Senyum leganya terkembang kala sang kakek dengan lembut membelai pucuk kepalanya untuk memberinya restu. Masih teringat dengan jelas petuah yang diberikan sang kakek sebelum dia undur diri.
"Mbah Kakung ijinkan kamu untuk pulang, Nduk ... tapi ingatlah! Sembilan tahun kamu menuntut ilmu di sini, pergunakanlah dengan baik di luar sana. Pegang teguhlah imanmu, jangan mudah goyah oleh cobaan dan godaan duniawi, Nduk."
Latifah menghembuskan nafas panjangnya. Ditatapnya seluruh ruangan yang telah menjadi tempat persinggahannya selama sembilan tahun terakhir. Ternyata cukup berat untuk meninggalkan tempat yang awalnya dia benci karena merasa terbuang. Namun, tempat itulah yang menjadi saksi perjuangan seorang Aisyah Nurlatifah untuk membentuk karakter dan menimba ilmu agama sedari kecil. Cinta dari orang tua memang luar biasa, mereka rela dibenci, hingga akhirnya sang anak memahami bahwa mereka ingin yang terbaik untuk anaknya. Seperti yang ibu Latifah lakukan. Dia mengirimkan Latifah ke tempat kakeknya untuk belajar agama lebih dalam. Bahkan saat sang ibu sakit, perempuan tangguh itu bersikap biasa saja di hadapannya agar dia tetap bisa berkonsentrasi dalam belajar. Siapa sangka, kunjungan sang ibu menjelang ujian kelulusannya dari Madrasah adalah pertemuan terakhirnya dengan sang ibu.
Bulir bening Latifah meluncur begitu saja ketika bayangan sang ibu hadir di pelupuk matanya. Begitu jelas saat terakhir kali sang ibu berkunjung, tak biasanya wanita lembut itu menginap dan begitu memanjakannya. Disana! Di atas tempat tidur kecil Latifah, sang ibu tampak duduk dan tersenyum dengan begitu anggunnya.
"Ibuk ... hari ini Tifah akan pulang, Buk ..." lirih gadis remaja itu dengan suara bergetar. Pandangannya semakin buram dengan bayangan sang ibu yang kian memudar meninggalkan semerbak wangi yang menguar di seluruh ruangan. Benarkah arwah ibunya kembali? Atau memang hanya karena pengharum ruangan yang tadi disemprotkan Latifah? Entahlah!
Ketukan pelan di pintu, membuyarkan lamunan Latifah. Ditatapnya Khoiri, adik sepupunya yang masih kecil berdiri di ambang pintu dengan pandangan yang tertunduk dan jari-jemari yang saling bertaut. Latifah menghapus sisa harunya dan berjalan menghampiri gadis kecil itu. Diraihnya tangan mungil itu hingga membuat sang empunya berjingkat dengan mata membulat menatap Latifah. Senyum termanis didapatnya dari sang kakak yang membuat si gadis kecil langsung menghambur memeluk pinggang Latifah. Tangisnya pun pecah, tak dapat lagi ditahannya.
"Mbak Tifah beneran mau pulang hari ini? Apa tidak nunggu Khori khatam iqro dulu?" Disela sesenggukannya, Khoiri mencoba menawar keinginan Latifah untuk pulang. Dirinya yang begitu dekat dengan sang kakak sepupu membuatnya tak rela ditinggalkan.
Latifah membelai lembut pucuk kepala Khoiri sambil tertawa kecil meski rasa haru memukul-mukul perasaan lembutnya.
"Khori kan baru jilid tiga. Kalau nunggu Khori khatam iqro masih lama, dong ..." Gadis kecil itu memberengut tak suka dengan sanggahan Latifah kakinya pun mulai menghentak-hentak dengan tangis yang tertahan. Tifah tersenyum dan membelai lembut wajah imut Khoiri.
"Insyaallah Mbak Tifah akan sering berkunjung, sampai Khori khatam iqro nanti." Mata gadis cilik itu mulai berbinar menatap Latifah dengan senyum yang semakin melebar.
"Beneran ya Mbak ..." Latifah tersenyum sambil mengangguk yang membuat gadis kecil itu melonjak kegirangan dan berlari menjauh. Tiba-tiba gadis kecil itu kembali lagi dan mengecup kecil pipi Latifah kemudian berlari sambil melambaikan tangan dan mengucap salam. Latifah tertawa kecil mendapati tingkah polos si adik sepupu. Tak menyangka ternyata semudah itu membahagiakan seorang anak kecil. Hanya dengan menuruti keinginan sederhana bisa membuatnya berjingkrak-jingkrak kegirangan.
Seorang pemuda gagah menghampirinya sambil mengucap salam dan tersenyum dengan manisnya. Wajah orientalnya yang bersih lengkap dengan lesung pipi membuat pemuda itu menjadi pusat perhatian para santriwati yang dilewatinya. Latifah menyahut salamnya dan langsung melompat, menghambur dalam gendongan sosok itu dengan begitu girang. Pemuda itu menyambutnya dengan sigap. Digesek-gesekannya hidung kecilnya ke hidung mancung pemuda itu yang membuatnya terkekeh geli.
"Ya Allah, Tifah ... kau sekarang sudah besar. Tak malukah kau berbuat begini?"
"Tidak! Tifah kangen sama Mas Alif." Gadis remaja itu menyahut dengan santainya dan semakin mempererat pelukannya ke leher pemuda itu. Alif pun hanya bisa pasrah dengan perlakuan manja adik perempuannya itu.
"Baiklah ... mari kita pulang!" Alif membawa masuk Latifah dan menyeret kopernya keluar kamar. Gadis itu masih betah nemplok dalam gendongan dan hanya disangga dengan satu tangan oleh Alif.
Simbah Abdullah menggeleng pelan sambil berdecak melihat kelakuan kedua cucunya yang menjadi bahan tontonan para santrinya. Suara salam menyapanya dengan begitu takzim. Latifah pun turun untuk berpamitan pada sang kakek yang telah merawatnya selama ini.
"Salam untuk pak lek Ahmad, Kung. Maaf Alif tidak bisa berlama-lama," ucap Alif sambil menaiki motor tua sang ayah dan ditanggapi dengan anggukan pelan sang kakek.
"Alif, tunggu ...." Panggilan seseorang yang sangat familiar menggema, menghentikan Alif yang telah memancal pedal kopling motornya. Adik dari ibunya itu berlarian menghampirinya sambil membawa bingkisan di tangannya.
"In ... ini ada titipan dari bulek Siti untuk kalian sekeluarga." Paklek Ahmad berbicara terbata dengan nafas yang tersengal-sengal. Senyum manis Latifah terkembang dan menyahut bingkisan itu dengan girangnya.
"Suwun, Pak Lek ... sampaikan salam kami untuk bulek. Jika sudah mau lahiran nanti jangan lupa kasih kabar."
"Ya ... hati-hati di jalan ...."
Suara salam saling bersahutan. Setelah keduanya mencium takzim tangan kedua lelaki beda usia itu. Latifah masih terus melambaikan tangannya bahkan hingga kedua lelaki itu tak lagi nampak. Alif menggeleng sambil tersenyum kecil.
"Jika berat untuk pergi, kenapa buru-buru, Tifah?" Pertanyaan sang kakak membuat Latifah memberengut dan menghentikan lambaiannya.
"Mas Alif dulu juga gitu!" Gadis remaja itu protes sambil memanyunkan bibirnya. "Bahkan dulu Mas Alif nangis sampai beberapa hari karena tak tega ninggalin Tifah. Padahal di sana Tifah tetep asyik main sama mbah Kakung."
"Oh ya? Jahatnya, kau ... padahal Mas nangisin kamu lho ...." Keduanya pun terkekeh geli mengenang masa lalunya.
Tiba-tiba bayangan sang adik terlintas di kepala Latifah dan membuatnya bertanya-tanya.
"Sekarang Ipul bagaimana, Mas?"
"Ipul? Ya biasalah ... namanya juga balita. Pasti rewel, lah. Dia nanyain ibu terus. Bapak sampai bingung mau jelasin gimana."
"Hmm ... kira-kira dia ngenalin Tifah tidak, ya?"
"Entahlah! Bisa jadi dia bakal kira kamu ibuk." Tawa Alif menggelegar disambut dengan cubitan manis dari Latifah yang membuat tawanya berubah mengaduh merasakan perih di perutnya.
"Jangan marah, Fah ... kau kan memang mirip ibuk. Jika kita kangen, tinggal pandangi kamu aja sambil kirim do'a."
Latifah terdiam, mengenang kepergian sang ibu. Dirinya seakan masih tak percaya telah menyandang gelar piatu disaat sang adik belum genap lima tahun.
"Kapan-kapan kita ke makam ibuk ya, Mas ...." Suara Latifah bergetar menahan tangisnya agar tak tumpah.
"Tentu! Tapi jangan tangisi ibuk lagi, Fah ... biarkan ibuk tenang di sana. Allah lebih sayang ibuk. Jadi, dia memanggil ibuk untuk cepat pulang disisi-Nya." Ditepuknya pelan tangan sang adik yang melingkar di perutnya.
"Fah ... tadi pas Mas pamit pergi, Ipul kira mau jemput ibuk. Mas iya-in aja. Terus dia melompat-lompat girang gitu. Jadi jangan kaget kalau nanti kamu dipanggil ibuk sama dia." Mata Latifah membulat.
"Kenapa Mas bilang 'iya' ?" Lagi-lagi cubitan didaratkannya ke perut sang kakak. Bahkan lebih lama saking gemesnya. Tak peduli meski pemuda itu mengaduh tak karuan.
Bersambung ....