tubuhnya yang selama sebulan ini meringkuk di kursi di sebelah ranjang rawat bapak.

***

Mahesa mengerjap dan menyipit beberapa kali karena silau matahari yang menerpa wajahnya. Namun bukan itu yang membangunkan dirinya dari dunia mimpi, melainkan teriakan melengking Olive—sahabat Indira.

“Lo siapa?” tanya Olive yang memandang Mahesa dengan ngeri.

“Saya Mahesa.”

“Kenapa lo bisa di sini? Sama Indira lagi!”

“Saya cuma nganter Mbak Indira yang semalem mabuk, Mbak.”

“Pake nginep?”

“Maaf, saya enggak bermaksud begitu. Saya hanya ketiduran, karena Mbak Indira terus meluk tangan saya. Saya jadi enggak bisa pergi.”

“Dir! Dira! Indira!” teriak Olive sembari menggoyangkan tubuh Indira.

Indira mengerang, mencoba membuka matanya. Kepalanya pening sekali, belum lagi matanya yang masih terasa berat. Namun, ocehan sahabatnya tidak bisa dihindari. Indira berusaha membuka matanya, menatap ke sekeliling dan terkejut saat mendapati Mahesa ada di hadapannya.

“Siapa lo?!”

“Lo enggak kenal sama dia?”

Indira menggeleng, lalu segera melompat dari sofa.

“Maaf, Mbak. Semalem saya yang nganterin Mbak pulang. Saya Mahesa,” jelas Mahesa sambil mengulurkan tangan. Namun, kedua wanita di hadapannya membiarkan tangan itu mengambang sampai pemiliknya menarik kembali.

“Sepertinya Mbak Indira sudah sadar, dan udah ada temannya. Jadi saya bisa pamit pulang kalau begitu.”

Mahesa tersenyum sebelum akhirnya berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat dia kesulitan membuka pintu, hingga akhirnya teman Indira menghampirinya dan menekan enam angka pin dan bunyi bip kembali terdengar. Mahesa kembali tersenyum, lalu buru-buru keluar meninggalkan penthouse Indira.

“Lo sih, sok-sokan mabuk. Eh, sekalinya mabuk malahan bawa cowok balik. Hebat juga lo.”

“Apaan, sih? Gue juga nggak kenal tuh cowok,” sahut Indira seraya mengambil sebotol air mineral kemasan dari dalam kulkas dan menenggaknya. “Tumben pagi-pagi ke sini, ada apa?”

“Ada apa, ada apa! Om sama tante nyariin lo dari kemarin. Khawatir sama kondisi lo.”

Indira menghela napas, lalu kembali menjatuhkan tubuhnya di sofa dan menyalakan teve. Olive kemudian bergabung dengan membawa dua mangkok dan dua botol air, beserta dua bungkus bubur ayam yang dibelinya saat perjalanan menuju apartemen Indira.

“Om sama tante mau nanya keputusan lo tentang pernikahan lo. Gimana jadinya?”

Olive melirik sahabatnya yang diam dan menatap kosong pada semangkuk bubur ayam yang masih mengepulkan asap, mengabaikan teve yang sedang menayangkan acara gosip. Olive tahu, ini masih terlalu awal untuk mengungkit masalah pernikahan Indira. Namun, kedua orang tua Indira juga bingung harus berbuat apa, terlebih lagi ketika putrinya tiba-tiba saja memutuskan pindah ke apartemennya lagi.

“Dir.”

“Hem?”

“Kenapa enggak angkat telepon Om dan tante?”

“Gue enggak tahu harus ngomong apaan soalnya. Gue udah ngecewain mereka,” ucap Indira dengan suara seraknya, berusaha menahan air matanya lagi.

“Hei.” Olive beringsut memeluk Indira yang mulai terisak. Mencoba memberi dukungan sekecil apapun itu, agar sahabatnya ini bisa menghadapi masalahnya. “Ini bukan salah lo, kok. Si Goblok itu aja yang beneran bego karena udah ninggalin lo.”

“Gue mesti gimana, Live? Sampai kapan kita bisa tutupin semua ini? Media pasti lama-lama bakalan tahu, dan—”

“Dan si Bego itu bakalan nyesel.”

Indira mengusap air matanya. Sudah seminggu dia tidak berhenti menangis, sejak Adrian membatalkan pertunangan mereka sepihak. Sejak malam itu, Indira tidak berani pulang ke rumah menemui orang tuanya. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Yang orang tuanya tahu, dua minggu lagi Indira akan menikah.

