/0/6214/coverbig.jpg?v=e7964c940b9a30f19f7aef8a42f2e32c)
Mafayzah adalah gadis istimewa yang mampu menempati kriteria gadis idaman di hati Gus Iqbal. Akan tetapi, rasa cinta dan kepercayaan Gus Iqbal seolah terpecah ketika mengetahui bahwa Mafayzah dengan tega menduakannya. Sejak saat itu, Gus Iqbal begitu sulit untuk membuka hati. Namun dengan berjalannya waktu, Neng Lia telah berhasil mengetuk hati Gus Iqbal dengan perangainya yang penuh ketaatan.
POV; Neng Lia
Kami mendengar suara kencang yang berada di utara parkiran, namun suara itu terdengar samar.
"Tolong!!!!!!!!!"
Keadaan disekitar kami yang begitu hening, semakin menguak jeritan itu.
Kami berdua mulai mengambil langkah untuk mendekat.
Semakin mendekat suara itu, terdengar seperti terbungkam oleh sesusatu.
Apa yang terjadi?
Syahna mengambil langkah mundur.
Namun yang terjadi pada diriku justru berbanding seratus oersen dengan yang dilakukan Syahna.
Aku malah semakin melangkah maju, maju dan terus maju.
Aku lihat, gerbang utama yang disana mulai tertutup. Hanya tertinggal gerbang didekatku ini yang terbuka.
Suara teriakan gadis, namun suara itu mengarah ke arah gudang tua yang sudah dikosongkan Madrasah saat aku lulus dibeberapa tahun lalu.
Merinding menerkamku, selimut keberanianku semakin menipis.
Mataku terbelalak ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.
Badanku gemetaran yang mana tidak mampu disembunyikan lagi.
Haruskah aku membuka pintu yang berada didepanku ini yang tertutup namun masih ada cela yang terbuka?
"Syahna ... Ayo!!!!!!!!"
Aku membisik dari kejauhan.
Syahna malahan mengambil langkah semakin ke belakang.
Sementara aku mulai memegang daun pintu yang tertutup itu.
Ribuan dzikir kulantunkan, lalu terbukalah pintu itu.
"Astaghfirullah ...." aku bergumam lirih.
Ke dua mataku seketika terbelalak, melihat gadis yang pakaiannya hampir hancur keseluruhan.
Hijab pasmina yang acak-acakkan.
Mulut kecilnya terbungkam dengan solasi hitam yang besar. Badannya bagai lemah tanpa daya dan matanya memerah sembab sementara wajahnya memucat.
Gadis itu terbaring dengan lemah. Bersandar didekat kursi kayu yang kotor.
Aku mulai mendekat padanya, disini cukup gelap tanpa pelita lampu.
Hanya ada sinar mentari pagi yang masuk melalui celah-celah atap, yang terlapisi genteng kaca putih.
Ya allah, gadis itu menujukan benar-benar ketakutan, apa dia sedang disekap seseorang. Namun siapa? Siapa juga yang tega melakukan ini?
Aku mendekat dan semakin mendekat.
Ku lihat pintu dibelakangku masih terbuka lebar sehabis aku buka keseluruhan.
Disini tidak ada suara, melainkan suara nafas gadis ini yang semakin kencang saat aku mulai mendekati dan melepaskan ikatan tangannya.
"Ada apa denganmu, Dik?"
Aku memanggilnya adik. Meski Ia bukan adikku yang sesungguhnya.
Dia hanya gadis biasa pada umumnya.
Solasi hitam yang menutupi mulut kecilnya itu aku tarik, setelah beberapa raungan ketakutan yang keluar begitu saja dari mulutnya.
Aku tidak tahu apa yang dia katakan sebelum aku melepas solasi hitam itu.
"Mbak ... belakang, Mbak!!!!"
Aku menatap arah belakangku. Padahal aku belum seleseai melepas ikatan kakinya.
"Ya allah ...."
Aku bergeser cepat ke arah kiriku.
Ya tuhan, siapa pria in? Aku tercengang melihatnya.
Wajahnya seperti orang yang benar-benar tidak mengenal ajaran islam.
Tubuhnya bagai menujukan bahwa dia bukan pria baik-baik. Namun, kenapa bisa dimadrasah ini?
Aku binging harus mengarah mana, aku terus bergeser saat pria itu mencoba memegang tanganku.
Tangannya memang kosong, tidak membawa benda tajam, tidak membawa juga benda yang menakutkan.
"Allahu akbar ...."
Aku melempar segala apa yang ada disamping kananku.
Buku-buku tebal itu aku lempar, namun pria itu sering menangkis.
Ya tuhan, aku kenapa bisa berada diruangan ini? Kalau aku sebelumnya tau, ini ruangan yang tidak baik. Maka aku mungkin tidak akan pernah memasukinya.
Sandal pemberian papi kulempar ke arah wajahnya.
Namun pria itu malah makin mendekat dan ingin memegangku dengan tangan kotornya.
Namun aku tidak akan putus asa untuk slalu menangkisnya.
"Mbak ... cepat lari!!!!!!"
Gadis itu melempar empat buku tebal ke atas kepala pria itu, sehingga pria itu mengalami pusing tujuh kali lipat dari sebelumnya.
Aku terbangun,
Kulirik sejenak gadis dibelakangku dengan mataku yang mulai berkaca-kaca.
Serasa dihati aku tidak ingin meninggalkan gadis itu, namun bagaimana lagi? Kalau aku tetap disini habislah aku!
Lalu aku berlari dan terus berlari.
Pintu gudang aku tutup spontan, hingga keluarlah suara keras.
Semoga adik yang tadi ada dalam lindunganmu
"Tolong-tolong-tolong ... tolong-tolong!!!!!"
Sempat ku lirik Syahna, dia begitu sibuk ikut membantu berteriak keras ke arah ruangan yang ada didepannya.
Aku mulai mendengar suara dobrakan keras pintu gudang yang sempat aku tutup sebelum aku keluar.
Pria itu keluar, dan kulihat selisih lima belas langkah dariku.
Jauh dari sana, sekitar lima hingga tujuh karyawan guru berlari mengejar lelaki itu.
Ya tuhan selamatkan aku!
***
POV: Syahna
"Kamu anak mana nak?"
Ada seorang guru yang menghampiriku, sementara aku masih dirundung kecemasan.
Apakah marwah baik-baik saja?
Kalau saja Marwah tidak pergi ke gudang itu, mungkin tidak akan terjadi seperti ini.
"Saya anak MAN, Bu ...."
"Temanmu tadi ceritanya bagaimana? Kok sampai ke gudang gitu?"
Ibu guru berkacamata ini, menayaiku setelah menyuruhku duduk disampingnya.
"Tadi itu Marwah sama saya mendengar teriakan dari arah gudang, jadi Marwah ingin tahu suara itu, hingga masuk ke gudang!"
"Kamu tadi tidak ikut nemenin, waktu Marwahnya nglihat gudang?"
"Tidak berani, Bu ... jadi saya memilih diam di tempat, saat itu Marwah sudah masuk ke gudang, Bu!"
"Terus tadi waktu Marwah teriak minta tolong itu waktu sudah masuk apa habis keluar dari gudang?"
"Ya habis keluar dari gudang bu, terus saya juga iku teriak minta tolong di depan kantor ibu tadi!"
"Kok bisa ada kejadian seperti ini, kami guru karyawan madrasah sudah lama nggak ngatur gudang, semenjak gudang itu kami jadikan tempat penempatan buku perpustakaan yang sudah tidak muat ditaruh di laboratorium kimia"
"Oh gitu bu?"
***
POV; Neng Lia
Kakiku bagai tidak kuat lagi, namun lariku bertambah semakin kencang.
Aku tidak tahu arah tujuanku berlari, hingga aku melihat suatu gang.
Akupun masuk kedalam gang itu, meski aku tidak tau, itu gang mengarah kemana?
Aku kali ini hanya tahu, Jalanan ini begitu asing, tidak pernah aku kenal sebelumnya. Tidak pernah pula aku lewati, tidak pernah pula aku menginjak gang ini sebelumnya.
Jalanan ini kenapa begitu sepi? Tidak ada rumah-rumah yang bersinggah.
Namun agak jauh dari sana, kulihat pesisir laut merah yang luas. Dengan ombak yang menggulung legam.
"Tolong ... tolong!!!!!!"
Kecemasanku merajalela. Kekhawatiranku bertahta lebih tinggi dari sebelumnya.
Pria itu kenapa terus mengejarku? Apa salahku?
Aku berlari tanpa berhenti memperhatikan belakang. Hingga aku lupa memerhatikan depan.
"Brak, tiiiiiiiiiiin!"
Aku menabrak sesuatu yang keras, dan sesuatu itu barusan saja berhenti sedetik yang lalu. Dan mengeluarkan deruh suara yang keras merambat ketelingaku.
Aku berhenti.
Aku terengah-engah, menatap pemilik motor itu dengan kegagapan yang berkuasa disanding tanganku yang tidaklah sengaja hinggap dipunggung tangan kananya yang lekas mengerim motornya.
"Tolonglah aku!"
***
POV; Gus iqbal
"Ya allah ....
Klakson motorku tadinya tidak sengaja kepencet, hingga memunculkan suara yang keras digang ini.
Aku tidak tahu apa yang dilakukan gadis ini, tapi dari wajahnya sepertinya sempat kaget.
Gadis ini siapa? hampir saja aku tabrak.
Kulihat wajahnya begitu pucat pasi, penuh dalam ambang kecemasan.
Fana adalah gadis yang harus menjalani hidup menyedihkan di umur ke 18 tahunnya karena kebakaran yang membuat orang tuanya harus meninggal dunia. Luka yang amat pedih masih belum usai, malah ditambah dengan bibi dan anak pamannya yang amat membecinya. Karena alasan itulah, Fana memutuskan untuk menjadi pembantu sekaligus perawat tetap untuk Nyonya Lili sang ibunda Tuan muda yang kaya raya tetapi dingin dan berwatak keras. Apakah Fana akan tetap bisa bertahan menjalani hidup sebagai pembantu sekaligus perawat Nyonya Lili?
Sayup-sayup terdengar suara bu ustadzah, aku terkaget bu ustazah langsung membuka gamisnya terlihat beha dan cd hitam yang ia kenakan.. Aku benar-benar terpana seorang ustazah membuka gamisnya dihadapanku, aku tak bisa berkata-kata, kemudian beliau membuka kaitan behanya lepas lah gundukan gunung kemabr yang kira-kira ku taksir berukuran 36B nan indah.. Meski sudah menyusui anak tetap saja kencang dan tidak kendur gunung kemabar ustazah. Ketika ustadzah ingin membuka celana dalam yg ia gunakan….. Hari smakin hari aku semakin mengagumi sosok ustadzah ika.. Entah apa yang merasuki jiwaku, ustadzah ika semakin terlihat cantik dan menarik. Sering aku berhayal membayangkan tubuh molek dibalik gamis panjang hijab syar'i nan lebar ustadzah ika. Terkadang itu slalu mengganggu tidur malamku. Disaat aku tertidur…..
"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Keramat. Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia. Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku...
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.
"Tolong hisap ASI saya pak, saya tidak kuat lagi!" Pinta Jenara Atmisly kala seragamnya basah karena air susunya keluar. •••• Jenara Atmisly, siswi dengan prestasi tinggi yang memiliki sedikit gangguan karena kelebihan hormon galaktorea. Ia bisa mengeluarkan ASI meski belum menikah apalagi memiliki seorang bayi. Namun dengan ketidaksengajaan yang terjadi di ruang guru, menimbulkan cinta rumit antara dirinya dengan gurunya.