/0/6186/coverbig.jpg?v=43c6e2845862814c93f4ca33753112ac)
Sebelum dirinya menyadari apa yang telah terjadi, dia dipanggil oleh kegelapan. Kenapa dia berada di sini? Tempat apa ini? Bahkan sampai sekarang, dia masih tidak mengetahui jawabannya. Beberapa rekan di sekitarnya bernasib sama dengannya, tak seorang pun ingat apa-apa kecuali nama mereka sendiri. Dan ketika mereka muncul dari kegelapan, dunia yang menanti mereka terasa bagaikan dunia fantasy abad pertengahan. Untuk bertahan hidup, Rio membentuk party bersama yang lainnya, belajar keterampilan bertarung, dan mereka bekerja sebagai pasukan bayaran. Dan mereka pun memijakkan kaki mereka pertama kali di dunia Midgard. Apa yang akan menunggunya nanti.... Bahkan dia sendiri tak tahu... Ini adalah kisah suatu petualangan yang lahir dari abu.
"Bangunlah"
Seperti suara yang terdengar memanggilnya dengan samar, pria itu pun membuka matanya.
Gelap, apakah ini malam hari? Itulah kesan yang diberi oleh pria yang baru saja membuka matanya tersebut. Tetapi, tidak terlalu gelap dia melihat sebuah cahaya dari sebuah lilin. Bukan sebuah cahaya dari sebuah lilin melainkan cahaya dari lilin yang berjejer sepeerti lingkaran. Seakan ada seseorang yang menyalakan lilin-lilin yang bergantungan di dinding yang terlihat tidak memiliki ujungnya tersebut. Dimana ini? Saat dirinya memikirkan hal itu, entah kenapa dia merasa kesulitan dalam bernafas. Dirinya menyentuh dinding tersebut dan dia merasakan sebuah sensasi yang keras dan kasar. Sebenarnya itu tidak bisa disebut dengan sebuah dinding karena permukaan keras dan kasar melainkan lebih tepatnya sebuah batu. Dan tentu saja, jika seseorang tidur diatas hamparan batu maka punggungnya akan terasa sakit. Mungkinkah dirinya saat ini tengah berada didalam sebuah gua? Memang terasa seperti itu. Gua? Kenapa dia bisa sampai berada didalam gua?
Lilin-lilin yang berjajar didinding itu diletakkan cukup tinggi diatasnya, tapi jika dia bangun dan menjulurkan tangannya, mungkin dia bisa menggapai lilin-lilin tersebut. Namun, tempat ini sungguh lah gelap sehingga dia bahkan tidak bisa mengukur seberapa panjang lengannya untuk mencapai lilin yang bergantungan tersebut, dan dia sendiri bahkan hampir tidak bisa melihat apa-apa dibawah kakinya.
Dia bisa merasakan keberadaan orang lain disekitarnya. Jika dia mempertajam indra pendengarannya, dia bisa mendengarkan nafas yang terengah-engah dari orang lain tersebut. Orang lain? Apa yang akan dirinya lakukan jika ada orang lain bersamanya? Dia tidak tahu apa yang akan dirinya lakukan, tapi dia merasa kalau ini cukup lah gawat. Meski demikian, suara itu berasal dari orang lain.
"Apakah ada orang disini?" Dirinya memanggil dengan sedikit ketakutan.
"Ya." Balasan segera terdengar. Itu adalah suara seorang laki-laki.
"Aku disini," Dia mendengar suara lainnya yang menjawab, dan kali ini berasal dari seorang wanita.
"Sepertinya begitu," ada lagi orang yang menjawabnya
"Ada berapa orang disini?
"Kenapa dirimu tidak mencoba untuk menghitungnya?"
"Yang lebih peting, saat ini kita berada dimana?
"Aku tidak tahu..."
"Apakah tidak ada yang tahu dimana kita saat ini?"
"Apa-apaan ini?"
Dirinya kebingungan saat ini. Ada apa ini? Kenapa dia bisa ada disini? Seberapa lama dirinya berada disini?
Pria itu mengepalkan tangannya dengan erat di dadanya, seakan-akan dia ingin merobek sesuatu. Dirinya tidak mengerti. Sudah berapa lama dia berada disini, kenapa dia bisa ada disini? Ketika memikirkan tentang hal itu semua, dia merasa bahwa ada bagian tertentu di otaknya yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan tersebut, namun itu lenyap sebelum dia mampu mengingatnya kembali. Dirinya yang tidak tahu tersebut membuatnya sangat kesal. Dia tidak paham apapun yang tengah terjadi saat ini.
"Kita tidak bisa diam disini selamanya," seseorang berkata. Itu adalah suara yang berasal dari laki-laki yang parau dan rendah.
Dia bisa mendengar suara batu yang di injak dari bawah telapak kakinya. Sepertinya orang yang baru saja berbicara itu bangkit dari duduknya.
"Kemana kau akan pergi?" Kali ini suara wanita yang bertanya padanya.
"Aku akan mencoba mengikuti lilin-lilin yang tertata di dinding ini." Dirinya menjawab untuk menunjukkan bahwa hanya itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan.
Tidakkah pria tersebut merasa takut? Kenapa dirinya tidak marah? Pria yang berjarak sejauh dua lilin ini cukup tinggi. Dia bisa melihat kepala pria itu sedikit karena cahaya remang-remang yang berasal dari lilin. Rambutnya tidak lah hitam... Melainkan berwarna abu-abu.
"Aku juga ikut," salah satu gadis bilang begitu.
"Sepertinya, aku juga ikut," seorang lainnya juga mengatakan hal yang sama, itu adalah suara dari laki-laki.
"T-tunggu sebentar! Kalau begitu, aku juga ikut!" Suara bocah yang lain juga membalasnya.
"Ada juga jalan di arah sebaliknya," kata orang lain. Suaranya sedikit bernada tinggi dan melengking, tapi mungkin dia adalah seorang pria, "Namun, tidak ada lilin disana."
"Jika kau ingin pergi kearah sana silahkan saja," pria berambut abu-abu tersebut menjawabnya dengan tak acuh, sembari terus berjalan.
Sepertinya semua orang mengikut pria berambut abu-abu tersebut. Jadi, pria lainnya juga mengikutinya. Dia tidak mau ditinggal sendirian, sehingga dia buru-buru bangkit untuk berdiri. Dirinya berjalan bersama mereka dengan kaku, salah satu tangannya meraba sepanjang dinding yang terbuat dari batu. Tanah yang mereka lewati tidaklah rata, dan agak bergelombang, namun dia masih bisa melintasinya.
Ada beberapa orang didepan dan dibelakangnya, tapi dia tidak tahu siapakah mereka. Dari suaranya, dia menduga bahwa semua orang di sana berusia muda. Meskipun hanya satu atau dua orang, "sepertinya ada yang aku kenal didalam kelompok ini" pikirnya.
"Seseorang yang kukenal? Seorang kenalan? Seorang teman? Aneh," tak ada satupun hal yang bisa dirinya pikirkan. Tidak, bukan itu. Lebih tepatnya, wajah orang-orang yag disebut "kenalan" atau "teman" menghilang begitu saja ketika dirinya mencoba mengingat-ingatnya. Dia tidak bisa mengingat satu hal pun. Dia merasakan kalau memorinya hilang. Lebih tepatnya memorinya terhisap oleh sesuatu ketika dia mencoba mengingatnya.
"... Mungkin lebih baik tidak usah terlalu memikirkan tentang hal-hal seperti itu." Kata pria itu pada dirinya sendiri.
Suatu balasan datang dari seseorang di belakangnya. Pasti itu adalah seorang gadis muda. "Tidak memikirkan tentang apa?"
"Tidak, tidak ada. Tidak ada apa-apa... Hanya saja..."
"Tidak ada? Sungguh? Apakah benar-benar tidak ada? Apa yang dimaksud dengan "hanya saja?"
Pria itu menggeleng. Pada suatu tempat, tampaknya mereka perlu berhenti. Namn, mereka terus melanjutkan perjalanan mereka. Akan lebih baik tidak memikirkan suatu hal apapun saat ini. Dia punya perasaan bahwa jika dia semakin mencoba untuk mengingat hal-hal yang dirinya lupakan maka akan semakin banyak hal yang akan dirinya lupakan.
Deretan lilin masih melingkar berjajar tanpa henti. Dia tidak pernah tahu kapan deretan lilin-lilin ini berakhir. Seberapa jauh mereka mesti harus berjalan? Mungkin mereka harus berjalan cukup jauh. Atau mungkin tempat tujuan mereka tidak terlalu jauh lagi. Apapun itu, dirinya tidak tahu karena dia telah kehilangan kepekaan waktu dan ruang.
"Hei, ada sesuatu disini," seseorang didepannya berkata. "Apakah itu sebuah lampu?"
"Ada gerbang," kata pria berambut abu-abu, lantas pria lainnya pun menjawab "Mungkinkah itu sebuah jalan keluar?"
Segera setelahnya, kaki pria itu terasa lebih ringan. Meskipun ia tidak bisa melihat apapun, dia punya perasaan bahwa mereka tengah menuju kearah yang tepat. Langkah kaki mereka perlahan semakin dipercepat, dan tak lama kemudian mereka bisa melihatnya. Lebih terang dari lilin yang menerangi mereka, itu adalah sebuah lentera yang tergantung pada tembok. Benda itu memberikan cahaya pada suatu bangunan yang terlihat seperti sebuah gerbang.
Pria berambut abu-abu menjulurkan tangannya dan menggoyangnya dengan kasar. Selain rambutnya yang berwarna abu-abu, ia juga berpakaian seperti seorang preman. "Aku akan membukanya," kata pria berambut abu-abu tersebut, dan ketika dirinya menggoncang lebih keras, gerbang itu terbuka dengan mengeluarkan suara yang berderit.
"Whoa!" Beberapa orang berteriak sekaligus.
"Bisakah kita keluar dari sini? Kata seorang gadis, yang tepat berada dibelakang orang itu. Pakaiannya agak mencolok, bahkan sangat mencolok sekali.
Pria berambut abu-abu itu mengambil beberapa langkah maju melalui pintu gerbang. "Ada tangga disini. Sepertinya kita bisa naik ke atas."
Tangga itu menuju ke sebuah koridor sempit yang berjamur dan berbau yang tehubung pada tangga batu lainnya. Tida ada lilin yang menerangi koridor ini, tapi terlihat sebuah sumber cahaya yang berasal entah dari mana. Semua orang pun langsung membentuk barisan dan mulai naik sedikit demi sedikit. Dibagian atas, ada gerbang lagi, tapi yang satu ini tidak bisa dibuka.
Pria berambut abu-abu menggedor beberapa kali pintu gerbang tersebut dengan kepalan tangannya "Apakah ada orang dibalik sana? Tolong buka gerbangnya!" Teriaknya. Dari teriakannya terdengar kalau dia sangat marah saat ini.
Gadis yang berpenampilan mencolok di belakangnya pun ikut bergabung, dia berteriak dengan segenap udara yang terhimpun di dalam paru-parunya. "Apakah ada orang disana?! Buka gerbangnya!"
"Hei! Buka pintu gerbanya cepat!" Orang dibelakang mereka, yaitu pria berambut pendek dan berantakan juga ikut berteriak.
Sesuatu terjadi tak lama setelahnya. Pria berambut abu-abu menarik tangannya dari pintu tersebut dan mundur sedikit. Sepertinya seseorang telah datang di balik pintu itu. Si rambut berantakan dan gadis yang mencolok juga tiba-tiba terdiam. Terdengar suara gelas yang terjatuh, dan pintu pun terbuka.
"Keluar," Kata seseorang. Entah kenapa, pria itu tahu bahwa itu adalah suara dari orang yang telah membuka kunci pintu ini.
Tangga itu menuju ke suatu ruangan yang dibangun dari batu. Tidak ada sebuah jendela untuk bisa melihat keluar dari tempat ini. Tetapi, pencahayaan terus menyala pada ruangan ini, ada juga satu set anak tangga yang menuju kearah lantai selain yang mereka naiki saat ini. Ruangan itu sendiri terlihat agak primitif dan berbau, yang pasti, itu bukanlah sebuah ruangan yang seperti pada umumnya di jaman sekarang ini. Orang yang membuka pintu gerbang juga berpakaian aneh. Dan yang membuatnya semakin aneh adalah, pakaian yang menutupi tubuhnya tidak hanya terbuat dari sebuah kain, melainkan juga dari logam... Apakah itu benar-benar... Sebuah baja?
Dan yang menutupi kepala orang itu... Si pria benar-benar ingin menyebutnya helm perang. Benda yang tergantung di pinggang orang itu bukanlah tongkat. Mungkinkah itu sebuah pedang? Armor, helm, dan pedang. Jaman apakah ini? Atau, jika dia mempertimbangkan hal lainnya, bukankah seharusnya situasi ini membuatnya sedikit khawatir?
Saat pria ber-armor itu menarik sesuatu yang dipasang ke dinding, dinding dan lantai tempat mereka berdiri bergetar sedikit, dan suara berat bergema di seluruh ruangan. Beberapa bagian dari dinding bergerak, dan terbuka secara perlahan. Dinding batu masuk, dan sebuah lubang berbentuk persegi muncul dihadapan mereka.
"Keluar," Kata pria ber-armor itu sekali lagi, sembari mengarahkan dagunya pada lubang tersebut.
Pria berambut abu-abu pergi terlebih dahulu, diikuti oleh gadis yang berpenampilan mencolok. Lantas, orang-orang lainnya mengikuti si rambut abu-abu begitu saja, seakan-akan mereka ditarik oleh dirinya. Diluar. Kali ini, mereka benar-benar berada diluar. Apakah waktunya adalah senja atau fajar? Tak seorang pun yang mengetahui nya. Langit yang terlihat remang-remang membentang tanpa henti ke segala arah. Mereka saat ini tengah berdiri di atas bukit yang cukup tinggi, dan di belakang mereka, suatu menara besar yang menjulang tinggi. Apakah tadi mereka semua berada didalam bangunan tersebut? Atau mungkin lebih akuratnya mereka baru saja berada di bawahnya...
Jika dihitung jumlah orang yang berada disana, ada delapan orang laki-laki termasuk pria berambut abu-abu, pria berambut berantakan, dan pria itu sendiri, dan ada juga empat orang gadis termasuk gadis berpenampilan mencolok, sehingga jumlah total mereka adalah 12 orang. Suasana nya masih cukup gelap sehingga dia tidak bisa melihat sosok setiap orang secara detail, tapi jika dinilai dari sosok, pakaian, gaya rambut, dan raut wajah secara umum... Pria itu sama sekali tidak mengenali mereka semua.
"Itu terlihat seperti sebuah kota," Kata seseorang. Dia memiliki rambut yang halus dan fisiknya ramping sambil menujuk pada suatu ara di luar bukit tempat mereka berdiri.
Ketika melihat kearah itu, si pria melihat bangunan yang berdesak-desakan. Itu adalah suatu kota. Itu sungguh terlihat seperti sebuah kota. Itu pasti kota. Disekitarnya terdapat pagar yang menjulang tinggi... Tidak... Itu bukanlah pagar. Lebih tepatnya, itu adalah dinding yang kokoh yang menjulang tinggi.
"Itu terlihat lebih mirip suatu benteng daripada kota," Pria kurus yang mengenakan kacamata berbingkai hitam yang dari tadi diam saja mulai angkat bicara.
"Suatu benteng," Pria itu berbisik kepada dirinya sendiri. Mengapa suaranya tidak terdengar seperti dirinya sendiri?
"Jadi, dimanakah ini?" Seorang gadis mungil yang terlihat pemalu dan gugup tersebut bertanya dari balik tubuh pria berambut abu-abu.
"Tidak ada guna nya bertanya kepadaku, karena aku pun tak tahu dimana kita saat ini," Jawab pria itu.
"Ah, maaf. Apakah ada yang tahu? Dimana kita saat ini?"
Tidak ada satu pun yang tahu dimana mereka saat ini, kecuali jika ada beberapa orang yang sengaja memberikan masalah pada gadis mungil nan pemalu itu, atau jika ada orang-orang yang menyembunyikan informasi dari mereka semua karena beberapa alasan tertentu.
"Seriu!" Kata si pria berambut berantakan sembari menyiri rambutnya yang acak-acakan.
"Ah!" Kata pria lain yang mengenakan kaos bergaris, sembari ia menepuk tangannya. Dia memiliki semacam aura yang terkesan 'tidak pernah-susah'.
"Mengapa kita tidak bertanya padanya, yaitu pria ber-armor yang menjaga gerbang tadi?"
Semua orang mengalihkan perhatian mereka ke pintu. Akhirnya mereka menyadari sesuatu. Pintu itu perlahan berubah menjadi sempit. Batu itu naik dari tanah, dan sedikit demi sedikit menutup celah tempat mereka keluar.
"Tunggu..." Pria tak-pernah-susah bergegas menuju ke dalam dengan panik, tapi dia tidak berhasil tepat waktu. Celah itu menghilang, dan kembali menjadi dinding yang seakan-akan tidak pernah terbelah.
"Tunggu, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Siapapun yang melakukan ini, cukup sampai disini, dan hentikan semuanyaa..." Katanya, sembari menyeka tangannya di atas permukaan tembok. Dia melakukan pekerjaan yang sangat sia-sia dengan menggedor-gedor dinding keras itu karena tidak ada hal yang terjadi.
Tak lama kemudian ia menyerah dan merosotkan tubuhnya ke tanah.
"Ini tidak baik," Seorang gadis dengan rambut panjang yang dikepang berkata dengan aksen yang sedikit janggal.
"Selamat datang!!" Teriak dari seorang pria yang menggema disekitar mereka.
Siapa itu? Ada tiga gadis dan seorang pria : si gadis berpenampilan mencolok, si gadis berambut kepang, si gadis pemalu, dan akhirnya seorang yang tampak seperti pria yang kemungkinan tingginya hampir sama dengan pria berambut abu-abu.
"Semuanya sudah muncul, ya, aku ucapkan selamat datang kepada kalian semua. Kalian bertanya-tanya dimanakah ini? Sini, kuberitahu kalian!"
"Dimana ini?!" Pria tak-pernah-susah berteriak, sembari melompat untuk berdiri.
"Tenang dulu, jangan berteriak-teriak seperti itu." Sahut pria yang tersebut kepada dirinya.
"Halo. Apa kabar. Selamat datang di Midgar. Namaku Hyou, izinkan aku untuk menjadi pemandu kalian."
"Entah kenapa cara bicaramu yang terkesan santai itu membuatku kesal," Pria berambut cepak berkata seperti itu. Rahangnya digertakan dengan begitu keras, sampai-sampai suara gemertak giginya terdengar.
"Wah!! Tahan, emosi mu aku ini adalah pecinta kedamaian dan melarang segala macam kekerasan."
Saat dia mendengarkan hal itu pria berambut cepak hanya mendecakkan lidah kepadanya."Kalau begitu jangan membuatku kesal!"
"Diiiimengertiiii-!" Hyou membukuk didepan mereka semua seolah seperti memperkenalkan dirinya dengan etika."Hyou akan bertingkah sopan mulai dari sekarang! Saaangat sopaaan! Apakah tidak masalah bagimu? Tidak apa-apa kan?"
"Kau melakukan itu dengan sengaja kan!"
"Ups, sepertinya aku ketahuan! Kumohon sekali lagi tidak ada kekerasan karena aku menyukai kedamaian. Jadi, bisakah kita memulai pembicaraannya?"
"Cepat dan lakukan itu," kata pria berambut abu-abu dengan suara rendah. Tidak seperti pria berambut cepak, dia tidak terlihat marah. Namun, suaranya terdengar sedikit mengancam.
"Baiklah." Hyou terlihat tersenyum lebar. "Aku akan melanjutkan pekerjaanku, oke?"
Langit menjadi perlahan menjadi lebih terang daripada beberapa menit yang lalu, dan berangsur-angsur menjadi semakin cerah. Waktunya bukanlah senja, tetapi, sebaliknya, ini adalah pagi hari. Malam berubah menjadi fajar.
"Untuk saat ini, ikutlah denganku. Atau, aku akan meninggalkan kalian..."
Hyou yang berjalan sambil mengayunkan tongkat disalah satu tangannya berjalan kearah mereka. Terdapat suatu jalan yang mengarahkan menara ini ke bawah bukit. Pada kedua sisi jalan terbuat dari tanah hitam hamparan rumput, dan pada padang rumput disekitar bukit, sejumlah besar batu putih bertebaran. Jumlah batu-batuan tersebut sangatlah banyak, dan seakan-akan disusun dengan suatu pola tertentu. Mungkin ada orang yang sengaja menempatkan batu-batu itu disana.
"Hei, apa itu..." Pria berambut berantakan menunjuk kearah batuan. "Apakah itu batu nisan?"
Pria itu mulai merinding. Si pria berambut berantakan benar juga, terlihat ada beberapa tulisan yang terpahat pada permukaan batu. Beberapa batu bahkan memiliki bunga yang ditempatkan didepannya. Kuburan. Apakah seluruh kawasan bukit ini merupakan sebuah pemakaman?
Hyou, berjalan ke depan kelompok, dia bahkan tidak menghiraukan pandangan pemakaman tersebut. Dia hanya berjalan ke depan sambil bersiul menyanyikan sesuatu.
"Mungkin saja. Siapa tahu. Tapi, jangan khawatir, dan tidak usah dipikirkan. Karena, belum waktunya kalian berada disana."
Pria berambut cepak mendecakkan lidahnya lagi pada pria yang tersenyum lebar yang kembali melanjutkan siulannya. Dia terlihat marah karena mendengarkan perkataan Hyou, tapi, tampaknya dia bersedia mengikuti Hyou kemanapun ia pergi. Pria berambut abu-abu terus mengikutinya, begitupun dengan pria berkacamata, gadis berpenampilan mencolok, dan juga gadis mungil.
Si pria tak-pernah-susah berteriak, "Oi! Oi! Aku juga ikut, aku juga ikut!" Dan dia pun mulai mengejar pria berambut abu-abu sambil terjatuh-jatuh.
Tidak banyak pilihan disini, tapi kemanakah Hyou mengarahkan mereka semua? Dimanakah ini? Pria itu mendesah dan mengalihkan pandangannya ke langit. "A.....pa...." Dia terperanga.
Apa itu tadi?
Bendar itu tergantung cukup rendah di langit, akan tetapi, itu bukanlah sebuah matahari. Itu terlalu besar untuk menjadi sebuah bintang, lagipula wujud benda itu semakin menyusut. Bentuknya mirip seperti setengah bulan ataupun bulan sabit. Mungkin benda itu adalah bulan. Tapi, jika itu bulan, harusnya tidak berbentuk seperti itu...
"... itu berwarna merah."
Pria itu berkedip beberapa kali dan melihat benda tersebut lagi dan lagi. Tidak peduli seberapa banyak dirinya melihat, warnanya jelas-jelas merah bagaikan batu Ruby. Di belakangnya, si gadis mungil-pemalu juga menyadarinya. Pria itu menoleh dan mendapati bahwa gadis itu juga menatap bulan yang terlihat aneh tersebut.
"Apa...." Si gadis berkepang tampaknya juga sudah menyadarinya. Dia berkedip beberapa kali lalu terkekeh-kekeh dengan pelan. "Oh wahai bulan yang besar, engkau sungguh kelihatan merah sekali. Sungguh sangat indah."
Pria berambut halus menatap bulan merah yang tergantung di langit fajar. Ekspresi wajahnya tampak takjub.
"Whoa," kata pria berambut berantakan dengan tatapan mata terbelalak.
Ada pria lain yang badannya terlalu besar, tapi tampaknya dia hanya bergumam dengan nada rendah dan santun. Pria itu tidak tahu dimanakah dia berada, dari manakah dirinya berasal, atau bagaimana bisa dia sampai disini. Dia tidak bisa mengingat apapun yang berhubungan dengan hal-hal tersebut. Tapi, ada satu hal yang benar-benar dirinya yakini, yaitu di tempat dirinya berasal bulan tidak terlihat merah seperti ini. Artinya, dia bukan berasal dari tempat ini.
Bulan yang merah itu sungguh.... Tidak wajar.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Novel Cinta dan Gairah 21+ ini berisi kumpulan cerpen romantis terdiri dari berbagai pengalaman romantis dari berbagai latar belakang profesi yang ada seperti ibu rumah tangga, mahasiswa, CEO, kuli bangunan, manager, para suami dan lain-lain .Semua cerpen romantis yang ada pada novel ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga bisa sangat memuaskan fantasi para pembacanya. Selamat membaca dan selamat menikmati!