Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Lawyer With Benefit
Lawyer With Benefit

Lawyer With Benefit

5.0
11 Bab
170 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

'Bermain' dengan pengacaramu sendiri? Terdengar konyol, bukan? Namun itulah kenyataannya. Adara dan Deva saling melampiaskan hasrat mereka ditengah-tengah masalah yang sedang mereka hadapi. Adara benci dengan ibu tirinya yang sengaja menggelapkan uang perusahaan ayahnya demi keuntungan sendiri. Adara tidak akan sudi jika perusahaan ayahnya bangkrut karena ulah ibu tirinya. Ia tidak akan membiarkan kebahagian wanita itu berlangsung lama, sedangkan Ayahnya tengah kritis melawan penyakit. Maka dari itu, ia meminta Deva untuk membantunya dalam masalah ini. Menurut sahabatnya, Deva adalah seorang pengacara yang hebat. Deva tak hanya bisa memenangkan hati hakim dan jaksa dipengadilan tetapi juga dihati Adara. Pria itu berhasil menghibur Adara dikala wanita itu bersedih atas kepergian sang Ayah dan membuat Adara jatuh cinta. . . . Judul platform lain: Because of You

Bab 1 Sebuah Pilihan

Sudah hampir dua jam Ella mendengar ocehan sahabatnya yang hanya berputar pada itu-itu saja. Ia bahkan tak sempat mencela untuk membagikan pendapatnya pada gadis itu. Saking cepatnya gadis itu dalam berbicara. Ella bahkan sudah menandaskan dua gelas kopi untuk berjaga-jaga apabila kantuk menyerang.

"Jadi menurut lo, gue harus bawa masalah ini ke hukum atau nggak?"

"Dua jam lo ngoceh cuma mau tanya itu?" Ella nampak kesal bukan main.

"La, lo tahu sendiri kalau kita selesain masalah lewat hukum pasti ribet deh. Makanya gue nanya pendapat lo, perlu atau nggak?" Dara kembali duduk ke kursi dihadapan Ella. Mereka kini berada di ruang kerja Ella.

"Ya menurut lo sendiri gimana? Kan, lo yang dirugiin."

Masuk akal. Dara kembali berpikir berapa kerugian yang ia terima ketika dirinya mendapatkan fakta bahwa ibu tirinya berselingkuh oleh orang perusahaannya sendiri lalu menyuruh selingkuhannya untuk menggelapkan uang perusahaan. Pikirannya buntu. Sudah terlalu banyak uang yang diambil ibu tirinya tersebut.

"Banyak banget. Bisa beli rumah baru gue," ujar Dara, kala mengira-ngira totalan kerugian yang ia terima.

Ella memijit pelipisnya. "Jadi?"

Dara hanya menghela napas. Ayahnya sedang sakit. Dia tidak ingin ayahnya menjadi tambah khawatir karena masalah ini.

"Kalau lo mau selesain lewat jalur hukum, gue punya kenalan lawyer. Dia yang nangani kasus Mas Ares waktu cerai sama mantan istrinya," kata Ella membuat mata Dara berbinar.

"Serius? Lawyer yang menangin hak asuh anak buat Mas Ares, waktu itu?"

Ella mengangguk.

"Gue minta kartu nama atau nomor teleponnya dong," pinta Dara.

"Besok gue kasih tahu. Gue harus nanya Mas Ares dulu."

Dara mengangguk-angguk paham. Kemudian suasana hatinya menjadi sedih lagi. Bagaimana kalau ayahnya menolak untuk pisah dengan ibu tirinya? Bagaimanapun ayahnya sudah termakan berbagai rayuan dari wanita itu.

"Gue khawatir Papa nolak pas gue paksa buat dia cerai sama si Mak Lampir. Gue khawatir kalau Papa tahu semua ini jantungnya kumat lagi. Gue nggak mau kehilangan Papa. Dia satu-satunya yang gue punya."

Dara menggenggam liotin dari kalung yang ia pakai. Itu adalah pemberian ayahnya saat ia ulang tahun ke 17, tujuh tahun yang lalu.

"Bokap lo pasti ngerti, Dar."

10 tahun yang lalu waktu Ibunya meninggal dunia, Ayahnya terkena serangan jantung dan nyaris kehilangan nyawa. Hal itu membuat Dara takut jika sewaktu-waktu jantung Ayahnya kumat lagi ketika harus diminta berpisah dengan istri keduanya ini.

Mau beribu kalimat Dara jelaskan, dimata Ayahnya orang itu akan terlihat baik. Istrinya. Dara tahu ayahnya sangat mencintai wanita yang ia sebut Mak Lampir tersebut.

"Gue balik duluan, ya, Ra. Nyokap minta jemput nih."

Ella membuyarkan lamunan Dara. Gadis itu mengangguk dan membiarkan Ella pergi.

Pikirannya terus berkutat akan hal-hal buruk yang bisa saja terjadi akibat rencananya ini. Walau ia takut ini untuk kebaikan semua, tetapi tetap saja akan ada yang melihat dari sisi pandang yang berbeda.

***

Seorang pria yang sudah memasuki usia senja itu langsung membukakan pintu rumahnya ketika mendengar suara mobil tiba di halaman. Instingnya kuat, dia selalu kapan putri semata wayangnya pulang.

"Kok Papa belum tidur?" tanya Adara, kemudian mencium punggung tangan Ayahnya.

"Mana bisa tidur kalau gadis Papa belum pulang," sahutnya, membuat Adara tersenyum.

"Ayo masuk. Papa udah makan?" Adara berjalan sambil menggadeng lengan Ayahnya.

"Udah. Kamu udah makan? Kelihatan lemas banget, Nduk," kata Ayah Dara, sembari memegang pipi anaknya.

"Udah kok. Pa, Adara mau ngomong sesuatu yang penting sama Papa," kata Dara. Ia sendiri pun tidak yakin untuk mengatakan masalah itu saat ini. Tetapi baginya lebih cepat lebih baik.

"Apa, Nak?"

Ayah dan anak itu tengah duduk di sofa ruang keluarga.

"Sebenarnya karyawan Papa yang korupsi di kantor itu ... Selingkuhan Mama Wulan." Dara memelankan suaranya ketika menyebut nama ibu tirinya.

"Selingkuhan?" kata Ayahnya tak percaya, bahkan suaranya nyaris tak ada.

"Iya, Pa. Mama Wulan udah selingkuh sejak setahun yang lalu," ujar Dara, melanjutkan.

Dara tidak tega untuk melanjutkan lebih jauh ceritanya. Raut wajah Ayahnya berubah sendu. Raut wajah yang ia lihat 10 tahun yang lalu ketika acara pemakaman Ibu kandung dirinya.

"Papa mau, ya, bercerai sama dia. Ini buat kebaikan kita, Pa. Buat Papa dan aku," ujar Dara, sambil menggenggam kedua tangan Ayahnya.

Samar-samar Dara gelengan dari Ayahnya. Hatinya terasa pedih, bahkan ketika dikhianati sekalipun Ayahnya masih tetap ingin mempertahankan pernikahan ini.

"Dara mohon, Pa ..."

Ayah Dara bangkit dari sofa, ia berjalan pelan ke arah kamarnya namun baru saja membuka kenop pintu suara gaduh terdengar.

"Papa!!"

Ayah Dara pingsan sembari memegang dadanya. Tempat di mana biasa ia mengeluh rasa nyeri.

"Papa bangun!!"

"Pak Said!!! Papa pingsan!" Dara berteriak memanggil supir pribadinya.

Tak lama kemudian supirnya datang dan membantu Dara menggotong Ayahnya ke dalam mobil. Pak Said langsung menancap gas ke arah rumah sakit tempat biasa majikannya berobat.

Dara panik setengah mati. Ia mengutuk dirinya sendiri karena sudah teledor memberi tahu masalah berat ini kepada Ayahnya. Dara tidak berhenti menangis dan memanggil Ayahnya yang masih terpejam. Dara takut kemungkinan buruk terbesar dalam hidupnya akan terjadi.

Sesampai di rumah sakit Ayah Dara langsung dibawa ke unit gawat darurat untuk segera mendapat pertolongan intensif. Dara hanya bisa menunggu di luar. Di tempat para penunggu lainnya. Ia terduduk lemas di kursi tunggu dan tak bisa memaafkan dirinya sendiri atas apa yang barusan terjadi.

Pak Said menghampiri wanita itu, "Maaf, Non. Mau saya teleponkan Bu Wulan agar pulang lebih awal dari luar kota?"

Pertanyaan Pak Said membuat Dara mual. Untuk apa dihubungi, lagipula wanita tua itu juga sudah tidak peduli dengan keadaan Ayahnya.

"Nggak perlu. Mulai sekarang jangan kaitkan saya dan Papa dengan dia."

Pak Said mengangguk paham. Dara curiga sebenarnya Pak Said sudah mengetahui perbuatan busuk ibu tirinya sejak lama. Sebab ada beberapa hal janggal ketika dulu Pak Said menjawab pertanyaan dirinya kemana ia mengantar Wulan.

Dara tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Ia segera menekan nomor Ella dan meminta wanita itu datang menemaninya. Ella adalah sahabat terbaik dirinya dari 10 tahun lalu. Wanita itu tak pernah menolak datang dikala keadaannya yang sedang berduka sekalipun.

"Putri Bapak Wisnu Wardhana?" panggil seorang perawat.

Adara langsung bangkit ketika mendengar nama Ayahnya dipanggil.

"Saya suster. Ayah saya gimana?"

"Beliau butuh perawatan yang lebih intensif, maka harus dirawat inap selama beberapa hari. Kondisinya cukup parah."

Kaki Dara melemas. Terakhir Ayahnya menginap di rumah sakit adalah dua tahun lalu ketika Ayahnya tak sengaja menabrak mobil orang lain sewaktu menjemput dirinya dulu.

"Kalau begitu silakan diisi data diri Pak Wisnu kemudian diserahkan ke kasir untuk melunaskan administrasi terlebih dahulu." Perawat itu memberi sebuah map berisi kertas yang harus diisi Adara.

"Makasih, Sus."

Dara segera membawa map itu ke bagian administrasi dan mengisi dengan cepat agar Ayahnya juga cepat mendapat pertolongan. Selesai mengurus administrasi, Dara kembali menuju ruang UGD untuk melihat kondisi Ayahnya.

"Om Wisnu kenapa lagi, Dar?" Ella datang 45 menit kemudian. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan raut khawatir dari wajahnya.

Dara sedikit terkejut. Sedari tadi dia memang hanya melamun tak jelas untuk memikirkan hal-hal bodoh.

"Harus dirawat inap," kata Dara, pelan.

"Sabar, Dar. Lo harus kuat, ini adalah risiko dari penyelesaian masalah lo. Percaya sama gue, akhir dari semua ini pasti menyenangkan."

Ella memeluk Dara seerat mungkin. Ia beruntung masih memiliki kedua orang tua yang lengkap dan ssangat amat menyayangi dirinya.

"Yauda sekarang lo masuk dulu. Gue tunggu di sini," kata Ella.

"Iya, La."

Ayahnya mendapat tempat paling pojok diantara yang lain. Jarum infus terpasang di punggung tangan kanan Ayahnya dan oksigen diantara hidung dan mulutnya.

Air mata Dara merembes. Dia langsung mencium kening dan punggung tangan Ayahnya yang tak tertusuk jarum infus.

"Maafin Dara, Papa ...," katanya sambil tersedu. "Dara sayang sama Papa."

***

3 message from Ella Ribero

Dara mengucek matanya ketika getaran dari ponselnya terasa begitu mengejutkan. Pesan dari Ella.

Ia tertidur di sofa rumah sakit setelah lelah menangis.

[Ella Ribero: Dara. Ini nmr pengacara kakak gue 089271771xxx. BTW, GWS buat Om Wisnu]

Dara tersenyum membaca pesan terakhir dari Ella. Kemudian ia menyimpan nomor ponsel pengacara rekomendasi Ella kekontak ponselnya. Pikirannya terbayang insiden tadi malam. Jika Ayahnya saja pingsan karena mendengar permintaan dirinya atas perceraian yang ia inginkan, bagaimana dengan melaporkan wanita tua itu ke polisi?

Tugasnya bertambah. Ia dilanda dengan plihan yang cukup sulit.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 11 Mawar & Asa   08-03 22:53
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY