Pertanyaan itu, mengganggu perasaan dokter muda itu. Dia, berusaha tidak berkata apapun tetapi mayat yang tidak berdaya itu terus saja saja mengoceh. Mau tak mau, dia pun menanggapi apa yang dikatakan si mayat.
"Berapa, umurmu?" Dokter itu, mengejutkan si mayat yang sejak tadi selalu mengoceh.
" Umurku, 24 tahun."
"Siapa, namamu?" Dokter itu kembali bertanya.
"Selviana Ratna." Mayat masih terheran, kenapa dokter itu bisa berbicara dengannya.
"Apa yang menyebabkan kepalamu begini?"
"Entahlah, aku sedang mengendarai mobil dan sepertinya, aku tidak sadar menabrak sesuatu." Mayat kembali menjawab
Sebuah jarum, berbentuk kail menusuk kulit si mayat. Dokter itu, menarik menggunakan benang transparan.
"Woh sakit! Sakit sekali!" Mayat mengeluh kesakitan, tetapi ekspresinya hanya di mulut saja tanpa ada reaksi tubuh seperti mengernyitkan kulit ataupun bergerak.
"Kamu, sudah meninggal dunia 4 jam yang lalu."
Si mayat, menjadi terheran. "Tapi kenapa, aku bisa berbicara denganmu?"
"Waktu umurku 14 tahun, aku divonis psikosis oleh dokter karena aku tidak bisa membedakan antara nyata dan tidak nyata. Aku, sudah biasa berkomunikasi dengan orang mati. Sejak kecil, sebagian orang menganggapku gila."
"Tapi, kamu tidak gila kan?"
Tersenyum, dokter forensik itu. Sedang tangannya sejak tadi dengan lihainya menjahit luka yang menganga sampai sebagian luka tertutup.
"Aku, tidak gila. Kalau pun aku gila, sudah pasti aku tidak akan bekerja di tempat ini."
Dari arah depan, terdengar langkah kaki bersama dengan bunyi suara kereta yang ditarik.
"Selamat siang, Dokter Randa," tegur seorang perawat cantik, bersama dua orang kawannya. Mereka datang, membawa mayat seorang laki-laki korban pembunuhan.
"Siang, Evlyn," sahut dokter forensik itu.
"Dok, apa perlu kami dampingi untuk menjahit luka jenazah?" Pertanyaan seperti itu, sangat sering sekali ditanyakan oleh para perawat. Namun, dokter itu lebih sering menolaknya. Apabila, kondisi jenazah yang dibawa hanya mengalami luka-luka sobek kecil. Kecuali luka besar akibat tabrakan atau pembunuhan, barulah Randa minta didampingi.
" Aku, masih bisa mengerjakannya sendiri. Tinggalkan saja jenazah itu! 15 menit lagi, kembalilah kesini bawa semua riwayat kematian jenazah yang laki-laki."
"Baik, Dok."
Tiga orang perawat itu pun, pergi meninggalkan Randa seorang diri mengurus jenazah.
"Aku rasa, perawat tadi menyukaimu."
Randa, kembali tersenyum. " Darimana, kamu mengetahuinya?"
Dia berbicara pada temannya, saat mengantarku ke ruangan ini.
"Semua wanita muda, pasti menyukai lelaki yang sama-sama muda!" sahut Randa, sembari menyuntikkan sebuah suntikan di kepala mayat.
"Aku, masih bisa berbicara denganmu, artinya aku masih hidup kan?" Mayat itu, kembali meyakinkan dirinya.
Tersenyum dokter itu, sembari mengambil kertas surat riwayat kematian dan menunjukkan pada si-wanita bahwa dia sudah meninggal.
"Tapi aku merasa, aku belum mati!" Wanita itu, terus saja menyangkal kematiannya.
"15 menit lagi, perawat akan masuk ke ruangan ini. Jika kamu merasa belum mati, berbicaralah dengannya. Bila dia mendengar ocehanmu, berarti kamu masih hidup. Tapi apabila sebaliknya, dia tidak mendengarmu artinya kamu benar-benar sudah mati. Dan kuharap, kamu tidak menanyakan sesuatu yang dapat mengganggu konsentrasiku," ucap si dokter muda, sembari menoleh ke mayat lelaki yang terus berteriak karena kesakitan.
"Buktinya, lelaki di sana juga mati, tapi aku tidak mendengar suara apa-apa darinya." Mayat wanita itu, masih bersikukuh menganggap dirinya tidak mati.
"Andai, kamu dapat mendengar sepertiku. Sebenarnya, mayat lelaki itu sangat berisik sekali. Kamu, tidak bisa mendengar ocehannya karena kamu sudah meninggal."
15 menit kemudian, dokter itu melihat jarum jam di tangan kanannya. Tidak beberapa lama, datang dua orang perawat masuk ke dalam ruangan.
"Sudah, kamu bawakan riwayat kematiannya?"
"Sudah, Dok."
Dokter itu, memegang riwayat kematian lelaki korban pembunuhan dan mempelajari semua sebab kematiannya.
"Evlyn, kau telanjangi mayat wanita itu. Buka semua pakaiannya, setelah itu bawa ke ruang mayat agar dimandikan oleh Heddy. Pastikan, saat memandikan mayat harus didampingi 2 perawat agar tidak ada lagi kasus pemerkosaan pada mayat. Penyebab kematiannya, sudah kutulis pada kertas di meja. Nanti, kamu salin ke riwayat kematiannya."
"Baik, Dok," ucap Evlyn, perawat cantik yang naksir Dokter Randa.
"Oktav, bantu aku mengurus jenazah laki-laki ini."
Sebuah gunting tajam, menyobek pakaian jenazah lelaki itu. Luka sobek, akibat tebasan pisau membelah bahu kiri.
Randa, mengukur kedalaman luka sobekan akibat tebasan golok.
"Kamu tau, apa penyebab kematian lelaki ini?" tanya Randa, pada Oktav.
"Perkelahian, perebutan warisan. Menurut polisi, korban menyerang terlebih dulu secara membabi buta. Lalu, pelaku berusaha membela diri hingga terjadi duel dan akhirnya korban kalah."
"Tidak! Tidak benar cerita itu! Anak itu yang lebih dahulu menyerangku. Aku, hanya mempertahankan diri!" Jenazah itu, terus berteriak membela diri mengatakan dirinya tidak bersalah. Randa yang mendengar penuturannya, hanya diam saja karena baginya tidak semua mayat harus dia ajak bicara.
"Ukur panjang tubuhnya, lalu kamu catat disini."
"Baik, Dok."
"Setelah itu ukur panjang lukanya, penyebab kematiannya.
Mayat lelaki yang sedang mereka urus itu, terus saja mengeluh. Bila melihat badannya yang besar, tentu tidak pantas jika dia merengek dan menangis seperti anak kecil. Untungnya, hanya Randa saja yang mendengar keluh kesah mayat itu.
"Dokter, kenapa mayat mengeluarkan air mata?" Oktav terkejut, mengira mayat itu masih hidup.
"Itu, normal. Jenazah mengeluarkan air mata itu, akibat dari relaksasi otot menjadi tenang sehingga jaringan-jaringan otot menjadi kendor."
"Owh begitu ya, Dok? Wah, kalau di kampung saya ada mayat begini, mereka pasti heboh karena dianggap aneh."
"Semua yang terjadi itu, semuanya bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan. Itulah pentingnya, edukasi kepada masyarakat agar sesuatu yang aneh tidak menjadi gosip yang bisa menjadi aib bagi keluarga yang tinggalkan."