/0/7843/coverbig.jpg?v=fd5abd8393c59ee69f53adb1cf5258c0)
Agnesia Putri Hutama, aktris cantik papan atas yang terpaksa harus meninggalkan karirnya untuk sementara demi menyelesaikan studi sarjananya. Dalam proses menyelesaikan masa studinya, takdir membuat Agnes melibatkan diri dengan seorang dosen muda tampan yang sangat membenci profesinya, Kevin. Lalu, bagaimana jadinya jika karena suatu keadaan, mereka harus hidup dalam satu atap dan tinggal bersama?
"Morning, Mom! Wah, masak apa ini?" Agnes segera melangkahkan kaki menuju meja makan, mendekati ibunya yang tengah menyiapkan sarapan. Dia sudah siap berangkat ke tempat kerjanya hanya dengan dress panjang garis dipadu dengan sneakers putih hadiah dari kakak laki-lakinya saat ulang tahun kemarin.
"Mama masak sop merah kesukaan kamu. Makan dulu, yuk!" ajak ibunya, Clarice namanya. Clarice kemudian menarik kursi untuk putrinya tetapi Agnes harus segera berangkat karena sudah hampir terlambat.
"Maaf, Mom. Tapi, adek kayaknya nggak bisa ikut sarapan kali ini. Sudah telat banget, jadi adek harus berangkat sekarang," keluh Agnes, sembari melirik Michelle –manajernya- yang tengah sibuk dengan ponsel miliknya.
"Sarapan nggak habisin waktu lama, Dek," sahut Clarice. Agnes menghela napas berat, pasti akan sulit membujuk ibunya karena sarapan memang ritual wajib di keluarga itu.
Jika bukan sarapan, tidak ada waktu lain untuk bisa berkumpul karena anggota keluarga mereka terlalu sibuk dengan urusan masing – masing.
"Lain kali, ya, Mom. Sorry. Adek berangkat dulu, bye!" Agnes mencium pipi kiri dan kanan ibunya lalu melangkah keluar dari rumah sebelum suara berat seseorang menghentikannya.
"Mau ke mana, Dek?"
Agnes menoleh, menyipitkan mata untuk memastikan penglihatan. "Papa sudah pulang dari Shanghai?" Agnes bertanya dengan nada heran, menghampiri ayahnya dan mencium punggung tangannya. Sekalipun keluarga ini kaya raya, sopan santun dan tata krama masih sangat dijunjung tinggi, apalagi ayahnya juga asli orang jawa.
"Kamu ada jadwal pagi ini?"
Agnes mengangguk dengan senyuman tipis, alisnya sedikit naik saat melihat perubahan ekspresi wajah ayahnya berubah serius.
"Papa mau bicara sama kamu sebentar, bisa, 'kan?" Ingin hati berkata tidak, tetapi tidak mungkin. Sama saja dengan membangunkan singa tidur kalau tidak menuruti kemauan ayahnya.
Tanpa menjawab, Agnes lalu menarik kursi untuk duduk. Gunawan, ayah Agnes lalu berdehem, membuat gadis itu semakin gugup dan penasaran tentang apa yang ingin ayahnya bicarakan. "Papa dengar kamu mengambil cuti kuliah satu tahun, kenapa?"
Agnes tertegun mendengar pertanyaan ayahnya. Padahal dia baru saja mengajukan formulir cuti itu kemarin sore sebelum syuting iklan. Belum juga disetujui, tetapi Gunawan sudah mengetahuinya.
"Dek, kok diam? Jawab pertanyaan papa." Suara Gunawan berubah menjadi sedikit menyeramkan di telinga Agnes.
Sebenarnya, Agnes sendiri takut untuk bicara jujur, takut ayahnya tidak akan mengijinkan, terlebih lagi dia sudah memasuki semester akhir kuliah. Hanya tinggal skripsi saja.
"Iya, Pa." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Agnes. Menundukkan kepala dan memainkan tangan di bawah sana.
"Alasannya?"
Diam. Tidak ada jawaban dari gadis itu.
"Agnes."
Kepala Agnes otomatis terangkat sebelum Gunawan semakin marah, karena jika ayahnya sudah memanggil dengan nama dan bukan dengan panggilan "Dek" itu artinya pria paru baya itu mulai tersulut emosi.
"Hmm ... itu, Pa." Kan, Agnes mendadak berubah menjadi orang gagu, bicara saja tidak becus.
"Jangan bilang, kamu mengambil cuti demi karir keartisan kamu yang tidak penting itu?"
Tanpa sengaja Agnes terpancing emosi saat kata "tidak penting" itu keluar dari mulut ayahnya. Tidak penting katanya? Ck. Tahu apa Papa tentang profesi gue selama ini? Batin Agnes tidak terima.
"Pa, kita sarapan dulu aja, yuk!" Clarice hadir di tengah pembicaraan mereka, dia sengaja melakukan itu untuk mencairkan suasana yang mulai menegang.
"Papa sedang bicara dengan Agnes, Ma," tegas Gunawan, seakan tidak ingin disela atau dibantah.
"Tapi, Pa –"
"Mom, it's okay." Dengan sengaja Agnes memegang sebelah tangan ibunya, dia sangat berterima kasih atas niat baik Clarice yang ingin membantu, tetapi Agnes perlu menyelesaikan masalahnya sendiri.
"Pa, adek minta maaf kalau adek mengajukan cuti tanpa minta ijin dulu sama Papa. Tapi, adek ngelakuin ini karena adek merasa ini hal yang tepat untuk dilakukan."
"Tepat belum tentu benar, 'kan?" sarkas Gunawan.
Agnes mengepalkan kedua tangan di bawah meja, menghembuskan napas pelan untuk mengendalikan emosi.
"Adek janji setelah pekerjaan adek semua selesai, adek akan menyelesaikan tanggungjawab pendidikan adek tahun depan."
"Yakin? Bagaimana kalau tahun depan pekerjaan kamu semakin banyak? Mau ambil cuti lagi? Kenapa gak sekalian aja kamu keluar dari kampus?"
"Papa tidak pernah meminta apapun dari kamu, Agnes. Papa hanya meminta selesaikan dulu tanggungjawab pendidikan kamu. Setelah itu, terserah kamu mau syuting sinetron stripping atau apapun itu," lanjutnya. Nada bicara Gunawan mulai melunak, mungkin karena melihat ekspresi wajah putrinya yang mulai menunjukkan kekesalan.
"Agnes hanya meminta waktu satu tahun, Pa."
"That's bullshit! Sekali kamu mengajukan cuti, akan sulit untuk kembali, Agnes. Papa jelas tahu melebihi siapapun tentang itu."
Tentu saja, karena Gunawan adalah pemilik yayasan universitas yang menjadi tempat Agnes menempuh pendidikan sekarang.
"Just give me one chance, okay? Please, Pa."
"Oke kalau itu mau kamu." Agnes hampir bernapas lega sebelum bola matanya membulat sempurna dengan perkataan Gunawan selanjutnya. "Terserah jika kamu masih tetap bersikeras dengan keputusan kamu, tapi jangan salahkan Papa jika karir kamu berakhir sampai di sini."
It's over! Jika Gunawan sudah memutuskan untuk bertindak, maka tidak ada satu pun orang yang sanggup melawan.
***
"Ngapain di sini?"
Agnes menolehkan kepala, mengerutkan dahi saat melihat sosok yang dia rindukan selama tiga bulan terakhir.
"Abang?"
"Taraa! Kejutan!" seru Ammar, kakak laki-laki Agnes. Pria itu merentangkan kedua tangan dengan senyum menyebalkan miliknya.
Tanpa bersuara, Agnes menubruk dada kekar milik abangnya. Memeluk dengan erat, menumpahkan rasa rindu padanya.
Ammar menikah tiga bulan yang lalu, kemudian pergi bulan madu dan tidak kunjung pulang. Katanya sekalian mengadakan pameran busana Neta, istrinya, di Paris.
"Abang kenapa baru pulang?" rengek Agnes, mengeratkan pelukan semakin dalam.
"Kamu sendiri, abang pulang bukannya dikasih pesta sambutan malah harus lihat muka kamu yang kusut gitu. Kenapa? Ada masalah?" Agnes melonggarkan pelukan, mendongak untuk melihat jelas muka abangnya yang di dagu mulai ditumbuhi oleh janggut.
"Ini kenapa ada janggutnya? Bukannya Abang gak suka numbuhin janggut?" tanya Agnes, sengaja mengalihkan pembicaraan. Dia tidak ingin membahas persoalannya dengan sang ayah barusan.
Ammar menyunggingkan sebelah sudut bibirnya, kemudian membalas, "Oh, ini. Ya gimana, kakak ipar kamu yang minta. Katanya bawaan baby."
Menyadari maksud perkataan Ammar, kedua sudut bibir Agnes otomatis tertarik ke atas. "Kak Neta hamil?"
Ammar hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian Agnes tersenyum lebar. "Wah, selamat Abang!" Agnes ikut bahagia, sungguh.
"Eh, tapi kamu belum jawab pertanyaan abang!" Memang dasar Ammar punya otak cerdas, jadi sulit sekali dibohongi.
"Kalau ada orang tanya tuh dijawab!"
"Iya, astaga! Ini juga mau jawab!" kesal gadis itu, memberontak karena Ammar terus mendesaknya.
"Kenapa? Papa gak setuju kamu ngambil cuti kuliah?" Spontan Agnes memundurkan kepala, dahinya mengkerut dalam.
Dengan cengiran lebar, Ammar lalu berkata, "Abang tahu dari mama tadi."
Agnes mendecak kesal di tempat. "Kalau tahu, kenapa pakai tanya?!"
"Abang mau kamu yang cerita," Ammar memberi jeda pada kalimatnya, "kalau kamu mau, abang bisa bantu," lanjutnya.
Mendengar perkataan Ammar, spontan Agnes menolehkan kepala. "Abang mau bantu adek bujuk Papa?"
"Memang Papa bisa dibujuk?" Pertanyaan itu seperti kalimat retoris yang sudah jelas jawabannya. Tentu tidak.
"Tapi, abang kenal orang yang bisa bantu kamu bujuk Papa."
Agnes melirik Ammar dengan pandangan meremehkan, membuat pria itu memasang wajah serius yang jarang terlihat. "Beneran ini. Dia dosen muda di kampus. Semua mahasiswa bimbingannya selalu dapat nilai A. Papa juga dekat sama dia. Jadi, abang yakin kalau kamu bisa jadi mahasiswa bimbingannya, papa pasti setuju buat ijinin kamu berkarir lagi."
Tawaran yang cukup menarik, tapi ...
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Bianca tumbuh bersama seorang ketua mafia besar dan kejam bernama Emanuel Carlos! Bianca bisa hidup atas belas kasihan Emanuel pada saat itu, padahal seluruh anggota keluarganya dihabisi oleh Emanuel beserta Ayahnya. Akan tetapi Bianca ternyata tumbuh dengan baik dia menjelma menjadi sosok gadis yang sangat cantik dan menggemaskan. Semakin dewasa Bianca justru selalu protes pada Emanuel yang sangat acuh dan tidak pernah mengurusnya, padahal yang Bianca tau Emanuel adalah Papa kandungnya, tapi sikap keras Emanuel tidak pernah berubah walaupun Bianca terus protes dan berusaha merebut perhatian Emanuel. Seiring berjalannya waktu, Bianca justru merasakan perasaan yang tak biasa terhadap Emanuel, apalagi ketika Bianca mengetahui kenyataan pahit jika ternyata dirinya hanyalah seorang putri angkat, perasaan Bianca terhadap Emanuel semakin tidak dapat lagi ditahan. Meskipun Emanuel masih bersikap masa bodo terhadapnya namun Bianca kekeh menginginkan laki-laki bertubuh kekar, berwajah tampan yang biasa dia panggil Papa itu, untuk menjadi miliknya.
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono