/0/8325/coverbig.jpg?v=6a46aa671c65e1674b56bddd22ee4b6e)
Walau pun berstatus istri sah, Ajeng tak pernah disentuh suaminya. Saat perjuangan Ajeng untuk menjadi istri berada di puncaknya, sang suami malam menikah dengan sahabat Ajeng. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah tak pernah dianggap, malah dikhianati pula. Andai saja Ajeng bisa bangkit, pilihan manakah yang akan diambilnya? Bolehkah Ajeng hidup bahagia?
Dhiajeng mengerjap tak percaya. Ia terpaku di pintu dan tak mampu bergerak lagi. Telinganya berdenging hebat. Hatinya menjerit dan memaki. Apa salahnya dirinya, apa kurangnya selama ini ia menjadi seorang istri. Ia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Ia tak akan sanggup bertahan jika tak berbuat apa-apa. Setelah meyakinkan diri jika yang dilakukan ini adalah benar adanya. Dhiajeng mendorong pintu hingga terbuka lebar. Dua orang yang ada tadinya sedang memadu kasih terlonjak kaget. Tidak menyangka jika akan mendapatkan penggunjung.
"Mas nggak nyangka aku ke sini, kan?" Ia berkata dengan tenang walau tak dipungkiri jika suaranya bergetar. Dilirik wanita yang berdiri canggung dengan tatapan kaget di sisi kiri suaminya. "Tidak menyangka hingga melakukan hal menjijikan ini di kantor." Dhiajeng kembali melihat suaminya.
"Kamu salah sangka Ajeng, Izha tadi hampir terjatuh makanya aku membantunya." Suami Dhiajeng berkelit. Peluh dingin membasahi dahi pria itu kini.
Terjatuh dan kemudian kalian berciuman." Dhiajeng menambahkan pejelasan. "Jika aku tidak datang, kamu akan bercumbu dengan wanita jalang ini." Ia tak lagi menyembunyikan kemarahannya. Sudah tidak sanggup lagi Dhiajeng pura-pura tak tahu. Ia sudah tak sanggup hanya menjadi pajangan untuk suaminya.
"Maaf, Pak, Bu, saya-saya mohon diri." Sekretaris suaminya yang bernama Hafizha itu mohon diri. Wajahnya terlihat ketakutan dan binggung.
"Tidak. Jangan ke mana-mana. Tetap di sini." Dhiajeng tidak ingin lagi menjadi boneka cantiknya yang selalu bahagia. "Mas, kamu harus memilih sekarang. Kamu pilih dia atau aku?" Matanya berair saat mengatakan itu. Jantungnya berdegup kencang dan perasaan cemas semakin kuat.
Suami Dhiajeng menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Hafizha sedang hamil anakku." Pria itu memberitahu Dhiajeng.
Dhiajeng tertawa. Hancur sudah pernikahan yang sudah hampir tiga tahun ia pertahankan. Hilang sudah cinta yang berusaha ia bangun dari nol. Ia dicampakan begitu saja. Dhiajeng mundur perlahan. Ia telah diusir dengan hanya satu kalimat. Dalam dunia suaminya-Aldo-Dhiajeng tak lagi memiliki tempat.
"Ajeng." Hafizha sang wanita kedua memanggil Dhiajeng pelan.
"Biarkan dia pergi." Aldo berkata dingin.
Sekali lagi Dhiajeng terusir dan rasanya semakin menyakitkan.
***
Ersya melihat wanita itu sekilas tadi ketika masuk ke gedung perusahaan. Matanya basah oleh air mata. Tanpa pikir panjang Ersya berlari menggejar. Pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk. Selama perkenalan mereka yang singkat tak sekali pun Ersya melihat gurat ekspresi lain selain kebahagiaan di wajah wanita bernama Dhiajeng itu. Matanya yang indah selalu berbinar dan penuh cinta. Itulah yang membuat Ersya bertahan untuk menggurus Kerjasama yang sejak awal dirasa Ersay tak menguntungkan. Tak mengapa merugi sedikit, ia ingin menikmati tatapan indah yang membuatnya bahagia.
"Dhiajeng!" Ersya memanggil. Wanita itu terus saja berjalan tanpa menoleh. Apakah panggilan Ersya kurang keras untuk didengar. "Ajeng!" Kali ini Ersya berteriak hingga ternggorokannya nyeri. Masih saja Dhiajeng berjalan, Ersya mempercepat langkahnya. Ia berhasil menggejar dan menangkap tangan Dhiajeng.
"Lepaskan aku!" Suara Dhiajeng parau. Ia menyentak peganggan tangan Ersya hingga terlepas. Namun, ia tak serta merta melanjutkan langkah kakinya. Bahunya naik turun menahan tangis. Air mata berurai lebih deras.
"Ajeng, kamu ...." Ersya tak bisa menjelaskan betapa ia ikut terluka melihat Dhiajeng terluka.
"Aku dicampakkan Ersya. Aku dibuang bagai mainan lama." Dhiajeng mengungkapkan perasaannya. Ia menunduk lebih dalam. Bahunya naik turun semakin cepat.
Ingin rasanya Ersya merengkuh Dhiajeng ke dalam pelukannya. Mengatakan jika masih ada dirinya di sini. Tetapi, posisinya benar-benar sama sekali tak menguntungkan. Ersya tetap saja hanya orang lain dalam pernikahan Dhiajeng. Ia menahan diri untuk tak melakukan hal itu susah payah.
"Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?" tanya Dhiajeng dengan suara parau. "Rasanya sakit sekali."
"Kamu bisa membalasnya jika mau. Sebelum itu kamu harus berhenti menangis." Ersya berkata dengan sungguh-sungguh.
"Bisakah?" Rupanya mendengar hal itu Dhiajeng tertarik. Ia sepertinya ingin membalas semua rasa sakit yang didapat. "Aku ingin menghancurkan mereka." Dhiajeng menghapus air mata dengan punggung tangannya. Memandang Ersya dengan sungguh-sungguh.
Bahkan jika kamu memintaku untuk menghancurkan dunia, akan kulakukan, batin Ersya yakin. Ia akan membantu Dhiajeng walau dirinya sendiri harus hancur.
***
"Pagi, Mas." Dhiajeng tersenyum sambil menatap anak tangga yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.
Seorang pria berjalan pelan sambil mengancingi lengannya dan tersenyum menatap Dhiajeng yang tengah sibuk di meja makan. Satu kecupan melayang di kenig Dhiajeng sebelum pria itu mendudukan diri di kursi dan menikmati pelayanan wanita cantik nan telaten ini. "Kopinya selalu harum," pujinya setelah menyesap cangkir porselen yang mengguap.
"Seperti kesukaan Mas tentu saja." Setelah selesai menata keperluan suaminya-Aldo-Dhiajeng duduk pada sisi kanan. Menikmati dengan tenang teh yang ia siapkan untuk dirinya sendiri. "Semuanya lancar saja di perusahaan, kan, Mas?" Dhiajeng bertanya, berusaha menjadi teman mengobrol yang baik untuk sang suami.
Aldo mengangguk. Cangkir kopinya sudah kosong. Ia bernapas dalam dengan pelan. "Baik, kita mendapatkan penawaran kontrak yang bagus minggu depan dari perusahaan asing." Aldo mengingat-ingat informasi yang diberikan sang sekretaris sebelum resign. "Sayang sekali Ade harus mundur setelah menikah," sesalnya.
"Masih belum ada yang cocok dengan kriteria Mas?" Dhiajeng terdengar khawatir. Walau tak pernah bekerja di bidang itu, ia tahu betapa penting tugas seorang sekretaris. Setelah selesai dengan kuliahnya, Dhiajeng langsung dinikahkan keluarganya dengan Aldo. Namun, kini Dhiajeng begitu mencintai Aldo. "Andai aku bisa bantu Mas."
Aldo tersenyum. Menyentuh pipi marun Dhiajeng. "Kamu sudah banyak membantu dengan membuatku rileks saat berada di rumah." Aldo berdiri, jam menunjukan pukul 7.00. "Mas berangkat, ya, hati-hati di rumah," ingat Aldo seperti biasa pada Dhiajeng.
Dhiajeng mengangguk. Ia membawa tas suaminya hingga pintu depan rumah dan sekali lagi menerima kecupan di kening. Sampai mobil sang suami menghilang, barulah Dhiajeng masuk kembali ke dalam rumah.
***
Dhiajeng menatap dua sahabat karibnya yang ribut menentukan gaun yang cantik untuk dipakai bersama. "Masih belum bisa nentuin yang paling bagus?" pancing Dhiajeng.
"Kemarin udah. Ini si Marimar bilang modelnya kuno dan ngancem nggak mau makai ke pernikahanku," adu Septina pada Dhiajeng yang hanya tersenyum kecil menyaksikan ekspresi lucu sang calon pengantin. "Bilangin nih sama temanmu yang banyak gaya, Jeng," tambah Septina. Ia menyandarkan punggung pada sofa warna krem dan bersidekap.
"Coba mana aku lihat?" Dhiajeng menggulurkan tangan, meminta brosur majalah Bridal yang mereka sengaja beli tiga bulan lalu untuk menentukan gaun pengiring pengantin. Septina ingin kedua temannya menemani saat ijab kabul dan juga resepsi dengan gaun yang senada dengannya. Selama beberapa saat Dhiajeng membalik majalah, matany terpesona pada gaun cantik berwarna pink sedikit keungguan. Gaya yang simple dan tidak menghilangkan kemewahan pada pakaian pengantin. "Yang ini gimana?" usul Dhiajeng sambil meletakan majalah di tengah meja.
Kedua temannya terlihat menjulurkan leher untuk melihat. Beberapa detik mereka menilai. Detik kemudian hampir bersamaan mereka berseru. "Nah, bagus yang ini!" serempak mereka berkata.
"Untung ada Dhiajeng yang seleranya level dewi." Teman Septina dan Dhiajeng yang bernama Hafizha mengangguk-angguk puas.
Septina geram, dicubitnya gadis yang baru bicara di sebelahnya dengan keras. Hingga hafizha terpekik dan banyak mata melihat mereka. "Ngomong sembarangan, kamu tuh yang banyak masalahnya," runggut Septina. Bibirnya maju-maju menggemaskan saat bicara.
"Septina udah on going ini, kamu kapan Hafizha?" Dhiajeng menaikkan alis ketika bertanya. Diantara mereka bertiga hanya Hafizha yang sampai saat ini tak jelas hubungan percintaannya. Kadang-kadang Dhiajeng mendengar selentingan kabar jika sahabatnya itu telah memiliki pacar. Lalu beberapa waktu kemudian ketika akan menanyakan kebenaran kabar itu, kabar lain datang, jika ia sudah putus. "Kamu nyari kriteria cowok kayak siapa, sih?" tanya Dhiajeng penasaran.
Septina duduk anteng sambil menyeruput minuman lecinya. Ia mendengarkan obrolan dua teman di depannya. "Iya, sebenarnya kriteria kamu kayak apa? Mungkin ada kenalan suaminya Dhiajeng dan calon suamiku nanti yang sesuai. Kan, kami jadi bisa nyomblangin kamu." Septina tidak mau kalah soal ini. Dahulunya ia takut sekali paling telat menikah, kini ketakutannya adalah menyaksikan salah satu sahabatnya menjadi perawan tua.
Hafizha menerawang. Ia sendiri hanya memakai rasa ketika pacaran dan tidak benar-benar dibawa serius. Ia masih terlalu menyukai kebebasan yang sedang dijalani kini. Fokus pada karir, begitu orang tuanya berkata. Karir yang harus ia tunda sebentar sebab perusahaan tempatya bekerja sedang menggalami pailit. "Yang bisa bikin aku jatuh cinta," jawabnya sekenanya.
Jelas Dhiajeng dan Septina bersorak. Kalimat Hafizha adalah impian setiap gadis. Bhulshit jika ada gadis yang menggatakan tak ingin menikahi pria yang dicintai. Septina beruntung, Dhiajeng harus merelakan untuk pelan-pelan jatuh cinta pada suaminya. "Serius, dong, Izha," ujar Dhiajeng kesal.
Hafizha terkekeh. "Pokoknya, baik, mapan, tampan ...." Pada kriteria tampan Hafizha terkekeh disusul teman-temannya. "Pokoknya kayak-kayak suamimu itulah Dhiajeng." Ia lebih memilih mencari figure paling dekat yang biasa dibayangkan semua orang.
"Emang suami Dhiajeng itu numer uno," tambah Septina sedikit meniru iklan minuman cappuccino di televisi. "Eh, tunggu-tunggu ... jangan-jangan kamu naksir mas Aldo, ya," goda Septina sambil menaik turunkaqn alisnya.
Dhiajeng tersenyum, ikut menggoda. "Beneran? Kalau buat kamu ambil, deh, ambil. Uhuk." Tawa Dhiajeng renyah menggoda.
Wajah Hafizha memerah perlahan. "Enggak makasih. Nanti Dhiajeng marah nggak mau temenan lagi sama aku," tolak Hafizha sangat berwibawa mengikuti gurauan sahabt-sahabatnya.
Mereka tertawa bersama setelahnya.
Dhiajeng meraih minumannya sendiri dan menyesapnya peralahan. Mengambil sepotong kentang goreng dan mencocol dahulu ke dalam saus sambal sebelum memasukan ke dalam mulut.
"Kamu sudah ketemu pekerjaan baru, Zha?" Septina bertanya sambil memandang Hafizha.
Gadis yang ditanya menggeleng perlahan. "Belum. Sekarang perusahaan banyak menerima fresh graduate, orang baru." Hafizha mendesah lemah.
"Dahulu kamu sekretaris, kan, Zha?" tanya Dhiajeng. Ditunggu sampai kepala Hafizha mengangguk mengiyakan. "Coba nanti aku tanya Mas Aldo, mudah-mudahan lowongan sekretarisnya masih kosong," tawar Dhiajeng. Akhirnya ia bisa membantu suaminya itu. Hafizha pasti tidak akan mengecewakan dirinya.
"Beneran?" Binar kebahagian terpancar di mata Hafizha. Senyum cerah gadis itu menggembang.
Dhiajeng mengangguk perlahan. "Asal jangan digaet saja masku nanti," godanya. "Kalau sampai kamu gaet ...." Dhiajeng membuat gerakan seperti orang yang sedang menyembelih dan kemudian kembali tertawa renyah bersama.
Bisakah Sena mempercayakan hatinya kembali pada pria dari masa lalunya? Sena ada artis wanita yang sudah naik daun. Menjadi Artis bukanlah cita-citanya, tetapi dendam di masa lalu membuatnya menjadi demikian. Pada akhirnya Sena harus kembali bertemu dengan orang yang sama. Sekali lagi jatuh cinta dan bersiap untuk sakit hati. Sena hanya berharap, ia tak perlu lagi merasakan sakit yang sama. Walau bayang-bayang itu tetap masih ada.
Evelyn, yang dulunya seorang pewaris yang dimanja, tiba-tiba kehilangan segalanya ketika putri asli menjebaknya, tunangannya mengejeknya, dan orang tua angkatnya mengusirnya. Mereka semua ingin melihatnya jatuh. Namun, Evelyn mengungkap jati dirinya yang sebenarnya: pewaris kekayaan yang sangat besar, peretas terkenal, desainer perhiasan papan atas, penulis rahasia, dan dokter berbakat. Ngeri dengan kebangkitannya yang gemilang, orang tua angkatnya menuntut setengah dari kekayaan barunya. Elena mengungkap kekejaman mereka dan menolak. Mantannya memohon kesempatan kedua, tetapi dia mengejek, "Apakah menurutmu kamu pantas mendapatkannya?" Kemudian seorang tokoh besar yang berkuasa melamar dengan lembut, "Menikahlah denganku?"
WARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) Di balik seragam sekolah menengah dan hobinya bermain basket, Julian menyimpan gejolak hasrat yang tak terduga. Ketertarikannya pada Tante Namira, pemilik rental PlayStation yang menjadi tempat pelariannya, bukan lagi sekadar kekaguman. Aura menggoda Tante Namira, dengan lekuk tubuh yang menantang dan tatapan yang menyimpan misteri, selalu berhasil membuat jantung Julian berdebar kencang. Sebuah siang yang sepi di rental PS menjadi titik balik. Permintaan sederhana dari Tante Namira untuk memijat punggung yang pegal membuka gerbang menuju dunia yang selama ini hanya berani dibayangkannya. Sentuhan pertama yang canggung, desahan pelan yang menggelitik, dan aroma tubuh Tante Namira yang memabukkan, semuanya berpadu menjadi ledakan hasrat yang tak tertahankan. Malam itu, batas usia dan norma sosial runtuh dalam sebuah pertemuan intim yang membakar. Namun, petualangan Julian tidak berhenti di sana. Pengalaman pertamanya dengan Tante Namira bagaikan api yang menyulut dahaga akan sensasi terlarang. Seolah alam semesta berkonspirasi, Julian menemukan dirinya terjerat dalam jaring-jaring kenikmatan terlarang dengan sosok-sosok wanita yang jauh lebih dewasa dan memiliki daya pikatnya masing-masing. Mulai dari sentuhan penuh dominasi di ruang kelas, bisikan menggoda di tengah malam, hingga kehangatan ranjang seorang perawat yang merawatnya, Julian menjelajahi setiap tikungan hasrat dengan keberanian yang mencengangkan. Setiap pertemuan adalah babak baru, menguji batas moral dan membuka tabir rahasia tersembunyi di balik sosok-sosok yang selama ini dianggapnya biasa. Ia terombang-ambing antara rasa bersalah dan kenikmatan yang memabukkan, terperangkap dalam pusaran gairah terlarang yang semakin menghanyutkannya. Lalu, bagaimana Julian akan menghadapi konsekuensi dari pilihan-pilihan beraninya? Akankah ia terus menari di tepi jurang, mempermainkan api hasrat yang bisa membakarnya kapan saja? Dan rahasia apa saja yang akan terungkap seiring berjalannya petualangan cintanya yang penuh dosa ini?
Aku bingung dengan situasi yang menimpaku saat ini, Dimana kakak iparku mengekangku layaknya seorang kekasih. Bahkan perhatian yang diberikan padaku-pun jauh melebihi perhatiannya pada istrinya. Ternyata dibalik itu semua, ada sebuah misteri yang aku sendiri bingung harus mempercayai atau tidak.
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
Lenny adalah orang terkaya di ibu kota. Ia memiliki seorang istri, tetapi pernikahan mereka tanpa cinta. Suatu malam, ia secara tidak sengaja melakukan cinta satu malam dengan seorang wanita asing, jadi ia memutuskan untuk menceraikan istrinya dan mencari wanita yang ditidurinya. Dia bersumpah untuk menikahinya. Berbulan-bulan setelah perceraian, dia menemukan bahwa mantan istrinya sedang hamil tujuh bulan. Apakah mantan istrinya pernah berselingkuh sebelumnya?
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?