Serapat mungkin Indira menyimpan masalahnya. Hanya pada Olive dia menceritakannya. Efeknya akan fatal, terutama bagi papa, jika tahu Indira batal menikah. Namun sampai kapan rahasia ini akan disimpan, apalagi kehidupannya sebagai model sangat dekat dengan media.

“Lebih baik om dan tante tahu sekarang dari lo daripada dari media, kan? Ngomong pelan-pelan.”

Indira menggeleng. “Gue takut papa ntar kepikiran dan malah bikin jantungnya kumat.”

“Terus mau sampai kapan lo kayak gini? Dua minggu lagi tanggal pernikahan lo, kan? Kalau sampai saat itu lo enggak bilang yang sebenarnya, malahan parah ntar.”

“Apa gue minta balikan aja ya sama Adrian?”

Olive menghela napas. “Lo yakin? Adrian aja enggak bilang apa alasannya batalin pertunangan kalian. Sekarang lo minta balikan?”

“Terus gue mesti gimana, Live?”

“Saran gue, tetep lo ngomong ke om sama tante. Jelasin ke mereka pelan-pelan, atau ntar gue temenin deh.”

“Enggak. Gue—”

“Pikirin aja dulu,” potong Olive, lalu mulai menyantap bubur ayamnya.

Sedang Indira hanya bisa menghela napas dan juga ikut menyantap buburnya sembari pikirannya tetap mengembara mencari cara bagaimana mengabarkan dirinya yang sudah putus hubungan dengan Adrian.

***

Setelah Olive pulang, Indira kembali sendirian di apartemen papanya ini. Tempat ini menjadi pelariannya di kala penat, karena masalah pekerjaan. Siapa yang menyangka, tempat ini kini menjadi pelariannya untuk bersembunyi, karena sikap pengecutnya.

Indira baru saja selesai mandi saat ponselnya yang ada di sofa berdering. Panggilan dari mama. Sudah tiga hari ini dia mengabaikan panggilan telepon orang tuanya. Indira masih bingung harus menjawab apa jika mama atau papa bertanya tentang progress acara pernikahannya dengan Adrian yang sudah batal seminggu lalu. Namun apa yang dikatakan Olive ada benarnya, lebih baik dirinya yang memberitahukan kegagalan ini daripada mereka tahu dari berita gosip di teve.

“Ya, Ma?” sapa Indira setelah menggeser tombol hijau dan menelakupkan ponselnya ke telinga.

“Kamu ke mana aja? Kok tiga hari ini enggak angkat telepon Mama sama Papa?”

“Maaf, Ma. Indira lagi ada pemotretan di luar kota. Agak susah sinyal gitu. Makanya, Indira belum sempet hubungi Mama,” bohong Indira.

“Kok Olive enggak bilang apa-apa?”

“Aku emang enggak kasih tahu Olive tentang ini, Ma.”

“Kamu ada masalah sama Olive?”

“Enggak ada kok. Kita baik-baik aja, cuma emang proyek ini aku pengen tangani sendiri,” bohong Indira lagi, dia semakin ahli.

“Ya udah kalau gitu. Terus kabar kamu sama Adrian gimana? Udah pastiin lagi ke katering sama dekor buat dua minggu lagi?”

Akhirnya topik pembicaraan yang paling ditakutkan Indira diungkit oleh mama. Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Menyiapkan diri untuk mengatakan yang sebenarnya pada mama.

“Aku sama Adrian—”

Indira kembali menelan kalimatnya saat kedua matanya menangkap benda asing di atas sofa. Sebuah jaket pria. Jaket milik Mahesa yang dipakainya dini hari tadi. Entah bagaimana, Indira tiba-tiba saja mendapatkan ide untuk mengatasi masalahnya.

Mungkin akan terdengar gila, tapi Indira hanya punya waktu kurang dari dua minggu untuk menyakinkan pemilik jaket mengikuti rencananya.

“Ma, nanti aku telepon lagi ya. Aku harus pergi.”

“Tapi, Dir. Mama pengen tahu soal acara kamu.”

“Iya, ini aku juga mau ngurus. Nanti kalau udah selesai, aku janji bakalan langsung telepon Mama. Ok?”

“Ya sudah, jaga kesehatan ya.”

“Iya, Ma.”

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 1 S A T U   01-12 15:02
img
1 Bab 1 S A T U
11/01/2022
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY