Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Duda itu Suamiku
Duda itu Suamiku

Duda itu Suamiku

5.0
15 Bab
399 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Pertemuan tanpa sengaja antara Bianca dan seorang balita cantik bernama Bealize nyatanya membawa perubahan besar pada hidup Bianca. Bianca yang awalnya hanya sibuk mengurus bakery miliknya, kini harus mendapatkan tugas tambahan yaitu mengurus Bea yang tak mau lepas darinya. Terlebih saat Bea memanggil dirinya ‘Mami’ dan meminta dirinya untuk tinggal di rumahnya. Jika di rumah itu hanya ada dirinya dan Bea saja, Bianca mungkin tak akan mempermasalahkan. Akan tetapi, di rumah itu juga ada seorang pria tampan berstatus duda yang merupakan Papi dari Bea. Bianca merasa jika dirinya benar-benar berada di posisi yang salah saat ini. Seorang gadis tinggal bersama seorang pria dewasa terlebih lagi duda adalah hal yang buruk. Selain buruk menurut pandangan orang, tinggal bersama pria tampan juga buruk untuk kesehatan jantungnya. Karena tak mau tersandung skandal dengan duda tampan itu, Bianca akhirnya diam-diam pergi dari rumah tersebut tanpa memikirkan bagaimana nasib Bea setelah ditinggal pergi olehnya. Bagi Bianca, yang terpenting dia bisa bebas tanpa harus terikat dengan siapapun. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bianca, Bealize, dan duda tampan itu setelahnya? Akankah duda tampan itu kembali mencari keberadaan Bianca?

Bab 1 1. Pertemuan Pertama

"Ehm, kau terlihat sangat cantik hari ini, Bianca."

Teguran seorang lelaki yang tiba-tiba terdengar, membuat Bianca–yang sedang mengelap meja–menoleh. Dia tersenyum saat mendapati salah satu pelanggan menyapa dirinya.

"Oh, Maxim … apa selama ini aku tidak cantik?" tanyanya sambil tersenyum, mengangkat sebelah alisnya.

"Kau selalu cantik, Bianca, bahkan dengan apron dan lap kotormu itu. Aku bahkan menyukai wajahmu yang berkeringat," goda Maxim lagi, cepat-cepat duduk di meja yang baru saja dibersihkan oleh Bianca.

"Terima kasih, itu terdengar seperti sebuah pujian," kata Bianca meringis.

"Aku memang sedang memujimu, Sayang." Maxime terkekeh. "Jadi, kapan kau mempunyai waktu luang untuk menerima tawaran kencan dariku?"

"Aku akan menghubungimu, jika sudah senggang," kata Bianca serius. "Kau di sini untuk merayuku, atau mau pesan beberapa kue?"

"Tentu saja pesan kue dan juga melihatmu," ucap Maxime terkekeh. "Bawakan aku red velvet dan juga moccacino,"pintanya.

"Kalau begitu tunggu sebentar," tutur Bianca, tersenyum begitu manis sebelum beranjak pergi dari sana.

Wanita itu memasuki ruangan lain, dan wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Senyum yang sejak tadi dia tampakkan, sirna lenyap tak berbekas sedikit pun digantikan raut wajah kekesalan.

"Sialan, dasar lelaki perayu ulung. Jika bukan langganan, sudah kudepak dia sejak tadi!" umpatnya bergumam lirih.

Namun, ternyata ada yang mendengar. Mary—salah satu karyawan kepercayaannya, mendekat dengan alis saling bertautan. "Ada apa, Bu, kenapa terlihat kesal?" tanyanya.

Bianca menoleh, lalu berdecak dengan kedua tangan bertolak pinggang. Hanya menggerakkan dagunya, dia memberikan kode pada Mary. "Urus pesanan si casanova itu, aku mau pergi sebentar," ucapnya ketus.

Memastikan Mary sudah tahu pesanannya, Bianca melepaskan apron, dan mencuci tangannya sampai bersih. Setelahnya, dia mengambil tasnya dan pergi lewat pintu belakang. Dia tak ingin sosoknya terlihat oleh Maxim, atau lelaki manapun yang sering merayunya. Bianca merasa muak, dan dia ingin terbebas dari para lelaki macam itu.

Selama ini, dia hanya berpura-pura bersikap baik, bersikap lemah lembut, hanya untuk menarik perhatian pelanggan toko kuenya. Namun, sepertinya beberapa pelanggan salah berspekulasi tentang dirinya. Hal ini malah membuatnya menjadi bulan-bulanan sasaran para lelaki penggoda ulung.

Wanita itu mendesah kasar, berjalan tergesa ke taman yang tak jauh dari toko kuenya. Memilih tempat ternyaman untuknya duduk, lalu mengeluarkan kertas dan bolpoin. Dia terlihat terdiam sebentar menghadap depan dengan pandangan kosong, karena tengah berpikir untuk merencanakan launching produk baru untuk kue di tokonya.

Sore ini, taman terlihat begitu ramai, dan Bianca sangat menyukai suasana tersebut. Suara tawa anak-anak kecil yang bermain, entah kenapa membuat hatinya menghangat, dan semakin melancarkan otaknya untuk berpikir.

Di tengah-tengah fokusnya Bianca menulis, tiba-tiba seorang bocah perempuan kecil berlarian di depannya. Bianca mendongak, dan tersenyum melihatnya. Namun, ketika bocah itu tiba-tiba terjatuh, Bianca reflek berdiri dan mendekat.

"Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya Bianca panik.

Bocah itu menatapnya dengan mata bulatnya yang sempurna. Awalnya, bocah itu terdiam. Tetapi, tiba-tiba menangis dan memeluknya dengan erat. "Mama."

Terkejut, mulut Bianca terbuka setengah mendengar bocah itu memanggilnya mama. Cepat-cepat, dia mendorong bocah kecil itu agar bisa melihat wajahnya. "Hey, Nak, aku bukan Mamamu. Kau pasti salah orang. Lihatlah ke sekeliling, perhatikan baik-baik semua orang yang ada di sini lalu kenalilah Mamamu," kata Bianca memberikan pengertian.

Namun, bocah itu menggeleng cepat. Merangsek maju dan lagi-lagi memeluk Bianca. "Mama … ini takit."

Bianca terkekeh miris, terlihat sedikit frustasi. "Nak, aku bukan–"

"Kejam sekali, anak terjatuh dan menangis kau malah membentaknya!"

Bianca belum menyelesaikan ucapannya, ketika seorang wanita tua tiba-tiba berdiri di dekatnya. Menegurnya, dan menatapnya dengan tajam. Hal ini membuat Bianca salah tingkah, dia ingin sekali menjelaskan. Namun, bocah yang ada dalam pelukannya itu malah merengek semakin kencang, dan terus memanggilnya Mama.

"Nak, sadarlah … jangan membuatku kesusahan," bisik Bianca, menepuk-nepuk punggung bocah itu.

"Tenangkan dia, cepat gendong. Kalau perlu, cepat obati jika dia terluka. Jangan hanya memarahinya saja. Namanya juga anak kecil, pasti banyak tingkah!" Seorang wanita paruh baya lain, datang mendekati Bianca untuk memperingatkan. Wajahnya sinis, dan kata-katanya terdengar ketus.

"Tapi, Bu–"

"Mama, ayo toyong Bea, Mama. Aki Bea takit," rengek bocah itu lagi, memotong ucapan Bianca.

Hal ini membuat Bianca mendesah kasar, dia merasa tertekan, ketika semakin banyak orang menatapnya penuh tuntutan. Mau tak mau, akhirnya Bianca menggendong bocah itu. Mengambil tasnya, lalu kembali ke tokonya dengan langkah kaki menghentak kesal.

Sepanjang jalan, Bianca terlihat bergumam. Mengumpatkan kekesalan-kekesalannya, pada orang-orang yang telah menuntutnya tadi. Dan juga, bocah yang sekarang mendekapnya erat dalam gendongan.

Wajah Bianca tampak muram, memasuki toko dengan acuh. Mengabaikan para lelaki yang biasanya menggoda, Bianca terus berjalan sampai tiba di ruangannya. Cepat-cepat, Bianca menurunkan bocah itu dan bersiap untuk memarahinya.

Namun, ketika bocah itu menatapnya polos dengan mata bulatnya yang sempurna, entah kenapa membuat pertahanan Bianca luruh. Wanita itu tak sanggup untuk marah. Dan hanya bisa membuang napasnya kasar berkali-kali.

Setelah merasa tenang, Bianca duduk di lantai untuk mensejajarkan tingginya pada bocah itu, lalu tersenyum dengan manis. "Nak, siapa namamu?" tanya Bianca, menekan lagi kekesalan akibat perbuatan bocah itu tadi.

"Bea, api papa cering manggil aku Boo," jawab bocah perempuan itu, dengan kata-katanya yang belepotan yang terdengar belum begitu jelas.

Tentu saja hal ini malah membuat Bianca semakin gemas. Dia tersenyum, lalu mengusap pipi bocah itu. "Boleh aku tahu, kenapa kau panggil aku Mama tadi? Kau tahu jika aku bukan Ibumu, dan itu artinya kau melakukan hal buruk karena telah berbohong."

"Boo tuma mau Mama." Bocah itu menjawab lirih, dan tiba-tiba menunduk kembali menangis.

Melihat ini, membuat Bianca merasa salah tingkah. Dia tak bermaksud membuat bocah itu menangis. Cepat-cepat, dia duduk di dekat bocah itu, memeluk erat sambil mengusap kepalanya lembut. "Maaf, ya … maaf. Tante gak bermaksud memarahi Bea tadi." Tiba-tiba, Bianca mempunyai ide. "Cup, Sayang, jika Bea berhenti nangis, Tante bakal kasih Bea banyak kue."

Tipu muslihat itu berhasil, dan bocah itu menghentikan tangis. Dengan tangannya yang mungil, Bea mengusap pipinya yang sudah setengah basah. "Apa Boo boyeh maem kue?"

"Tentu saja boleh," jawab Bianca sumringah. "Memangnya siapa yang akan melarang bocah cantik sepertimu makan kue?"

"Papa Boo biacanya gak cuka Boo maem kue," jawab Bea menggelengkan kepala lucu.

"Papamu pasti orang yang kaku," sahut Bianca, mengerucutkan bibir.

Akhirnya, setelah Bea tenang, Bianca mengajak bocah itu keluar dari ruangannya. Dia mengantar Bea ke meja etalase yang terdapat banyak kue. Bianca tersenyum, saat melihat tingkah Bea yang menggemaskan, mengambil beberapa kue dengan bahagia.

Namun, kesenangan itu tak bertahan lama ketika Bianca melihat beberapa orang berpakaian rapi memenuhi toko kuenya. Wajah para lelaki itu begitu dingin, dengan sorot mata yang tajam. Hal ini membuat Bianca panik, apalagi saat orang-orang itu mendekati Bea dengan penuh minat.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY