Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Cinta Kusut yang Ditakdirkan
Cinta Kusut yang Ditakdirkan

Cinta Kusut yang Ditakdirkan

5.0
760 Bab
34.9K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Tiga tahun lalu, keluarganya menentang pilihan William untuk menikahi wanita yang dicintainya dan memilih Fransiska sebagai pengantinnya. William tidak mencintainya. Malah, dia membencinya. Tidak lama setelah mereka menikah, Fransiska menerima tawaran dari universitas impiannya dan mengambil kesempatan itu. Tiga tahun kemudian, wanita tercinta William sakit parah. Untuk memenuhi keinginan terakhirnya, dia menelepon Fransiska untuk kembali dan memberinya perjanjian perceraian. Scarlett sangat terluka oleh keputusan mendadak William, tetapi dia memilih untuk membiarkannya pergi dan setuju untuk menandatangani surat cerai. Namun, William tampaknya menunda proses dengan sengaja, yang membuat Fransiska bingung dan frustasi. Sekarang, Fransiska terjebak di antara konsekuensi dari keragu-raguan William. Apakah dia bisa melepaskan diri darinya? Akankah William akhirnya sadar dan menghadapi perasaannya yang sebenarnya?

Bab 1 Perceraian

Sudut pandang Fransiska:

Aku keluar dari kamar mandi dengan mengenakan gaun tidur tipis dan berenda, yang memperlihatkan seluruh punggungku. Gaun itu juga memperlihatkan hampir keseluruhan dari tubuhku dan benar-benar pendek, sampai hanya menutupi sebagian dari bokongku.

William Lusman yang berdiri di dekat jendela besar setinggi langit-langit langsung berbalik begitu mendengar kehadiranku. Dia mengenakan jubah mandi bergaris hitam dengan sabuk pinggang yang dililitkan di sekitar pinggangnya. Bagian atas jubahnya sedikit terbuka, memperlihatkan dadanya yang kuat dan tegap.

Begitu tatapannya jatuh padaku, matanya langsung berbinar.

Saat itu, aku tahu bahwa penampilanku ini berhasil membangkitkan minatnya.

Aku telah menikah dengan William selama tiga tahun, tapi selama itu juga kami tidak pernah saling menyentuh satu sama lain.

Aku tahu bahwa dia jatuh cinta dengan orang lain, jadi aku memutuskan untuk terbang ke Prancis tak lama setelah upacara pernikahan kami.

Namun beberapa hari yang lalu, Nenek William meneleponku dan memberi tahu bahwa sudah waktunya bagi Keluarga Lusman untuk menyambut kehadiran seorang anggota baru.

Tentu saja, aku tahu apa maksud ucapannya itu. Sejujurnya, aku tidak membenci gagasan memiliki anak dengan William. Bahkan sebenarnya, aku senang mendengar hal itu.

Inilah sebabnya mengapa aku memilih untuk kembali ke William setelah sekian lama. Aku selalu merindukannya selama tiga tahun terakhir.

Sambil meletakkan tangan di belakang, aku berjalan perlahan ke arah William. Kubiarkan pria itu menatapku begitu lekat dari kejauhan.

Perasaan terkejut yang terlihat di matanya sulit untuk diabaikan.

"Kemarilah," ucap William dengan suara serak.

Aku menggigit bibir bawahku, mendekatinya, lalu melingkarkan tanganku di lehernya.

Sementara William melingkarkan tangannya di pinggangku dan berbisik di telingaku, "Kamu sedang merayuku?"

Napas hangatnya yang berembus di telingaku membuatku merinding dan menggelitik kulit kepalaku.

"Apa berhasil?"

William menyipitkan mata ke arahku dan tiba-tiba tersenyum, "Apa ini yang kamu pelajari di Prancis selama beberapa tahun ini?"

"Kamu menyukainya?" Aku menatapnya penuh harap, dengan jantung yang mulai berpacu.

"Fransiska, kamu cantik," ucapnya dengan suara yang sangat ringan.

Kalimat pujiannya benar-benar mengejutkanku. Apa itu artinya dia juga memikirkanku selama aku pergi?

"William, ayo ..."

"Tapi aku menginginkan perceraian."

Kami berbicara pada saat yang bersamaan.

Saat itu juga, pikiranku menjadi kosong dan aku segera menelan sisa kalimatku.

Kalimat yang sudah berada di ujung lidahku, 'William, ayo kita punya anak ....'

Hanya ada satu hal dalam pikiranku sekarang: William ingin bercerai.

William lalu melepaskanku dan mundur dua langkah, sengaja menjaga jarak dariku, "Kesehatan Fera jauh lebih buruk dibanding sebelumnya. Aku takut dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Jadi, aku ingin menikahinya."

Ternyata rumor mengenai dirinya dan Fera yang akan segera bertunangan itu benar.

Hanya angan-anganku bahwa media mengarang cerita.

"Setelah proses perceraian kita selesai, aku akan memberimu satu triliun rupiah sebagai kompensasi sesuai dengan kontrak kita." Nada suara William terdengar ringan, tapi begitu tegas. Sepertinya keputusannya sudah bulat dan sudah tidak ada kesempatan bagiku untuk bernegosiasi.

Air mata yang panas dan pahit mulai mengalir dari mataku. Aku segera menundukkan kepala. Aku tidak ingin William melihat diriku yang selemah ini.

"Kamu baik-baik saja?"

Sambil menyeka wajah dengan tergesa-gesa, aku lalu menjawab, "Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya sangat bahagia."

William bertanya dengan curiga, "Apa maksudmu?"

"Akhirnya aku punya alasan yang bagus untuk meninggalkanmu. Bukankah seharusnya aku bahagia?" ucapku bercanda. Karena khawatir dia tidak akan memercayaiku, aku segera memasang senyum lebar di wajahku yang berlinangan air mata.

Tiba-tiba wajah William menggelap, dan dia tersenyum dingin, "Wow! Aku tidak menyangka kamu akan bereaksi sesantai ini."

Aku pun tersenyum semakin lebar, "Kurasa itu adalah keputusan yang bagus."

Embusan angin dingin bertiup melalui jendela, mengangkat sedikit ujung gaunku.

Baru saat itulah aku menyadari bahwa aku masih mengenakan gaun tidur yang begitu terbuka dan terlihat sangat konyol.

Ironi itu terasa begitu pahit di mulutku.

Aku mengambil sebuah jubah mandi, memakainya, dan mengikatkan sabuk pinggang jubah itu dengan erat ke pinggangku. Aku menutup bagian atas tubuhku dan melipat tanganku di dada, berharap tindakan ini akan menghangatkan hatiku dari ucapan William yang begitu dingin.

"Jika kita bercerai, kamu bisa menikahi Fera dan aku bisa mengejar pria yang kucintai. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui."

Mendengar ucapanku, William mengerutkan kening dan bertanya, "Sejak kapan kamu jatuh cinta dengan orang lain?"

Pertanyaan itu membuatku harus menelan gelombang rasa sakit yang baru. Aku menarik napas dan berusaha membuat nada suaraku terdengar santai, "Bertahun-tahun yang lalu."

Namun, hatiku berteriak pada William bahwa dialah satu-satunya pria yang pernah kucintai.

"Beri tahu aku siapa namanya."

Aku merasa aneh dengan keingintahuan William terhadap kekasih misteriusku, padahal dia baru saja memintaku untuk bercerai dengannya. Selain perasaan aneh itu, tentu saja aku juga panik karena tidak tahu harus menjawab apa padanya, dan otakku menolak untuk memikirkan satu nama palsu untuk kuberikan saat ini juga.

Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, menyelamatkanku dari keingintahuannya atas pernyataan palsuku.

"Fera, ada apa?" jawab William sambil berjalan ke arah ruang ganti.

Ketika keluar, dia sudah mengenakan celana dan kemeja. Dia lalu mengambil jaket dan memakainya di depan cermin.

"Aku harus pergi. Fera membutuhkanku. Kita bicara lagi saat aku kembali."

Setelah mengatakan itu, dia pergi tanpa melihat ke belakang.

Jika sudah berhubungan dengan Fera, dia akan selalu siap siaga untuk datang kapan saja demi wanita itu.

Setelah beberapa saat William pergi, ponselku juga berdering. Aku menatap ke layar dan melihat sebuah nomor yang tidak dikenal.

"Halo, apa William bersamamu sekarang?" ucap sebuah suara manis di ujung panggilan, tapi suara itu justru membuatku merasa tidak nyaman. Aku bahkan bisa membayangkan senyum puas di wajah sang penelepon.

Meski kami tidak saling menghubungi selama bertahun-tahun, tapi aku masih tahu bahwa itu adalah suara Fera.

Aku mengatupkan bibirku dan tidak mengatakan apa pun.

"Di mana William? Dia sudah berjanji untuk datang dan menemaniku malam ini," desak Fera meski tak ada jawaban dariku. Suaranya begitu lembut, tapi terdengar tajam di telingaku. Begitu tajam seolah-olah seratus jarum sedang menusuk ke jantungku.

"Bukankah kamu baru saja meneleponnya?" bentakku, membiarkan suaraku mengungkapkan perasaan kesal.

"Ups, aku lupa."

Kemudian Fera tertawa terbahak-bahak, suara itu bagiku terdengar seperti suara jari-jari kuku yang sedang menggaruk papan tulis.

"Aku benar-benar minta maaf karena meminta suamimu untuk datang dan menemuiku di malam selarut ini."

"Ya, terserah. Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?"

"Yah, aku hanya ingin mengobrol denganmu dan bertanya apakah William sudah membicarakan soal perceraian."

Saat itu juga, aku mendengar suara William di ujung sambungan, "Fera, aku sudah di sini. Apa kamu baik-baik saja?"

Aku tidak pernah mendengar William berbicara padaku dengan suara yang begitu lembut. Mendengarnya berbicara seperti itu pada Fera membuat mataku pedih dengan air mata.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Fera menutup telepon.

Sementara, aku hanya bisa berguling-guling dengan gelisah di ranjang sepanjang malam.

Fera jelas-jelas meneleponku hanya untuk memprovokasi, tapi yang membuatku tidak bisa tidur bukanlah sikapnya yang angkuh dan busuk, melainkan ketidakpedulian William terhadapku.

Pria itu bahkan tidak meneleponku satu kali pun sepanjang malam.

Namun, aku paham apa alasannya. William sedang bersama Fera sekarang. Seharusnya aku tidak berharap dia akan memberikan perhatian padaku.

Karena hal itu, aku menghabiskan sepanjang malam dengan meratapi perasaan sakit di hatiku. Keesokan harinya, matahari segera menggantikan malam yang gelap.

Pagi itu, ada suara ketukan di pintuku.

Ketika membukanya, aku menemukan William yang sedang berdiri di luar. Dia tidak pulang tadi malam.

"Ayo kita temui Fera hari ini," ucapnya tegas.

Aku melihat ada lingkaran hitam di bawah matanya. Apa dia terjaga sepanjang malam karena bercinta dengan Fera-nya yang tersayang?

"Memangnya kamu ingin aku berbuat apa?" tanyaku datar.

"Jangan buat dia merasa bersalah. Katakan padanya bahwa kamu jatuh cinta dengan orang lain agar dia bisa tenang," jawabnya sambil berjalan mendekatiku dan menatapku dengan saksama.

"Oke."

William tampak terkejut. Sepertinya dia tidak menyangka bahwa aku akan setuju begitu saja.

"Oke. Kalau begitu bersiap-siaplah, aku akan menunggumu di bawah." Setelah mengatakan itu, William pergi.

Beberapa saat kemudian, ponselku berdering. Telepon itu berasal dari sahabatku, Susanna.

"Halo, Susanna."

"Gadis nakal, selamat datang kembali!"

"Terima kasih."

"Jadi, kali ini kamu akan tinggal atau kamu akan segera pergi lagi begitu ada kesempatan?"

"Untuk saat ini, aku akan tinggal."

"Sempurna! Datang dan bekerjalah di stasiun TV kami. Kamu adalah seorang profesional dalam bidang media, suaramu enak didengar, dan kamu juga enak dipandang. Itu adalah pekerjaan yang sangat cocok untukmu."

"Oke, aku akan mempertimbangkannya."

"Omong-omong, apa kamu sudah berbicara dengan William?" tanya Susanna ragu-ragu, suaranya tiba-tiba mengecil.

"Ya, sudah."

"Apa dia sudah memberitahumu mengenai pelacur yang dibawanya untuk menggantikanmu?"

"Ya, dia sudah memberitahuku."

"Cih! Si brengsek itu benar-benar tidak tahu malu! Dia memberitahumu begitu saja? Seolah-olah tidak terjadi apa-apa?"

"Ya. Dia juga memintaku untuk menemui wanita itu hari ini."

"Apa? Kamu akan menemui wanita jalang yang mencuri suamimu itu? Aku yakin dia pasti mendesak William untuk menceraikanmu dan segera menikahinya. Sejujurnya, aku tidak habis pikir mengapa wanita itu masih berusaha keras, padahal Keluarga Lusman sudah menolaknya tiga tahun lalu. Apa yang membuatnya berpikir bahwa mereka akan berubah pikiran sekarang?" Susanna meraung geram dari ujung telepon.

"Semuanya sudah berakhir, Susanna," ucapku sambil memaksakan senyum.

"Apa yang kamu bicarakan? Bukankah kamu masih mencintainya?"

Aku tidak menjawab. Tentu saja aku masih mencintai William. Aku selalu mencintainya selama bertahun-tahun.

"Fransiska?"

Suara khawatir Susanna menyadarkanku kembali, "Aku harus pergi. Aku akan berbicara denganmu nanti, oke?"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 760 Platt Menatap Lekat Pada Helen   03-19 00:12
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY