Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Baby Daddy
Baby Daddy

Baby Daddy

5.0
45 Bab
727 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

DICARI!!! LAKI-LAKI SEHAT YANG MAU MEMBUAHI!!! Bastian Cokro adalah CEO perusahaan f&b, berusia 30 tahun, dan single. Rumornya, Bastian—atau yang biasa dipanggil Mas Tian—adalah bujangan yang tak kunjung menikah karena ketidakmampuan dalam memproduksi keturunan. Infertil, alias mandul. Di sisi lain, terdapat Eva Sania yang bulan depan berulang tahun ke-28. Seorang News Broadcaster yang hidup di tengah ibu kota dengan pekerjaan sesuai passion bergaji tinggi, sahabat dekat yang suportif, serta seorang FWB yang tampan dan memuaskan, lengkap membuat dunia Eva terasa berjalan dengan sempurna. Tapi sialnya, semua yang sempurna itu harus berakhir juga saat ibunda Eva menitahkan vonisnya: "Kak, Mami udah nyerah untuk minta kamu cari suami. Udah telat, teman-teman seusiamu sudah berkeluarga semua ... … Kamu kenapa nggak langsung punya anak saja?" ⚠️ KONTEN 21+

Bab 1 Dunia Bastian Cokro

[Aura Finance: Seriusan gosipnya, Kir? Masa sih CEO kita itu ga laku2 karena mandul??]

[Kirana HR: SUMPAH, Ra! Gue denger sendiri dari adeknya yang mampir kapan hari itu, Mr. T tuh beneran infertil!]

[Aura Finance: Ah, gak percaya gue!]

[Kirana HR: Yeuuuhh si Aura. Tanya aja ke Wira. Ya nggak Wir? @Wira Desain]

[Wira Desain: apaan? gatau ah jangan tag gw masalah gosip2an begini. gw banyak kerjaan. skip]

[Aura Finance: Udah deh, Kir. Jangan nyebar gosip yang gak bener gitu, ntar fitnah jatohnya…]

[Kirana HR: ENAK AJA!]

[Kirana HR: Nih ya, kalo ga percaya, gue tag langsung aja asistennya si Tersangka. Woy, Nis, sini lu! Bantu gue klarifikasi! @Nisa PA CEO]

Wanita muda dengan rambut dikuncir kuda menekuni pantulan wajahnya sendiri dalam cermin genggam yang tersembunyi aman tertutup layar monitor di mejanya. Wanita itu, Nisa, sama sekali tak memperhatikan layar kaca monitor yang menyalakan group chat, berkedip memanggil namanya.

'Komedo jahat, makin digerus, makin beranak.' Omelan dalam benak sang empunya wajah itu tidak sampai terwujud dalam kalimat nyata, namun hanya terproyeksi dalam tautan di alis-nya yang tergambar rapi.

Rutinitas menggerundel berbagai imperfection di wajahnya terputus buru-buru ketika pintu ruangan di belakangnya—yang bertempelkan nama ‘Bastian Cokro’—mendadak terbuka, menampakkan dua remaja dengan seragam SMA berbalut jas almamater sekolah berjalan beriringan keluar dari ruangan.

"Kak, makasih, ya." Salah satu dari mereka menyapa wanita bercermin genggam. Gadis remaja dengan poni rata dan senyuman berlesung pipit manis.

Wanita di balik meja itu membalas, "Oh iya, iya, sama-sama."

Interaksi pendek berakhir seiring dengan beranjaknya dua anak sekolahan itu, menghilang di balik pintu keluar.

Tepat saat itu, sang penunggu meja baru menyadari panasnya pembahasan di grup chat WhatsApp yang terhubung web browser di komputernya. Buru-buru ia menutup tab group chat ghibah itu.

Beberapa detik berlalu, seorang pria dengan kemeja putih fit body serta dasi abu-abu muncul dari balik pintu ruangan. Jas tergulung lipat bertengger di salah satu lengannya.

"Nisa, agenda saya setelah makan siang apa aja?" Suara berat menyapa pendengaran wanita yang ia ajak bicara itu—Nisa.

"Jam dua nanti ada meeting dengan vendor dari Jepara, dan setelah itu clear, Mas." Nisa menjawab dengan sigap sambil men-scroll layar ponsel yang ia pungut dari atas meja.

"Itu aja? Tumben. Seingat saya minggu ini kita agak padat." Lelaki itu mengerutkan dahi.

"Tadinya iya sih, Mas, cuma barusan ditelepon sama Bu Cokro untuk ngosongin jadwal Mas Tian hari ini setelah jam 4, katanya disuruh pulang, ada ... acara keluarga." Nisa berkata dengan hati-hati, melihat reaksi bosnya—Bastian—yang mulai kecut.

"Aduh, Nis! Kok kamu ‘iya’-in, sih? Kan jadi banyak kerjaan yang ketunda nanti!" Bastian mulai naik pitam. Nada suara berusaha dikontrolnya agar tetap rendah, namun tak ayal tekanan emosi terdengar pula di sana.

Nisa menunduk dalam, menelan bongkahan omelan Tian di penghujung hari kerjanya.

"Maaf, Mas. Tapi, Bu Cokro tadi agak maksa ...."

Tian menghela nafas dengan berat. Ia benci marah-marah pada karyawan sendiri.

"Oke, nggak papa deh. Kamu boleh pulang sekarang, saya bisa handle meeting sama vendor sendiri. Materinya sudah ada di meja saya ‘kan?"

Mata Nisa membulat mendengar kalimat Tian barusan.

"Iya, tapi ... saya nggak dipecat kan, Mas?"

Tian mengembuskan napas tawa. "Ya enggak, lah. Saya cuma nyuruh kamu pulang, bukan mecat kamu. Memangnya kamu nggak pingin istirahat, gitu? Jalan-jalan, refreshing?"

Manik mata Nisa berbinar dengan semangat.

"Wah, Mas Tian mau ngajak saya jalan?"

Kali ini tawa Tian pecah. Asistennya yang satu ini memang agak ... unik dan bebal. Apa, ya, istilah gaulnya? Oh, iya! Lola! Loading lama.

"Kapan-kapan ya, Nis, saya kan sudah fully-booked untuk hari ini," tolak Tian dengan nada halus, seakan ucapan Nisa barusan tidaklah kurang ajar dan melewati batas.

Nisa mengangguk diiringi tawa juga, mulai mengemasi harta bendanya yang bertebaran di atas meja. Cermin, pouch makeup, kipas angin portable yang sedang di-charge, dan tas tangan berwarna pink pucat.

"Gimana tadi interview sama anak SMA, Mas?" Nisa mencoba mencairkan suasana sambil memasukkan barang-barang berharganya ke dalam tas, sementara matanya menangkap Basian masih berdiri terpaku dan belum beranjak dari tempatnya.

Rupanya mata Tian tertuju pada layar TV yang tergantung di seberang ruangan.

"Asyik, kok. Nggak seformal biasanya. Mereka malah ngundang saya untuk hadir di acara kelulusan angkatan mereka nanti." Tian menjawab seraya tak melepaskan pandang dari layar kaca.

"Wah, mereka masih kelas 11, ‘kan? Visioner banget." Nisa mengomentari sambil berdiri, siap untuk pergi.

"Uh-huh," jawab Tian seadanya.

"Nonton apa sih, Mas? Serius amat." Nisa mengikuti arah mata Tian. Televisi sedang menampilkan potongan acara berita Flash Headline.

"Oooh, berita …," bisik Nisa, lebih kepada dirinya sendiri.

Gambar berganti kembali menuju scene di studio, saat tiba-tiba Tian bersuara, "Nis, itu pembawa berita yang perempuan, wajahnya ‘tuh ... saya kok kayak pernah lihat gitu, ya?"

Nisa memicingkan mata, pandangannya menangkap seorang wanita dengan balutan blouse berwarna marun gelap, membacakan berita dengan ekspresi yang tajam. Bibir wanita itu bergerak penuh, dan alisnya membingkai wajah berseberangan membentuk garis simetris alami antara satu sama lain, menaungi sepasang mata lentik yang menatap lurus menembus layar kaca. Cantik.

"Mas Tian kenal?" tanya Nisa.

Sang Bos menggeleng.

"Nggak. Cuma kayaknya saya sering lihat wajah macem dia di majalah-majalah Vogue gitu. Wajahnya itu semacam ... mahal, nggak sih?"

Nisa mencerna kalimat rumit Tian dengan dahi berkerut. Mau bilang 'cantik' aja bebelit kali Masbos ini. Wajah mahal? Apa pula itu?

“Saya nggak pernah lihat-lihat majalah mahal begituan, Mas. Tapi saya yakin, yang Mas Tian maksud ‘tuh wajahnya si penyiar itu cantik, ya ‘kan?” Nisa berkata sambil menekankan pada kata 'cantik', seolah mengajari Bastian untuk mengeja.

"Iya. Cantik …," beo Tian pendek.

Akhirnya. Muji 'cantik' aja susah amat sih, Masbos. Pantes aja jomblo terus.

Nisa membatin dalam hatinya, tak habis pikir bagaimana bosnya yang workaholic ini begitu kaku berhadapan dengan wanita cantik—walau hanya di depan layar kaca sekalipun. Sang asisten hanya bisa menggelengkan kepala.

**

"Nah! Ini Masmu, akhirnya pulang ...."

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore ketika Tian menginjakkan kaki di kediaman keluarganya. Kedatangannya disambut dengan komentar sang Bunda, diikuti pandangan tiga orang tamu dekat yang sedang berkunjung.

Oh, ini toh acara keluarga yang dimaksud Nisa, batin Tian.

"Mas!" Panggilan suara itu memekik.

"Hey, Lis!" balas Tian.

Elizabeth, yang biasa dipanggil Lisa, adalah sepupu Tian dengan tubuh mungil setinggi 155 senti, tampak mungkin meskipun usianya sudah menginjak awal 20. Lisa tersenyum lebar sambil duduk manis melipat kaki di sofa ruang tamu, memangku setoples turkish delight.

"Kok makin kecil aja kamu?" Tian memperhatikan Lisa yang sibuk mengunyah manisan gula itu.

"Mas juga makin jahat, komenin fisik orang." Mulut pintar Lisa membalas kalimat Tian dengan lugas, membuat seisi ruangan tertawa renyah.

"Sehat, Le?"

Pria yang duduk di porsi lain sofa membuka suara, seorang bapak-bapak pertengahan usia 50 dengan uban minimalis, bersetelan baju bunga aloha dan celana pendek santai. Dia adalah Om Moel, suami dari Imelda Cokro alias Bulik Melda. Om Moel adalah ayah Lisa.

"Sehat, Om." Tian menyalami Om Moel dengan sigap.

"Makin gagah ponakanku iki ...." Wanita yang memperhatikan Tian dari sudut sofa berkomentar, membuat tulang pipi Tian membulat akibat senyum yang tiba-tiba timbul.

"Bisa aja, Bulik." Tian mencium pipi Buliknya dengan sayang sekaligus menghitung dalam hati.

Tiga ... dua ... sa—

"Kapan rabi (nikah) kamu?" Suara Bulik Melda terdengar.

**

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY