Unduh Aplikasi panas
Beranda / Anak muda / Fatimah Perjuangan TKW Indonesia
Fatimah Perjuangan TKW Indonesia

Fatimah Perjuangan TKW Indonesia

5.0
68 Bab
112 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Fatimah, karena keterbatasan ekonomi kedua orang tuanya memutuskan untuk menajdi TKW setelah lulus SMA agar hiasa membiayai kuliahnya, walaupun Fatimah adalah tunggal tetapi tekad kuat agar tidak membebani kedua orang tuanya.

Bab 1 Prolog

Fatimah

(Perjuangan TKW Indonesia)

Based on a true story.

(nama tokoh disamarkan untuk menjaga privasi)

Juni 2009

Cita-citaku saat kecil ingin menjadi dokter, tetapi keterbatasan ekonomi keluargaku, menjadikan cita-citaku hanya mimpi.

Aku bisa sekolah sampai SMA saja sudah luar biasa, untuk anak seoarang petani. Sawah punya kedua orang tuaku tak luas. Cukup ketar ketir untuk membiayaiku sekolah. Aku adalah anak tunggal di keluargaku, namaku Fatimah.

Saat lulus SMP, aku memohon kepada orang tuaku untuk tetap melanjutkan sekolah ke SMA, karena kebanyakan teman-temanku tak melanjutkan sampai ke jenjang SMA. Bahkan angkatanku hanya ada 2 orang yang melanjutkan ke SMA.

Karena keinginanku yang ingin tetap belajar, akhirnya bapak dan ibuku memberiku izin untuk melanjutkan sekolah. Rencanaku jika aku lulus SMA aku akan mencari kerja sambil kuliah atau aku bisa menunda beberapa tahun agar aku bisa membiayai kuliahku sendiri tanpa membebani kedua orang tuaku. Saat menjelang lulus, aku sudah mulai mencari-cari pekerjaan apa yang akan aku jalani.

Ada bibi iparku setelah lulus SMA, dia lalu menjadi TKW di negeri Taiwan. Selama bibiku bekerja di sana, uangnya ditabung dan saat pulang uang tabunganya dipakai untuk biaya kuliah di STIKES daerah Indamayu. Setelah lulus bibiku bekerja menjadi perawat di Arab Saudi. Di sana gajinya lebih menjanjikan. Melihat perjuangan bibiku aku jadi ingin mengikuti jejaknya.

Setelah surat kelulusan SMA keluar, aku langsung mendaftarkan diri menjadi TKW. Aku yang tinggal didaerah wilayah III Cirebon, tidaklah sulit untuk menjadi TKW, apalagi dikampungku kebanyakan para wanitanya bekerja sebagai TKW untuk memperbaiki ekonomi keluarga.

Aku ingin seperti bibiku, bisa kuliah dari hasil keringat sendiri dan setelah bekerja aku akan menopang ekonomi orang tuaku agar bapak dan ibu tak perlu lagi ke sawah.

Tetapi aku tidak bisa menjadi TKW ke negeri yang sudah merdeka dari China tersebut. Katanya wajahku masih terlihat seperti anak-anak. Syarat untuk menjadi TKW adalah minimal usia 23 tahun, sedangkan saat itu usiaku masih 18 tahun. Untuk data mereka bisa memanipulasi, menjadikan identitasku menjadi 23 tahun, tapi wajahku saat itu terlihat masih seperti anak-anak, jadi sulit untuk dibohongi.

Akhirnya negara yang syaratnya tidak ketat hanya Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi.

Aku memilih Singapura, karena gajinya lebih besar dari Malaysia dan Arab Saudi, tetapi tetap masih besar gaji TKW di Taiwan. Aku tetap berharap mudah-mudahan gajiku selama 2 tahun bekerja di Singapura cukup untuk biaya kuliahku.

Banyak sekali cibiran dari tetangga dan sudara-saudarku, karena aku anak tunggal yang selalu dekat dengan orang tua. Bahkan aku mendapatkan gelar ‘anak mami’ dan 'anak pingit’.

Ya, karena saat kecil hingga lulus SMA, aku tidak seperti anak gadis lainnya. Aku lebih suka menghabiskan waktuku di rumah. Aku tidak suka jalan-jalan atau main dengan teman-temanku. Setiap malam aku lebih suka menghabiskan waktu bersama bapak dan ibuku dengan nonton tv.

“Nempel terus sama Bapak dan Ibu, yakin kuat jauh?”

“Palingan juga tahan 3 bulan, paling lama 6 bulan.”

“Baru sebulan juga pasti nangis terus minta pulang, nanti majikan bosen.”

“Mana ada? Majikan yang mau mempekerjakan anak mami, anak manja.”

Celetukan seperti itu hampir tiap hari terdengar, setelah para tetangga dan saudara-saudaraku tahu kalau aku sudah mendaftarkan diri jadi TKW.

Tetapi celotehan seperti itu justru membuatku terbangun untuk membuktikan bahwa ucapan mereka tidak benar. Perjalananku menjadi TKW tidaklah mulus, banyak tes yang harus kulalui hingga aku berhasil masuk ke agensi Indonesia.

Tetapi setelah masuk agensi, aku terbilang paling mulus. 3 minggu setelah tinggal di agensi dan tanpa interview dengan calon majikan, visa kerjaku langsung turun. Biasanya visa kerja akan turun minimal 3 minggu sampai 3 bulan saat sudah di agensi Indonesia. Karena Visa kerja yang turun dadakan, jadi semua persiapanku juga dadakan. Selama aku di agensi, bapak dan ibuku belum pernah menengoku karena agensinya ada di Jakarta, sedangkan kampungku ada di salah satu Desa yang terletak di wilayah III Cirebon.

Hanya 1 orang yang menengoku waktu di agensi, yaitu Mamangku yang kebetulan bekerja di Jakarta. Tetapi karena waktu keberangkatanku tinggal 2 hari lagi, aku meminta bapak dan ibuku menengokku. Aku rindu mereka.

Aku tidak ingin pergi sebelum bertemu mereka. Apalagi kontrakku nanti 2 tahun dan tak boleh pulang. Rasanya tak sanggup menahan rindu pada kedua orang tuaku.

Ternyata celetukan tetanggaku ada benarnya, “apa aku sanggup, menahan rindu selama 2 tahun, tak bertemu Bapak dan Ibu? Hiks..hikss.”

Air mataku memaksa keluar, saat mebayangkan lamanya waktu kami akan berpisah, tetapi aku langsung ingat semangat dan cita-citaku. Bapak dan ibu sudah ridho denga usahaku dan juga aku sudah di agensi, jadi aku tidak bisa mundur.

Orang tuaku benar-benar memperjuangkanku agar bisa bertemu denganku sebelum aku pergi. Walaupun waktu bersama mereka sebentar saat mereka menjengukku, tetapi aku bahagia. Rasa rinduku terobati.

Akhirnya, aku berangkat dengan perasaan tenang. Satu yang aku ingat pesan bapak sebelum berangkat.

“Neng, Neng kan udah gede, harus kuat, jangan cengeng! Neng buktikan kalau neng bisa sukses!” ucap bapak sambil membelai lembut rambutku.

Ternyata itu adalah pesan terkahir bapak.

Selama aku bekerja menjadi pembantu di Singapura, aku diberikan waktu menghubungi keluarga hanya 1 kali setiap bulannya karena saat tahun 2009 masih menggunakan penggilan telepon internasional.

Dulu media internet belum seramai sekarang, bahkan facebook pun belum ramai dan aku pun belum tahu apa itu facebook.

Selama 3 bulan aku masih menghubungi keluargaku dan mengobrol dengan bapak dan ibu dengan panggilan internasional. Tentu saja tidak bisa lama, karena biayanya sangat mahal. Yang penting bisa melepas rindu mendengar suara bapak dan ibu.

Bulan berikutnya aku bermimpi, ada banyak orang sedang menggali kubur. Kuburan itu sangat rapi dan bersih sekali.

“Pak, ini kuburan buat siapa?” tanyaku pada salah satu penggali kubur di sana.

“Ini kuburan buat Bapakmu.” Jawabnya singkat.

Deg, jantungku serasa terlepas. Aku langsung terbangun dan beristighfar. Aku menoleh ke samping, ada nenek yang aku rawat ternyata belum tidur. Di sana tugasku merawat nenek jompo yang sudah tidak bisa berjalan, tetapi ingatannya masih kuat. Kebetulan majikanku Melayu Muslim.

“Nenek, belum tidur?” tanyaku pada nenek.

Nenek masih memandangiku sejak aku terbangun tadi, mungkin terkejut melihatku langsung bangun.

“Nenek tak boleh tidur, Fat.” Jawab nenek dengan logat Melayunya.

“Apa hal, kamu terbangun? Tidurlah!” Pinta nenek lembut.

Aku bersyukur majikan dan nenek yang aku rawat adalah orang baik, apalagi nenek yang aku rawat ini pengertian sekali.

“Fat, mimpi buruk.” Jawabku sedih.

Mimpi itu terus mengganggu pikiranku. Aku yakin itu cuma mimpi buruk. Aku cerita pada nenek yang aku jaga, tentang mimpiku, “itu tanda, Bapakmu sudah meninggal, Fat.”

Ucapan nenek yang aku rawat makin mengganggu pikiranku. Akhirnya saat gajian tiba aku langsung meminta izin menelepon keluargaku menggunakan telepon umum, karena saat itu aku tidak diperolehkan menggunakan telepon seluler.

Saat aku telepon ke kampung. Kata ibuku, bapak lagi ada acara di rumah saudara, ibu mau nyusul rumahnya jauh dan sudah malam juga, akhirnya aku larang. Dan setiap bulan saat aku menelpon ada aja alasan bapak yang tidak ada di rumah, membuatku semakin was-was dan teringat akan mimpi itu.

Hingga akhirnya, saat aku diperbolehkan membeli telepon seluler. Aku bisa berkomunikasi dengan teman yang satu kampung dan dia juga sama-sama bekerja di Singapura, namanya Lisa.

“Lisa, aku mau nanya tentang Bapakku?” tanyaku lewat telepon dan tentu saja panggilan seluler bukan panggilan video.

Lisa hanya berguman tak jelas, seperti berat untuk bersuara.

“Lisa, aku penasaran. Tolong katakan yang sebenarnya!” Pintaku terus.

Aku sudah menceritakan tentang mimpiku pada Lisa dan cerita setiap aku menelepon ke kampung selalu tak bisa berbicara dengan bapak, padahal aku rindu.

Lisa akhirnya jujur, kalau bapakku memang sudah tidak ada. Bapak sudah meninggal. Keluargaku memang melarang Lisa untuk jujur padaku, karena khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk padaku. Air mataku sudah mengalir deras mendengar penuturan Lisa. Rasanya hidupku hancur, tubuhku tak bertenaga.

“Fat, fat. Fatimah.” Terdengar Lisa berteriak memanggilku dari balik telepon

Tapi rasanya lidah dan bibirku lemas, tak bisa menjawab pangilan Lisa.

“Fat, kamu janji akan baik-baik aja, kalau aku jujur.”

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 68 68. Tegar (End)   08-14 10:12
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY