/0/8832/coverbig.jpg?v=39d6f4ffcb31feb59b493347efaa4220)
She's like Marijuana. Forbidden, dangerous, addiction, and also deadly. Daphne Madison, otak di balik kemenangan Ruthen berkali-kali, dihadapkan pada situasi di mana dia harus berlutut dan memohon kepada seorang pria, demi membalaskan dendamnya pada Edgar David Ruthen yang telah membunuh saudari kembarnya. Naas, dia harus berlutut pada musuhnya sendiri, Casillas Rodriguez, yang langsung menodongkan pistol saat dia masuk secara paksa ke markas Rodriguez dengan bersimbah darah. "Gunakanlah aku sebagai agen ganda. Aku ingin membalaskan dendam dan akan mengembalikan posisimu dari Edgar," ujar Daphne membawa tawaran yang sangat menggiurkan. "Menarik. Tapi, bagaimana bisa aku percaya pada musuhku sendiri?" balas Casillas masih menodongkan pistol. Gadis itu terdiam sejenak dan berlutut di hadapan musuhnya. "Ku mohon, Casillas. Apapun akan ku lakukan untukmu, tidak, apapun akan ku berikan padamu." "Ha! Termasuk tubuhmu?" "... ya." "!" Casillas menurunkan pistol dan menatap Daphne dengan serius. "Aku memberikanmu banyak hal, bahkan sampai hal yang tak pernah ku berikan pada siapapun. Sebagai gantinya, tolong lindungi aku agar tak dibunuh oleh Edgar." Pengkhianatan dan pembalasan dendam pun dimulai dengan sangat mulus menggunakan otak cerdik Daphne yang mampu memainkan peran dengan sangat baik. Seiring dengan itu, seperti julukan Daphne, Marijuana, Casillas pun tak mampu mengelak dan berakhir tenggelam dalam pesona Daphne yang mematikan. Akan tetapi, apakah hanya Casillas saja yang tenggelam dalam pesona Daphne? Tentu saja tidak. Karena Daphne juga merasakan hal yang sama dengan pria berambut hitam itu. Hanya saja, Daphne memiliki cara tersendiri untuk menyembunyikan perasaan yang menurutnya "tidak benar" itu. "Aku takkan pernah melepaskan mu, Daphne. Sekalipun aku harus mengikatmu di kerangkeng besi, karena aku ... mencintaimu."
***
Las Vegas, Nevada, 19.41 PDT
Dor! Dor!
Telinga Daphne berdenging saat mendengar dua buah peluru terlepas dan menembus jantung seorang wanita berambut cokelat kemerahan yang langsung tersungkur bersimbah darah. Suasana di ruangan itu langsung sepi, tanpa suara.
"Daphne," panggil seorang pria berambut hitam sembari menyerahkan pistol jenis Desert Eagle. Dia Edgar David Ruthen. Salah satu mafia dari dua mafia berpengaruh di Las Vegas, bahkan namanya telah terkenal di dunia mafia yang gelap.
"Ya, Tuan." Gadis yang dipanggil namanya itu langsung melangkah dan mengambil pistol yang dipakai untuk menembak saudari kembarnya itu.
"Fabian," panggil Edgar lagi.
"Ya, Tuan." Pria berusia empat puluh satu tahun yang berada satu langkah di belakang Edgar itu pun mengangguk.
"Bereskan dia. Terserah kau mau membuang atau menguburnya. Pastikan dia benar-benar mati. Well, pasti sudah mati, karena aku menembaknya tepat di jantung," ujar Edgar dengan seringai lebar, membuat orang-orang yang ada di sana bergidik ngeri, kecuali satu orang yang tampak tak tergoyahkan. "Daphne," panggil Edgar dengan suara lembut.
"Ya, Tuan." Daphne mengangguk kecil.
"Aku telah menembak saudari kembar mu. Dia merepotkan, tak sepertimu."
"... ya, Tuan. Maaf dan terima kasih," ucap Daphne hampir tanpa emosi. Bagi orang normal, ini bukan saat yang tepat untuk mengucapkan maaf dan terima kasih. Namun, inilah Daphne Madison.
Edgar menatapnya dengan rinci. "Kau tidak menangis?"
"Tidak, Tuan." Daphne balas menatap Edgar dengan berani. "Tidak ada alasan bagi saya untuk menangis," tambahnya membuat pria berambut cokelat itu tertawa terbahak-bahak, merasa puas dengannya.
Edgar menepuk bahu Daphne dengan bangga dan tak lupa, seringainya.
"Kau luar biasa, Daphne. Kau tak gentar bahkan setelah aku menembak mati saudari kembar mu," ujar Edgar masih dengan sisa-sisa tawanya, lalu dia berdeham singkat. "Karena aku baik hati, ku izinkan kau mengantar jalang itu untuk terakhir kalinya."
Daphne terdiam. Memandang tubuh bersimbah darah itu tanpa berkedip. Sejujurnya, dia sedang berusaha sangat keras untuk tak menunjukkan kesedihan ataupun kemarahannya di hadapan Edgar. Dan itu cukup sulit, mengingat Edgar telah membunuh satu-satunya keluarga yang dia punya tepat di depan matanya. Gadis itu menatap Edgar yang memegang dagunya.
"Jawab aku, Daphne." Edgar mengintimidasi.
"Ya, Tuan. Terima kasih," ujar Daphne mengangguk pelan.
Sudah cukup dengan jawaban Daphne yang memuaskannya, Edgar melepaskan dagu Daphne dan berjalan melewati gadis itu, namun Daphne sama sekali tak menoleh. Suara sepatu yang bergesekan dengan lantai pun terdengar menyayat hati. Satu per satu orang di sana pergi dengan perasaan takut dan segan pada Edgar yang bisa membunuh anak buahnya kapanpun dan di mana pun ketika dirasanya salah dan mengganggu.
Daphne memandang mayat saudari kembarnya di depan sana, kemudian menghela napas panjang ketika pintu besi ditutup, menyisakan dirinya dan Fabian di ruangan berbau anyir itu.
"Daphne," panggil Fabian pelan.
"Aku tahu, Fabian. Aku sudah tahu kalau ini akan terjadi karena Stephanie mengharapkan hal yang bodoh. Aku sudah memperingatinya berulang kali." Daphne menghampiri saudari kembarnya dan berjongkok di sana. "Bagaimana bisa dia dengan bodohnya berharap pada Edgar? Dia hanya melakukan hal yang sia-sia. Dia dan bayi di perutnya, mati begitu saja. Bahkan sampai detik akhir pun, dia masih bodoh."
'Dan lebih bodohnya lagi, aku tak bisa menyelamatkan kalian,' batin Daphne melanjutkan.
Fabian mengerutkan alis. Di matanya, Daphne terlihat seperti seorang gadis yang tak berperasaan, tetapi mempesona di saat bersamaan. Dia menggeram gusar menahan hasrat ingin mencabuli tubuh seksi yang keras kepala itu, setidaknya sekali.
"Kau ingin menguburnya?" tanya Fabian menghampiri.
"Tidak." Daphne membalikkan tubuh Stephanie yang tersungkur. Dia menyentuh dada kanan saudarinya yang memiliki dua buah peluru dan bersimbah darah dengan tatapan membara. "Danau Powell akan menjadi tempat yang indah untuk Stephanie dan bayinya."
***
Tidak ada kata merepotkan untuk membuang mayat di Danau Powell bagian hulu untuk Daphne dan Fabian. Itu sudah menjadi salah satu tugas mereka karena kebiasaan Edgar yang brutal.
"Bantu aku memasukkan Stephanie ke dalam tong, Fabian," ujar Daphne membuka pintu penumpang, mengeluarkan saudari kembarnya yang tak lagi bernapas dari dalam sana. Sementara Fabian pergi ke mobilnya lebih dahulu dan mengambil tong yang telah disiapkan olehnya dan Daphne sebelum berangkat ke Danau Powell.
"Kau serius, Daphne?" tanya Fabian sembari membawa tong berukuran besar.
"Serius." Daphne menarik Stephanie yang cukup berat. "Cepat bantu aku. Kita tak punya banyak waktu," tambahnya.
"Baiklah." Fabian membantu Daphne memasukkan Stephanie ke dalam tong yang ditutup rapat setelahnya. "Ku pikir kau akan mengubur atau mengkremasinya. Bukankah itu lebih baik untuk Stephanie?"
"Kau tahu dengan pasti, Fabian. Hasilnya akan sama." Daphne bersandar pada tong yang sudah dalam posisi berdiri. "Kalau aku menguburnya, Edgar bisa saja akan memintamu atau orang lain untuk menggali kuburan dan membuang mayat Stephanie, atau yang lebih parah, tubuhnya akan dicincang untuk makanan anjing kesayangannya. Kalau dikremasi, hanya akan menarik perhatian orang-orang di sekitar. Selain itu, bau dari tubuh yang terbakar pasti akan tercium. Jadi, untuk apa bekerja dua kali?"
"Er, baiklah." Sudut bibir Fabian berkedut. Daphne mengatakannya dengan sangat mudah. "Terima kasih?" ujarnya ragu-ragu.
Daphne merotasikan mata. "Tidak sepertimu," ujarnya. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung mendorong tong tersebut ke danau dan menatapnya dengan sayu. "Beristirahatlah dengan tenang, Stephanie, Baby."
"Hanya seperti itu?" tanya Fabian mengerutkan kening. "Seingatku, kau dekat dengan Stephanie. Tidak ada ucapan perpisahan yang hangat?"
"Mengharap apa kau dariku?" celetuk Daphne mendengus kasar. "Kalau kau mau, lakukan saja sendiri," sambungnya berjalan menyusuri tepi danau.
"Daphne, kau mau ke mana?" tanya Fabian sedikit berteriak.
"Jalan-jalan," jawab Daphne.
"Dengan pakaian seperti itu?" tanya Fabian mengkhawatirkan Daphne. Gadis cantik itu hanya menggunakan kemeja berwarna putih yang telah bersimbah darah dan celana pendek hitam dengan rambut yang diikat tinggi.
"Tidak usah mengkhawatirkanku. Kalau sudah selesai mengucapkan perpisahan hangat dengan Stephanie, pulanglah ke markas. Sampaikan pada Edgar kalau aku sedang memata-matai pergerakan Rodriguez."
"Rodriguez bergerak lagi?" tanya Fabian tak jadi mendoakan ketenangan Stephanie. Dia lebih tertarik pada pergerakan Rodriguez yang dikatakan Daphne.
"Memangnya kapan dia pernah berhenti?" Daphne berbalik menghadap pria yang masih lajang itu. "Tidak jadi?"
"Apanya?" tanya Fabian dengan sudut alis yang terangkat sebelah.
"Perpisahan hangat yang kau katakan itu," jawab Daphne segera.
Fabian menoleh ke arah danau yang permukaannya tak tenang karena tertiup oleh angin. "Dia sudah cukup mendapatkannya darimu."
"Lalu, pulanglah," ujar Daphne menunjuk mobil Fabian dengan dagunya. "Aku tak butuh kau, Fabian."
Pria itu mendengus kasar dengan tangan yang berkacak di pinggang menunjukkan rasa congkaknya. Namun, itu tidak cukup karena seluruh mafia di Las Vegas pun tahu kalau Daphne lebih congkak daripadanya. "Kau memang luar biasa, Daphne."
"Aku tahu. Pergilah! Wajahmu memuakkan," ketus Daphne berdecak kecil. "Tuhan pun malas melihatnya."
"Bicara apa kau? Tuhan sudah tak melihat kita lagi. Terlalu banyak pekerjaan buruk yang kita lakukan," sahut Fabian tertawa miris.
"Banyak omong. Ku bilang, pergi!" seru Daphne mendelik tajam.
"Suasana hatimu sangat buruk, Daphne. Inikah sisi aslimu?" tanya Fabian melangkah maju. Membelai helaian rambut Daphne yang tak ikut terikat.
Daphne seketika merinding. Dia melirik tangan yang memegang helaian rambutnya itu dengan dingin.
"Mau ku patahkan tanganmu, Fabian? Aku lebih daripada mampu," ujar Daphne sangat tak bersahabat.
"Astaga ... baiklah," putus Fabian menyerah, lalu mundur beberapa langkah. Pria itu masih sayang pada dirinya dan dia tersenyum lebar. "Aku akan melaporkannya pada Edgar sesuai dengan yang kau katakan."
Daphne menjawab dengan anggukan singkat. Dia menarik napas panjang dan menatap lurus pada Fabian.
"Jangan berjalan-jalan terlalu lama. Kau bisa sakit."
"Bukan urusanmu, Fabian."
Pria itu tertawa masam. Dia melihat ke danau sekali lagi. "Semoga Stephanie tenang di sana," ujarnya pada akhirnya.
Napas Daphne tercekat. Rasa panas menggelitik tenggorokannya. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Kalau begitu, aku pergi," ujar Fabian melangkah ke mobil yang terparkir tepat di depan mobil Daphne.
Dan Daphne memperhatikan kepergian Fabian, hingga hanya tersisa dirinya di tepi Danau Powell.
Tubuh Daphne langsung meluruh di tepi danau. Dia meringkuk, memeluk dirinya yang kesepian dan dilingkupi emosi buruk dalam dinginnya malam.
"Stephanie bodoh! Sudah ku katakan, jangan pernah memberikan hatimu pada Edgar! Kau berbohong! Kau ingkar janji! Kau meninggalkanku sendirian di dunia ini!" seru Daphne melampiaskan semua kekecewaannya. Namun, di balik itu, dia lebih kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena gagal melindungi satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Daphne menelungkupkan wajah dan menangis terisak-isak. "Kalau kau mendengarkan ku untuk kabur, kau takkan berakhir seperti ini, Stephanie ... kau membuatku menjadi kakak dan bibi yang sangat buruk," ujarnya sendu, penuh penyesalan di tepi danau.
---
Binar Mentari menikah dengan Barra Atmadja,pria yang sangat berkuasa, namun hidupnya tidak bahagia karena suaminya selalu memandang rendah dirinya. Tiga tahun bersama membuat Binar meninggalkan suaminya dan bercerai darinya karena keberadaannya tak pernah dianggap dan dihina dihadapan semua orang. Binar memilih diam dan pergi. Enam tahun kemudian, Binar kembali ke tanah air dengan dua anak kembar yang cerdas dan menggemaskan, sekarang dia telah menjadi dokter yang berbakat dan terkenal dan banyak pria hebat yang jatuh cinta padanya! Mantan suaminya, Barra, sekarang menyesal dan ingin kembali pada pelukannya. Akankah Binar memaafkan sang mantan? "Mami, Papi memintamu kembali? Apakah Mami masih mencintainya?"
Ika adalah seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya yang sakit. Tiba-tiba bagai petir di siang bolong, Bapak Mertuanya memberikan penawaran untuk menggantikan posisi anaknya, menafkahi lahir dan batin.
Yolanda mengetahui bahwa dia bukanlah anak kandung orang tuanya. Setelah mengetahui taktik mereka untuk memperdagangkannya sebagai pion dalam kesepakatan bisnis, dia dikirim ke tempat kelahirannya yang tandus. Di sana, dia menemukan asal usulnya yang sebenarnya, seorang keturunan keluarga kaya yang bersejarah. Keluarga aslinya menghujaninya dengan cinta dan kekaguman. Dalam menghadapi rasa iri adik perempuannya, Yolanda menaklukkan setiap kesulitan dan membalas dendam, sambil menunjukkan bakatnya. Dia segera menarik perhatian bujangan paling memenuhi syarat di kota itu. Sang pria menyudutkan Yolanda dan menjepitnya ke dinding. "Sudah waktunya untuk mengungkapkan identitas aslimu, Sayang."
Seorang gadis SMA bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan susu Nada. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Lenny adalah orang terkaya di ibu kota. Ia memiliki seorang istri, tetapi pernikahan mereka tanpa cinta. Suatu malam, ia secara tidak sengaja melakukan cinta satu malam dengan seorang wanita asing, jadi ia memutuskan untuk menceraikan istrinya dan mencari wanita yang ditidurinya. Dia bersumpah untuk menikahinya. Berbulan-bulan setelah perceraian, dia menemukan bahwa mantan istrinya sedang hamil tujuh bulan. Apakah mantan istrinya pernah berselingkuh sebelumnya?