/0/4197/coverbig.jpg?v=b6712a3e6f451c47ad0e442a80caa9ca)
Karena putus asa akan istrinya yang tidak ingin hamil, Arkano Pawagra akhirnya diam-diam menyewa jasa Clara untuk memberinya keturunan dengan bayaran hidup Clara sepenuhnya akan dijamin oleh Arkano. Namun, siapa yang tahu bibit-bibit cinta mulai hadir di antara mereka meskipun Arkano secara terang-terangan menolaknya.
Arkano mengusap lembut rambut panjang wanita yang menyandar di dadanya. Ia tatap penuh sayang wanita cantik itu.
"Aku sayang sama kamu," bisiknya.
Arkano tersenyum tipis. "Iya.. aku juga." Balasnya.
"Kamu masih tetep cinta kan sama aku meskipun kita nggak punya anak?"
Arkano diam sejenak. Ia pikirkan pertanyaan yang terlontar dari mulut wanita yang merupakan istrinya itu. Arkano Pawagra dan Adeline sudah menikah selama 6 tahun, namun selama itu pula Adeline menolak untuk memiliki keturunan, alasannya karena belum siap ditambah karirnya sebagai seorang model yang memperkuat alasannya. Sebagai suami yang mencintai istrinya, Arkano menghargai keputusan Adeline bahkan menelan pahit keinginannya untuk memiliki anak bersama istrinya.
"Aku tetep cinta sama kamu, apapun yang terjadi." Ucap Arkano dengan pelan.
"Makasih, sayang. Makasih karena kamu mau ngertiin aku, kamu mau menghargai keputusan aku. Aku sayang kamu banget. Kamu janji kan ga akan nuntut keturunan dari aku?"
"Iya.. aku janji."
Adeline memeluk erat tubuh shirtless suaminya dan tersenyum dengan lebar.
Arkano sadar bahwa seharusnya ia tidak berbohong, seharusnya Arkano lebih berani untuk mengutarakan perasaannya dibanding menjaga perasaan sang istri, tapi Arkano tidak memiliki keberanian itu. Ia terlalu takut.
**
Arkano berjalan dengan santai menuju ruangannya. Ia sesekali tersenyum membalas sapaan staff kepadanya. Hari ini Arkano lebih luang dari biasanya, hari ini ia hanya perlu menghadiri 2 meeting penting, setelah itu ia tidak memiliki pekerjaan. Kebetulan, ayah-nya sedang berbaik hati untuk membantu meringankan pekerjaannya.
"Pagi, Pak Arkan. Di ruangan Bapak ada Pak Jo, katanya beliau ada urusan dengan Bapak."
Arkano mengangguk. "Makasih, Fika. Tolong anterin dua kopi sama cemilan ya."
"Baik, Pak."
Arkano membuka pintu ruangannya, tampaklah seorang pria dengan rambut berwarna blonde yang sedang berselonjoran di atas sofanya.
"Jo." Panggil Arkano.
Pria bernama Jo itu menoleh lalu memperbaiki posisinya menjadi duduk, sementara Arkano mendudukkan dirinya di sebuah single sofa yang berada di depan Jo.
"Kenapa, Jo? Udah datang aja pagi-pagi." Ucap Arkano.
Jo terkekeh pelan. "Tadinya gue mau mampir kesini pas jam makan siang, tapi kata PA lo, lo-nya sibuk jam segitu jadi pagi ini aja gue kesini."
"Haha.. iya, gue ada meeting sampe lunch nanti. Ada apa nih, Jo?"
Jo membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kertas persegi cantik dari dalamnya. Ia sodorkan kertas itu Arkano dengan senyum yang sumringah.
"Widih, mantep. Mau nikah juga akhirnya lo!" Arkano berseru senang.
"Wah man, penuh perjuangan banget gue buat sampe ke tahap ini. Doain aja lancar."
"Amin, amin. Pasti lancar lah. Sabtu ini ya?"
"Iya, ajak istri lo ya, dah lama gue ga ketemu sama Lin."
"Kalo dia ga sibuk pasti gua ajak, soalnya jadwal kita bisa bentrok kadang-kadang. Sedih gue."
Jo tertawa dengan keras. "Sabar ye, lama-lama kayak duda lo, Kan."
"Bener lagi."
Arkano terdiam sejenak. "Jo,"
"Apa?"
"Lo setelah nikah kepikiran mau langsung punya anak atau engga?" Arkano bertanya dengan hati-hati.
Jo yang paham dengan arah pembicaraan Arkano hanya mampu menarik nafas panjang. Jo ini memang sahabat kental Arkano sejak SMA, lika-liku nya pun Jo tau, karena memang pertemanan mereka seawet itu. Dan menyangkut soal anak, Jo sepertinya paham tujuan dari pertanyaan Arkano.
"Jujur, gue mau langsung kalo udah dikasih ya. Karena kan, gue perlu anak buat penerus gue nanti, Kan. Sebisa mungkin gue bicarain hal begini sama cewek gue, gue kasih dia pengertian dan beruntungnya, dia juga sama kayak gue."
Arkano jadi terdiam. Selama ini ia juga banyak memberikan pengertian pada Adeline betapa berarti kehadiran seorang anak baginya, tapi kenapa wanita itu tetap tidak siap? Kenapa ia tidak mau mengerti seperti kekasih Jo?
"Kan, lo mending omongin lagi hal ini sama Lin. Gue yakin, dia pasti setuju, lebih baik lo jujur aja ke dia."
Arkano hanya menganggukkan kepalanya. Bingung juga ingin merespon apa.
"Yaudah, Kan. Gue mau nganter undangan doang, gue mau mampir ke Kavin sama Reagan lagi abis ini."
"Ok, thank you, Jo."
"Yoo."
Sepeninggalnya Jo, Arkano jadi memikirkan kembali kata-kata dari temannya itu. Tapi, baru semalam mereka membahasnya, masa Arkano harus membahasnya lagi? Yang ada, hal itu akan memicu keributan antara ia dan Adeline. Dan baru semalam juga Arkano berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa anak. Hah.. Arkano mengacak-acak rambutnya yang telah tertanan rapi, memusingkan sekali rasanya, bahkan lebih memusingkan dari laporan acak-acakan buatan staff nya.
Sembari menunggu jam makan siang, Arkano pergi dari ruangannya menuju sebuah caffe yang berada di seberang kantornya. Arkano memesan segelas kopi americano beserta pancake untuk menemaninya hingga jam makan siang, Arkano memang berniat menunggu di caffe saja sampai waktu meeting tiba. Dari pada suntuk di ruangannya, kurang lebih begitu pikir Arkano.
Hampir 15 menit menunggu, akhirnya pesanan Arkano tiba. "Ini pesanannya, Mas."
"Thank you."
Arkano melirik pelayan yang mengantarkan pesanannya, seorang gadis yang masih muda dan cantik.
"Baru disini ya?" Tanya Arkano pelan.
Gadis itu mengangguk. "Saya baru disini, Mas. Baru masuk hari ini." Jawabnya sopan.
"Hm.. soalnya saya baru liat kamu disini, Ruri masih disini kan?"
"Masih, Mas. Tapi Mbak Ruri cuti seminggu."
"Kalo boleh tau, nama kamu siapa? Saya pelanggan caffe ini, pelanggannya Ruri sih lebih tepatnya." Ucap Arkano sembari tersenyum kecil.
"Clara, Mas."
"Oh.. ok, Clara. Saya Arkano, kantor saya di seberang."
Gadis bernama Clara itu menganggukkan kepalanya mengerti. Di seberangnya memang berdiri sebuah bangunan pencakar langit yang sangat terkenal. Rupanya Arkano berasal dari sana.
"Kalau begitu, saya pamit ke belakang dulu. Permisi."
Clara berlalu meninggalkan Arkano yang mulai menikmati hidangannya.
**
Arkano menyelesaikan meeting terakhirnya pada jam delapan malam. Saat ini ia masih diperjalanan menuju pulang ke rumah orangtua nya, tadi siang menelfon bahwa ia harus pergi selama beberapa hari dan menyuruh Arkano untuk menginap saja di rumah orangtua nya. Bukan pertama kalinya jika ditinggal sang istri Arkano akan menginap di rumah orangtua nya, tetapi sudah berkali-kali, pun jadinya orang rumag mengerti jika Arkano pulang ke rumah utama berarti istrinya sedang bepergian.
Arkano langsung memarkirkan mobilnya begitu tiba, ia langsung masuk ke dalam rumah mewah itu dan di sambut oleh pria muda yang bertubuh jangkung dengan kulit yang kelewat putih. Tapi bukan hantu.
"HALO BANG!" Ucapnya nyaring, mengejutkan Arkano yang baru ingin melangkah masuk.
"APA-APAAN LO?!" Semprot Arkano karena terkejut.
"Hehe.. welcome home abang ga duda tapi kayak duda."
"Kurang ajar, sini lo!"
Arkano mengejar pria yang kini lebih dulu berlari masuk kedalam berteriak-teriak memanggil orangtua nya.
- bersambung
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Setelah dua tahun menikah, Sophia akhirnya hamil. Dipenuhi harapan dan kegembiraan, dia terkejut ketika Nathan meminta cerai. Selama upaya pembunuhan yang gagal, Sophia mendapati dirinya terbaring di genangan darah, dengan putus asa menelepon Nathan untuk meminta suaminya itu menyelamatkannya dan bayinya. Namun, panggilannya tidak dijawab. Hancur oleh pengkhianatan Nathan, dia pergi ke luar negeri. Waktu berlalu, dan Sophia akan menikah untuk kedua kalinya. Nathan muncul dengan panik dan berlutut. "Beraninya kamu menikah dengan orang lain setelah melahirkan anakku?"
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."