Unduh Aplikasi panas
Beranda / Fantasi / Reinkarnasi Dewa Bela Diri
Reinkarnasi Dewa Bela Diri

Reinkarnasi Dewa Bela Diri

4.9
245 Bab
205.1K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Melintasi waktu dan kembali ke Dunia Bela Diri Utama kuno dari zaman modern, Austin menemukan dirinya dalam tubuh yang lebih muda saat dia bangun. Namun, pemuda yang dirasukinya adalah seseorang yang bodoh dan menyedihkan! Tapi itu tidak masalah karena pikirannya sehat dan jernih. Memiliki tubuh yang lebih muda dan kuat ini, dia akan berjuang untuk menjadi Dewa seni bela diri, dan menguasai seluruh Dunia Bela Diri!

Bab 1 Mendapatkan Kembali Akal Sehat (Bagian Satu)

Kekaisaran Anggrek Violet, Gunung Matahari, Sekte Matahari.

Pegunungan Matahari merupakan salah satu pegunungan utama yang ada di wilayah Kekaisaran Anggrek Violet. Markas Sekte Matahari terletak di Gunung Matahari karena gunung itu memiliki puncak tertinggi di seluruh wilayah kekaisaran.

Di kaki Gunung Matahari, ada sebuah daratan luas yang dipenuhi dengan rumah-rumah bertingkat. Rumah-rumah itu berjejer memenuhi seluruh daratan itu. Daerah perumahan ini adalah tempat tinggal murid-murid tingkat rendah Sekte Matahari.

Pagi itu merupakan pagi yang sejuk dan menyenangkan. Matahari baru saja terbit dari balik ufuk timur. Langit tampak segar dan bersih, layaknya bunga mawar yang mekar setelah disiram hujan semalaman. Sinar matahari yang lembut berkilauan dengan samar dan halus, menyinari rumah-rumah bertingkat tempat para murid tingkat rendah Sekte Matahari tinggal.

Pegunungan, rumah-rumah, dan pepohonan yang menjulang di wilayah itu diselimuti oleh cahaya matahari yang baru terbit serta udara pagi yang terasa sejuk dan segar. Agak jauh dari daerah perumahan murid-murid tingkat rendah itu, di sudut kaki gunung yang terpencil, berdiri sebuah pondok kecil yang lusuh.

Seorang pemuda bertubuh kekar berjalan dari hutan menuju pondok itu. Pemuda itu tampak berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. Sambil memegang roti kukus yang kini sudah mengeras dan dingin di masing-masing tangannya, dia berjalan menuju pondok itu. Sesampainya di pondok itu, dia mendorong pintu dengan kakinya dan kemudian melangkah masuk.

Bagian dalam pondok itu sangat kecil dan sempit. Ruangan itu hampir kosong karena pemuda itu hanya memiliki sedikit barang kepunyaan.

Perabotan yang ada di dalam ruangan itu hanyalah sebuah meja yang sudah berubah warna, sebuah kursi kayu yang goyah dan retak di mana-mana, serta sebuah tempat tidur kayu berukuran kecil.

Pemuda kekar itu meletakkan roti-roti di tangannya di atas meja dan kemudian berjalan ke sisi tempat tidur.

Seorang pemuda yang tidak sadarkan diri terbaring di tempat tidur itu. Wajahnya pucat, napasnya berat dan lambat, dan pakaiannya robek dan compang-camping.

Pakaiannya dipenuhi oleh noda darah yang berasal dari banyaknya perkelahian yang telah dilaluinya. Pemuda itu juga berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Bau darah tercium di udara.

Nama pemuda kekar itu adalah Evan. Dia adalah seorang murid tingkat rendah dari Sekte Matahari.

"Tin? Tin?"

Evan berteriak ketika dia mencoba membangunkan pemuda di tempat tidur itu. Namun, pemuda itu tidak memberikan respons apa pun. Matanya tetap terpejam dan dia tetap tenggelam di alam bawah sadarnya.

Evan adalah orang yang agak kasar dan vulgar. Dia adalah tipe orang yang akan selalu mengikuti perasaannya dan tidak akan pernah memikirkan atau mempertimbangkan tindakannya terlebih dahulu.

Melihat temannya masih tidak bergerak dan tidak memberikan reaksi apa pun, dia merasa gelisah dan khawatir. Dengan cemas, Evan berjalan mondar-mandir di ruangan yang sempit itu. Beberapa saat kemudian, dia kembali ke sisi tempat tidur dan mencoba membangunkan pemuda itu sekali lagi.

"Tin, tolong bangun! Kamu membuatku takut. Sudah tiga hari berlalu dan kamu masih tidak sadarkan diri. Apakah kamu akan mati begitu saja seperti ini? Di usia yang begitu muda ketika kamu masih memiliki begitu banyak hal untuk dilihat dan ketika kamu belum meraih impianmu? Apakah kamu tidak mengkhawatirkanku? Jika kamu mati, aku akan sendirian di Sekte Matahari. Aku tidak akan punya teman untuk diajak bicara. Kamu tidak boleh egois seperti ini. Tolong bangun demi aku dan juga demi dirimu sendiri, oke?"

