/0/7751/coverbig.jpg?v=65b95a5604354eb100f8681a7eec7a1d)
Gabriella adalah seorang gadis polos yang malang. Ia hidup sebatang kara di rumah peninggalan orang tuanya. Hingga suatu ketika, rumah itu dihancurkan oleh Perusahaan Quebracha. Saat menemui sang CEO untuk melancarkan protes, sebuah pun insiden terjadi. "Dasar laki-laki bejat! Belum cukup kau menghancurkan rumahku, sekarang kau merampas harga diriku?" "Mengakulah! Kau sengaja menahan rumahmu agar proyek kami terhambat, lalu sekarang kau menjebakku agar menidurimu. Apa tujuanmu sebenarnya, hah? Siapa yang membayarmu?" Max Evans, CEO muda yang sukses dan tampan itu malah menuduhnya sebagai perempuan bayaran. Apa yang terjadi selanjutnya? Mampukah Gabriella mendapatkan kepercayaan sang CEO? Atau bahkan hati dan cintanya? Akankah dua orang itu sadar bahwa mereka sama-sama dijebak? IG: @pixielifeagency
Pernahkah kalian merasa lelah dalam menjalani hidup?
Setiap hari, beban di atas pundak terasa semakin berat. Walau begitu, kaki harus tetap melangkah karena waktu tak memberi ampun pada siapa pun yang lemah.
Itulah yang dirasakan oleh seorang gadis di dalam rumah kecilnya. Setiap kali bunyi reruntuhan bangunan terdengar mendekat, ia akan menekan tuts piano dengan lebih bersemangat.
Ketika kegaduhan itu terdengar lebih kencang, ia memutar tombol pengatur volume hingga hampir maksimal. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu menghentikan permainan piano gadis itu, kecuali bunyi bel untuk yang kelima kalinya.
"Aaargh! Siapa lagi itu? Kapan mereka akan berhenti menggangguku?"
Dengan langkah berat dan cepat, ia menghampiri pintu.
"Ada apa?" tanyanya garang.
Sosok berwajah tampan di luar pintu pun mengerjap. Namun, sedetik kemudian, senyum manis pria itu melengkung sempurna.
"Selamat siang, Nona Gabriella," sapanya ramah.
Sang gadis mengerutkan alis mengamati pria asing yang mencurigakan itu.
Rambut hitam yang tertata rapi, kemeja putih panjang di tengah hari yang terik, dan sepatu pantofel mengilap di ujung kaki. Tidak salah lagi. Pria itu pasti karyawan Quebracha Company yang diutus untuk meluluhkan hati Gabriella.
"Apakah mereka pikir, keputusanku bisa diubah karena seorang laki-laki tampan? Cih, pemikiran yang dangkal sekali," batin sang gadis dengan sebelah sudut bibir berkedut samar.
"Kalau Anda ingin membujuk saya untuk menjual rumah ini, maaf ... saya tetap tidak tertarik. Tolong katakan kepada atasan Anda untuk berhenti mengganggu saya dan rumah ini. Kalian hanya akan menghabiskan waktu dan energi." Gadis itu menarik pintu tanpa basa-basi.
Sang pria spontan menahan pintu dengan lengannya yang kekar. Mata si tuan rumah pun terbelalak menyaksikan keberanian yang tak terduga itu.
"Apa?" tanya sang gadis sambil menekan pintu agar tidak terbuka lebih lebar. Ia takut jika si orang asing memaksa masuk ke rumahnya.
"Kedatangan saya ke sini bukan untuk itu." Senyum manis kembali diperlihatkan meski hanya lewat celah sempit.
"Lalu, apa?" Gabriella mengerutkan alis mengisyaratkan bahwa dirinya risih.
"Karena Anda menolak untuk menjual rumah ini, perusahaan kami ingin bernegosiasi."
"Bernegosiasi? Apa bedanya dengan membujuk?"
"Tentu saja berbeda. Karena itu, mohon izinkan saya masuk dan menjelaskannya secara rinci."
Sang gadis menggigit bibir bawahnya dan melayangkan tatapan sinis. Akan tetapi, laki-laki di hadapannya sama sekali tidak mengubah ekspresi. "Anda benar-benar ingin masuk ke rumah ini?" tanya Gabriella seperti menguji nyali.
"Ya," angguk sang pria tanpa sedikit pun nada khawatir.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, si tuan rumah menghela napas samar dan mengangguk kecil. "Baiklah, silakan masuk." Pintu akhirnya dibuka.
"Terima kasih," ucap pria tampan itu masih dengan lengkung bibir yang manis. Bahkan sampai ia duduk di sofa pun, keramahannya tetap berseri.
"Silakan diminum," tutur Gabriella sambil meletakkan secangkir kopi dan segelas air. Sudut bibirnya kini ikut naik.
"Terima kasih, Nona. Perkenalkan, saya Max dari Quebracha Company."
"Ya, saya sudah tahu," sela Gabriella dengan bibir mengerucut.
"Sudah tahu?" Pria itu mengangkat kedua alisnya.
Sang gadis mengangguk yakin. "Ya ..., siapa lagi yang tega mengganggu kedamaian hidupku kalau bukan karyawan dari perusahaan Quebracha?"
Raut tegang sang pria sontak berubah kembali manis. "Oh, baiklah. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda."
Gabriella hanya mengangkat bahu singkat.
"Sebelum saya mulai menjelaskan, saya ingin memastikan. Apakah Anda yakin tetap tidak ingin menjual rumah ini meski ditawari harga empat kali lipat?"
Sang gadis menarik napas panjang dan menjawab, "Ya."
"Apakah Anda yakin tetap nyaman tinggal di rumah ini jika proyek perusahaan kami sudah berjalan?"
"Ya."
"Meski gedung-gedung tinggi mengelilingi rumah Anda?"
Gabriella pun tertunduk dan menjepit pangkal hidungnya. "Bukankah maksud Anda datang ke sini bukan untuk membujuk saya?" protesnya dengan nada malas.
"Ya, memang. Saya hanya ingin memastikan," terang Max dengan nada santai. Selang satu kedipan, ia meletakkan sebuah map di atas meja. "Kalau begitu, Anda pasti tidak keberatan menandatangani surat ini."
Dengan alis berkerut, Gabriella membaca dokumen tersebut. "Surat pernyataan?"
"Bahwa Anda tidak keberatan jika proyek kami tetap dilancarkan. Anda tidak akan membuat protes ataupun laporan kepada media."
Tanpa sadar, sang gadis menggertakkan rahang. "Jadi, kalian benar-benar tega mengubah lingkungan ini menjadi perkotaan?" gumamnya dengan suara bergetar.
"Kami tidak akan menyentuh rumah Anda, termasuk pekarangan dan pagarnya. Kami hanya akan membangun pada jarak aman."
Tiba-tiba, Gabriella mendengus dan tertunduk.
"Dari mana saya tahu kalian tidak akan mengusik rumah ini? Poin-poin yang Anda sebutkan tadi tidak tertulis dalam surat ini. Perusahaan Anda bisa saja melakukan kecurangan."
"Kecurangan seperti apa yang Anda maksud?"
Telunjuk sang gadis mendadak teracung.
"Tunggu sebentar. Saya tuliskan poin-poin yang harus perusahaan Anda penuhi. Silakan nikmati kopi ini selagi menunggu." Tanpa membuang waktu, Gabriella masuk ke sebuah pintu.
Seperginya si tuan rumah, mata sang pria mulai leluasa menjelajah. Semua potret yang tergantung di dinding diamati dengan saksama. Begitu pula dengan piala yang terpajang pada rak kaca di sudut ruangan. Embusan napas sinis spontan keluar dari mulutnya.
"Siapa sebenarnya perempuan ini?"
Max lanjut mengamati piano yang mengintip di ruangan sebelah. Pengamatannya baru berhenti ketika ponsel dalam sakunya bergetar.
"Bagaimana, Tuan CEO? Apakah Anda masih tidak percaya bahwa perempuan itu memang unik?" Max tersenyum miring begitu membaca pesan dari sekretaris pribadinya.
"Cih, unik apanya? Justru aku semakin curiga kalau perempuan ini disuap oleh pesaing bisnis kita," balas sang CEO tanpa perlu berpikir dua kali.
"Lalu, apakah benar bahwa perempuan itu cantik sekali? Kudengar, Gabriella itu sangat memesona. Dia seperti bidadari yang turun dari khayangan."
Helaan napas langsung keluar dari mulut Max. "Hm? Memesona?" gumamnya sembari melihat kembali foto Gabriella kecil yang diapit oleh kedua orang tuanya.
"Tidak sama sekali," desah pria itu seraya meraih cangkir.
Begitu kopi hangat masuk ke mulutnya, mata pria itu nyaris melompat keluar. Sedetik kemudian, cairan hitam yang seharusnya ditelan malah dituang kembali ke wadahnya.
"Astaga! Kenapa pedas sekali?"
Tanpa ragu, sang CEO mengambil gelas yang satu lagi. Belum sempat air membasahi kerongkongannya, bunyi semburan air sudah terdengar. "Huek .... Asin sekali!"
Sambil mengelap bibir dan dagunya dengan sapu tangan, pria itu celingak-celinguk mencari dapur.
"Aku butuh air. Aku butuh air!" batinnya sambil bernapas lewat mulut yang menganga. Malangnya, semua pintu yang ia tuju terkunci rapat. Kedongkolan seketika meroket merobohkan kesabaran. Ia sadar bahwa dirinya sudah masuk perangkap.
"Perempuan itu ... beraninya dia mempermainkanku." Dengan tangan terkepal erat, Max mengetuk pintu kamar Gabriella.
Julian Evans adalah salah satu CEO terbaik di dunia, pemuda kaya nan tampan yang terkenal romantis. Siapa yang berani menolak pria sehebat itu kalau bukan sekretarisnya sendiri? Tak peduli seberapa besar perjuangan pria itu mengejarnya, sang gadis tetap menutup hati, walau di dalamnya ada cinta yang berbalas. Mia Sanders hanyalah anak sopir dan pelayan keluarga Evans yang dididik untuk menjadi sekretaris andal. Tujuan hidupnya adalah membahagiakan orang tua dan membalas budi baik keluarga Evans. Karena itulah, ia tidak berani membantah. Hubungannya dengan Julian Evans memang sebuah petaka yang harus dihindari. “Saya heran kenapa Anda bersikeras memercayai hal yang tidak nyata. Cinta di antara kita hanyalah angan-angan.” “Kalau begitu, beri aku tantangan. Jika aku bisa menyelesaikannya, kuharap tidak ada lagi keraguan dalam hatimu. Aku memang serius mencintaimu dan rela melakukan apa saja demi bisa hidup bersamamu.” Apa yang terjadi selanjutnya? Mampukah Julian meluluhkan hati sang sekretaris dan meyakinkannya bahwa cinta mereka layak diperjuangkan?
Amber Lim terkenal akan gaya hidup yang mewah dan kecantikan yang memukau. Namun sayang, perempuan itu juga dikenal sebagai perusak hubungan orang alias pelakor internasional. Menyesali sikap buruknya, ia pun bertekad untuk memulai hidup baru. Tanpa memedulikan musim dingin ekstrem yang sedang berlangsung, Amber pergi ke utara untuk berguru dengan Adam Smith, desainer perhiasan terbaik dunia yang misterius. Malangnya, di tengah perjalanan, Amber dirampok dan ditinggalkan di sebuah hutan. Hanya ada sebuah pondok kecil yang dapat menyelamatkannya dari beku, dan hanya ada satu orang yang dapat membantunya bertahan hidup—Tuan Dingin. Tidak ada yang tahu nama asli Tuan Dingin. Ia sengaja hidup menyendiri dan sangat tidak suka diganggu. Penduduk desa terdekat bahkan memanggilnya kanibal karena minimnya rasa kemanusiaan dalam diri pria itu. Padahal sesungguhnya, Tuan Dingin hanyalah seorang duda yang sangat membenci wanita, apalagi pelakor. Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya? Mampukah Amber menaklukkan Tuan Dingin dan pulang dengan selamat? Atau justru ... berakhir menjadi santapan lezat sang duda?
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
Maya dan Adrian, serta sahabat mereka Sinta dan Rizky, tampaknya memiliki segalanya: karier yang sukses, rumah yang nyaman, dan kehidupan sosial yang aktif. Namun, di balik fasad kebahagiaan mereka, hubungan mereka masing-masing mengalami ketegangan dan kekosongan yang menyedihkan. Suatu malam, dalam upaya untuk menyegarkan hubungan mereka yang hambar, Maya dan Sinta memutuskan untuk mengusulkan sesuatu yang ekstrem: "fantasi tukar pasangan ranjang." Awalnya, ide ini tampak gila dan di luar batas kenyamanan mereka. Namun, dengan dorongan dan desakan dari pasangan mereka, Maya dan Adrian, serta Sinta dan Rizky, setuju untuk mencoba. Ketika fantasi tersebut menjadi kenyataan, keempatnya merasakan perasaan canggung, kebingungan, dan kecemasan yang tak terduga. Namun, dalam perjalanan mereka melalui pengalaman ini, mereka mulai menggali lebih dalam tentang hubungan mereka, mengungkapkan kebutuhan dan keinginan yang mungkin terlupakan, serta menyembuhkan luka-luka yang telah terbuka dalam pernikahan mereka. Dalam prosesnya, mereka menghadapi konflik, kecemburuan, dan ketidakpastian yang tidak terelakkan. Namun, mereka juga menemukan keintiman yang lebih dalam, pemahaman yang lebih besar tentang satu sama lain, dan kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang hampir putus asa. Novel "Fantasi Tukar Pasangan Ranjang" menawarkan pandangan yang tajam tentang kompleksitas hubungan manusia, dengan sentuhan humor, kehangatan, dan kisah cinta yang penuh dengan emosi. Di tengah fantasi yang menggoda, mereka menemukan keberanian untuk menghadapi kenyataan, menerima kekurangan masing-masing, dan membangun kembali fondasi cinta mereka dengan cara yang lebih kuat dan lebih tulus.
Cerita ini khusus 21+, karena terdapat adegan panas. Cerita ini di mulai ketika Fahrizal masih berumur 13 tahun, tapi dia sudah bisa menunjukkan kelebihannya di atas ranjang.
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono