Pria itu, tanpa babibu, menggendong Nana dengan cepat menjuju ruang khusus para tamu yang ingin berolahraga ranjang. Memuaskan hasratnya yang naik karena godaan Nana, sang kupu-kupu malam. Itulah Jakarta dan kehidupan malamnya.
***
Suara tabuhan genjring dan lantunan selawat terdengar semarak di aula pesantren Nurul Hikmah. Pesantren yang memiliki lebih dari dua ribu santri itu memang mengadakan selawat bersama setiap malam selasa. Fauzi memandang dari jauh di mana santri putra dan santri putri berada dalam dua kerumunan. Kerumunan itu terpisah oleh satir hijau yang membentang dari mimbar hingga ke pintu.
"Santri Abah semangat sekali kalau sedang berselawat. Kalau mengaji kitab gundul saja, pada ngantuk semua," kelakar Fauzi sembari memijit pundak Kiai Anwar, ayahnya.
Kiai Anwar terkekeh pelan, kemudian berkata, "Loh, jangan salah, tidak lihat kalau Ustaz Fahri sedang ngaos Fathul Izzar?"
"Kalau itu jangan ditanya." Ganti Fauzi yang terkekeh.
"Lagi ngomongin apa, kok, sepertinya seru sekali." Seorang wanita berpakaian syar'i datang sembari membawa dua teh dalam cangkir kecil. "Ini tadi Umi dapat kue bolu dari Isma, dia sudah balik ke sini."
"Lagi ngomongin santriwan dan santriwati Umi, semangat sekali berselawat," ujar Fauzi sembari mengambil teh untuk Kiai Anwar."Mau bolunya, Bah?"
"Tidak usah, Abah masih kenyang." Kiai Anwar mengelus perutnya sembari tersenyum simpul.
"Ya, sudah dilanjutin, Umi masuk lagi, ya."
"Nggih, Umi. Terima kasih teh dan bolunya," ujar Fauzi takzim.
Fauzi dan Kiai Anwar terdiam. Dari teras Dalem, mereka melihat santriwan dan santriwati bubar setelah sholawat selesai. Sebentar lagi adzan isya' akan dikumandangkan oleh salah satu santri putra yang piket.
"Kamu jadi imam, ya? Abah mau salat di rumah. Nanti kamu mengajar?" tanya Kiai Anwar.
"Sendika dawuh, Abah. Nanti Fauzi mengajar Nashoihul Ibad." Fauzi membuka kunci kursi roda kiai Anwar dan membawanya masuk ke Dalem.
Kiai Anwar terpeleset ketika selesai mengimami salat zuhur, sehingga patah tulang kaki dan harus memakai kursi roda sampai tulangnya kembali tersambung.
"Nanti setelah mengajar, langsung pulang dulu, ya? Abah sama Umi mau bilang sesuatu," pinta Kyai Anwar setelah sampai di kamar.
Fauzi mengerutkan kening. tidak biasanya ia disuruh pulang, sebab ia selalu tidur bersama para guru mondok. Ustadz Pengajar yang dulunya santri dan sekarang mengabdi.
Meski tidak tahu mengapa, Fauzi tetap mengiyakan. kepatuhan, baginya adalah salah satu cara memuliakan Abah dan Uminya.
Fauzi berdiri di mihrab dan bersiap untuk menjadi imam salat isya'. Sebelumnya, Fauzi membaca surah An-nas sembari menunggu makmum merapikan saf salat. Setelah selesai Fauzi menoleh ke jamaah di belakangnya untuk memastikan saf sudah rapi. Kemudian, mulailah Fauzi melafalkan niat salat dan mengumandangkan takbir sembari mengangkat kedua tangannya, dalam hati melafalkan niat salat dengan bahasa keseharian.
Usai salat, Fauzi memimpin zikir dan doa. kemudian, satu per satu santri putra maju untuk menyalaminya.Fauzi baru keluar dari mihrab ketika salah satu santri putra mendatanginya.
"Gus, kelasnya Ustazah Ningrum kosong, beliau sakit," ujar santri itu sembari memperlihatkan jadwal.
"Oh, tajwid. minta salah satu santri hafizah yang sudah selesai murojaah untuk menggantikan, ya." Santri itu mengangguk dan berlalu pergi. Di pesantren Nurul Hikmah, tajwid memang sangat ditekankan terlebih dahulu untuk dikuasai sebelum memutuskan untuk menghafal Al-Quran. Sehingga, sudah pasti para hafizah paham dengan tajwid. lagi pula, tadi Fauzi melihat kalau materinya masih seputar makhorijul huruf.
Fauzi sampai pada kelasnya, ia melihat sekitar lima puluh santri putra dan delapan puluh santri putri sudah duduk dengan rapi di tempatnya masing-masing.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Fauzi memberi salam sembari memasuki kelas.
Para santri putra dan putri serentak menjawab salam. Kemudian, santri putri menunduk takzim ketika Fauzi lewat di depan mereka dan kembali seperti biasa setelah Fauzi sampai di mimbar.
"Uti, kamu lihat Gus Fauzi, beliau tampan sekali," bisik salah satu santri putri pada temannya.
"Hus, dijaga matanya, Zulfa. Satu pesantren juga tahu kalau Gus Fauzi itu tampan," balas Uti sembari tersenyum, pipinya memanas karena malu.
"Hei, aku,kan, hanya bilang saja. Siapa yang menatapnya dengan penuh damba? kau yang seperti itu bukannya?" ejek Zulfa. Ia tahu sekali kalau temannya itu sangat hobi memandang gus mereka.
Uti hanya mengangkat bahunya acuh. Siapa, sih, yang tidak suka memperhatikan Gus mereka yang tampan itu. Sudah tampan, baik, tidak sombong, ramah pula. Ditambah lagi seorang hafiz dan menguasai beberapa kitab. Semacam oasis di tengah gurun. Maksudnya, sudah jarang ditemukan di zaman seperti ini.
Kalau diingat lagi, Uti bahkan pernah nyantri di pesantren yang ternyata putra dari Kiainya melakukan transgender. Uti akhirnya meminta pindah dan ketemulah dia dengan pesantren Nurul Hikmah, pesantren tempat di mana kakaknya pernah nyantri.
"Tapi, Uti, kita harus tahu diri, mana mau Gus Fauzi menikah dengan santri biasa macam kita. Jangankan menikah, Gus Fauzi tahu nama kita saja tidak mungkin," kekeh Zulfa yang diangguki Uti. Bagi mereka sangat mustahil bisa menjadi istri Gus Fauzi.
"Eh, eh, ada Mbak Isma!" pekik Uti sembari menolehkan Zulfa ke depan. Isma tampak berbicara sesuatu dengan Gus Fauzi kemudian keluar lagi.
"Saya tinggal sebentar, ya?" pamit Fauzi sembari mengikuti Isma keluar.
kelas menjadi riuh. bisik-bisik mengenai hubungan Isma dan Fauzi mulai terdengar. Isma itu merupakan santri putri yang dekat sekali dengan Umi Hanifah, uminya Fauzi. Isma sudah khatam Al-Quran dua tahun lalu dan menyelesaikan kuliah pula satu tahun lalu. Dari kabar yang beredar, Isma di gadang-gadang akan mengabdi di pesantren.Serta ada rumor yang mengatakan Isma akan dijodohkan dengan Gus Fauzi saking sukanya Umi Hanifah dengan Isma.
"Seriuskah kalau Mbak Isma akan dijodohkan dengan Gus Fauzi?" tanya Zulfa pada Uti penasaran. Zulfa mendengar itu beberapa kali dari teman dan senior pondoknya.
"Tidak tahu, lah. Lagipula Gus Fauzi terlihat biasa-biasa saja kalau bertemu Mbak Isma. Kalau menurut Uti, Ustadzah Hanifah yang suka sama Mbak Isma, sedangkan Gus Fauzi tidak." Uti memberikan pendapatnya.