Air mata mengalir deras dari kedua matanya, layaknya air yang mengalir dari bendungan yang terbuka. Evan melanjutkan dengan suara yang serak dan putus asa, "Tin, kamu selalu melindungiku selama ini. Ketika kamu berada di sisiku, tidak ada orang yang berani menindas atau mempermalukanku. Kamu adalah satu-satunya orang yang selalu menentang dan memberi pelajaran kepada para bajingan itu. Aku selalu bertanya-tanya hal baik apa yang telah aku lakukan sampai aku bisa mendapatkan teman yang begitu luar biasa sepertimu.

Tapi ketika orang lain menindasmu, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Betapa tidak bergunanya aku sebagai temanmu! Aku pasti telah sangat mengecewakanmu. Aku benar-benar minta maaf, sobat. Tolong jangan mati! Tolong jangan tinggalkan aku sendiri!"

Ketika kesedihan di hatinya terasa semakin kuat, isak tangis Evan perlahan-lahan berubah menjadi raungan yang terdengar begitu menyakitkan dan putus asa.

Suara tangisannya terdengar begitu nyaring di pondok yang kecil dan sempit itu sampai-sampai atap pondok yang terbuat dari jerami tampak ikut bergetar karena raungannya.

"Tin, aku tidak punya keinginan untuk hidup di dunia ini jika kamu mati. Ini semua karena para bajingan itu. Tunggulah, sobat, aku akan pergi dan membunuh mereka semua."

Setelah mengatakan itu, Evan berbalik dan bergegas keluar untuk membalas dendam.

Dia selalu seperti ini. Didorong oleh perasaannya, Evan akan langsung melakukan apa pun yang terlintas di benaknya tanpa memikirkannya terlebih dahulu.

Namun, ketika dia hendak melangkah keluar, telinganya tiba-tiba menangkap suara seorang pria yang sedang menggerutu dengan tidak puas.

"Suara apa itu? Oh, telingaku! Sepertinya aku akan tuli!

Siapa yang membuat suara mengerikan itu?" Pria yang berbaring di tempat tidur mengernyitkan alisnya ketika mendengar tangisan Evan.

Evan seketika menghentikan langkahnya dan berbalik.

Dia melihat pria di tempat tidur itu mengangkat tangannya dengan lemah dan mencoba untuk mencengkeram sesuatu. Evan segera kembali ke sisi tempat tidur dan menggenggam tangannya yang terangkat itu sambil berseru kegirangan, "Tin! Ini aku, Evan. Bagaimana keadaanmu?"

'Tin? Sudah lama sekali sejak seseorang memanggilku dengan nama itu.'

Nama itu membawa kembali ingatan-ingatan tentang kehidupan masa lalunya. 'Ya, itu mereka. Hanya teman-teman yang bermain basket denganku ketika aku di sekolah yang tahu dan memanggilku dengan nama ini.'

Austin perlahan-lahan menarik diri dari ingatan-ingatan itu dan menaruh seluruh perhatiannya ke masa kini. Dia merasakan rasa sakit yang tajam dan menusuk di dahinya ketika dia mencoba bergerak. Dia tidak berani berpikir lebih keras.

Perlahan-lahan, dia membuka matanya. Sinar matahari menembus celah-celah atap jerami dan menyinari wajahnya. Austin menyipitkan matanya dan mencoba mengingat-ingat di mana dia berada saat ini. Dia memperhatikan sekeliling ruangan yang kecil dan lusuh itu.

Austin terperangah. 'Di mana aku? Bagaimana aku bisa berakhir di pondok tua seperti ini? Siapa yang membawaku ke sini? Apakah aku sedang bermimpi? Tempat apa ini?' Austin berpikir dengan sungguh-sungguh, berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan itu. Namun, dia meringis ketika upayanya itu malah membuat rasa sakit di kepalanya semakin parah.

Austin adalah seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan, yang terletak di pesisir Kota Subur yang indah dan makmur, milik Negeri Cadas.

Setelah lulus kuliah, Austin datang ke Kota Subur bersama kekasihnya. Keduanya ingin mengejar karir mereka dan memulai hidup bersama di Kota Subur sebagai babak baru dalam hidup mereka.

Setelah bekerja dengan penuh dedikasi selama beberapa tahun, Austin akhirnya dipromosikan dari posisi karyawan menjadi Wakil Direktur Departemen Penjualan. Promosi tersebut merupakan sebuah peristiwa yang menggembirakan karena hal itu secara pasti membawa harapan dan semangat yang lebih besar dalam dirinya. Dia bekerja lebih keras dari sebelumnya.

Namun, hidupnya tidak berjalan semulus yang dia harapkan. Secara mendadak, sebuah insiden yang mengerikan menghantam hidup dan karirnya yang sedang melonjak itu.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY