/0/8997/coverbig.jpg?v=9c517d72684c429cef05bc77f59ddd0d)
Setelah dunia sempurnanya hancur, Livia tidak lagi peduli pada pendidikan, penampilan, bahkan pada rutinitas harian. Gadis itu acuh tak acuh dalam segala hal. Ia hanya merasa kalau dirinya harus hidup untuk memberikan makan pada anak-anak kucing peliharaannya. Hanya itu. Namun, segalanya berubah saat ia tak sengaja bertemu dengan Ettan, seorang pemuda yang berniat bunuh diri dengan lompat dari jembatan di atas sungai. Sosok yang memiliki sifat dan kehidupan yang begitu berkebalikan darinya itu justru menarik perhatian gadis itu. Ettan pun berpikir demikian. Sikap Livia yang berbeda dengan gadis lain membuatnya perlahan menaruh perhatian lebih pada gadis itu. Berkat beberapa pertemuan yang disengaja, mereka perlahan menjadi dekat. Namun, fakta dari latar belakang keluarga yang tak pernah mereka tahu akhirnya datang dan menjadi sebuah bom besar bagi hubungan mereka. "Ettan, jika dari awal aku tau kau adalah anak bajingan itu, aku pastikan kalau aku sendiri yang akan mendorongmu jatuh dari jembatan saat itu." Livia menatap Ettan dengan tangan mengepal. Matanya merah, menatap penuh amarah. "Kalau begitu, kau bisa melakukannya sekarang, Livia. Dengan senang hati." Akankah Livia membalaskan dendam pada seseorang yang menjadi faktor utama kehancuran dunianya? Bisakah cinta cukup dijadikan sebagai ucapan maaf atas kepedihan hidupnya? Ikuti kisah mereka eksklusif hanya di Bakisah.
Menjelang senja.
Angin bertiup lembut. Menyapa dedaun. Sesekali berbisik pada ilalang. Dan tak jarang bertingkah nakal, meniup anak rambut kaum hawa.
Langit bersih tanpa awan. Menjadikan matahari yang hampir tumbang objek utama yang patut mendapatkan atensi penuh.
Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih saat jalanan di depan gadis itu mulai lengang. Menyisakan satu-dua mobil dan angkutan umum.
"Akhirnya sepi juga." Gadis itu menghela nafas panjang. Tangannya membenarkan anak rambut yang tertiup angin. Tangan satunya ia masukan ke dalam saku hoodie.
Sembari menenteng kresek, ia menyebrang jalan. Tidak ada lampu merah yang menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyebrang di area itu. Tidak ada juga seorang pengatur lalu lintas atau semacamnya. Hal itu membuat kebanyakan orang malas menyebrang apalagi di jam-jam rawan seperti waktu masuk sekolah atau jam pulang kantor.
Satu menit yang berlangsung dengan cepat, gadis itu berhasil berada di sisi jalan trotoar yang lain. Dia hanya harus berjalan lurus untuk sampai ke rumah.
Itu adalah wilayah di pinggiran kota. Nuansanya bisa dibilang cukup sederhana. Jajaran ruko di pinggir jalan masih dengan mudah ditemukan. Pedagang keliling pun masih dibilang banyak. Pepohonan berjajar terpisah jarak setiap dua meter. Cukup untuk bisa dikatakan asri.
Polusi tidak terlalu tinggi, setidaknya jika dibandingkan dengan kehidupan di kota, kehidupan di sana jelas jauh lebih baik. Dengan tingkat kriminalitas rendah, hidup di sana bisa dibilang aman. Harga makanan dan bahan pokok lainnya pun masih terjangkau. Ah, jangan lupakan laut kecil kebanggan tempat itu. Laut dengan air biru jernih dan gemuruh ombak yang bersahabat. Tambahkan sentuhan manis matahari senja, sempurna sudah pemandangan di sana.
Hampir tidak ada nilai minus tinggal di pinggiran kota Trisa. Kalaupun ada, mungkin satu hal.
Tidak ada lapangan kerja yang menjanjikan gajih tinggi.
Mungkin itu penyebab para pemuda-pemudi di sana selalu bergegas pagi buta untuk pergi ke pusat kota untuk kemudian beramai-ramai pulang saat sore harinya. Membuat macet di jam-jam pagi dan sore hari.
Dering ponsel terdengar, menarik kembali atensi gadis dengan hoodie coklat yang kini asik membuka bungkus eskrim.
"Kau sudah bangun?" Sapa si pemilik ponsel setelah menekan layar ponsel dan meletakannya di telinga.
"Ya. Kau sudah selesai bekerja?" Suara serak khas orang yang baru bangun tidur terdengar.
"Aku baru saja menyebrang. Aku juga membawa beberapa es krim."
"Baguslah. Aku akan menyiapkan makan malam."
"Hm, aku akan segera pulang."
"Dan tolong untuk selalu ingat untuk berhati-hati di jalan, Livia."
Livia memasukkan es krim ke dalam mulut. Menghiraukan ucapan tersebut dan memilih memutuskan sambungan telpon.
Dia jelas bukan anak kecil.
"Dia selalu berlebihan." Livia berdecak. "Lagipula apa yang harus dikhawatirkan? Aku hanya perlu melangkah lurus di jalan yang rata. Bukan harus naik gunung atau membelah lautan."
**
Di tempat lain.
Mobil itu melaju dengan kecepatan penuh. Bergerak tanpa arah dan tujuan yang jelas. Tak terhitung berapa banyak lampu merah yang sudah ditrabas mobil itu.
Kecepatan mobil mulai stabil saat melintasi area pinggiran kota dan benar-benar berhenti di jembatan. Itu pun karena kendaraan roda empat itu kehabisan bahan bakar.
"Kacau!"
Pemilik kemudi mobil membenturkan kepalanya pada sandaran kursi. Dilihat dari perawakannya, usianya mungkin berkisar dua puluh lima tahun. Ia mengenakan kemeja yang dipadu padankan dengan celana hitam. Khas ala orang kantoran.
Berada di desa antah berantah, Ettan mencoba mengamati lingkungan sekitar. Dia sudah memeriksa ponsel. Namun tidak ada harapan. Benda pipih itu mati total karena kehabisan baterai.
Setelah hanya duduk diam selama sepuluh menit belakangan tanpa melakukan aksi apapun, pemuda itu memilih untuk keluar dari dalam mobil dan mencari bantuan warga sekitar. Saat itulah dia melihat sebuah sungai yang mengalir di bawah jembatan. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke arah sisi jembatan. Maniknya langsung jatuh pada aliran sungai yang tenang.
Seolah menghipnotis.
Setelah tangannya menyentuh pegangan jembatan besi yang sudah karatan itu, hal-hal yang sudah mengacau harinya melintas satu-persatu.
"Kalau begitu, kau bisa pergi menyusul Ibumu!"
"Sepertinya kau tidak punya otak. Aku bahkan merasa ingin muntah karena harus tinggal satu rumah denganmu!"
"Kau gila?! Aku ragu kau adalah adalah anak kandung Ayahmu. Orang lain pun akan berpikir kalau kau hanya anak pungut bila melihat kinerjamu ini."
"Dia anak Presdir itu?"
"Bukankah dia sama sekali tidak mirip dengan Pak Presdir?"
"Pak Deni bahkan memarahinnya habis-habisan karena dia sama sekali tidak mengerti soal bisnis."
"Bukankah itu menyedihkan."
"Kalau aku jadi dia mungkin aku akan bunuh diri saking malunya."
Ettan mendecih.
Pagi ini adalah hari pertamanya datang ke kantor sang Ayah. Setelah sebelumnya mendapatkan sarapan berupa makian dari sang Ibu dan ekspresi jijik sang adik, Ettan mendapatkan jatah makan siang omelan dan ejekan dari seluruh anak-anak di kantor.
"Wuah.... Sungguh luar biasa." Ettan tersenyum miris. "Aku kembali dari Australia setelah menyelesaikan studi hanya untuk mendapatkan satu hari menyebalkan."
Pemuda itu menunduk. Maniknya menatap kembali aliran sungai yang kini terlihat sedikit berwarna oranye. Senja di langit barat mungkin sengaja membagi sedikit keindahan untuk sungai itu.
"Apa aku bisa langsung mati jika jatuh dari sini?"
"Itu konyol sekali."
Seruan itu datang dari sebelah kanan. Entah sejak kapan, Livia sudah berada di samping pemuda itu.
"Sejak kapan kau di sini?" Ettan menoleh, menatap Livia dengan sorot bingung.
Livia tak menyahut. Ia masih asik menatap aliran sungai. Titik yang sama dengan yang Ettan tatap sebelumnya.
"Tinggi jembatan ini hanya sekitar empat atau lima meter, sungai di bawah juga dangkal. Tidak cukup untuk membuatmu tenggelam. Dibandingkan mati, mungkin kau hanya akan mendapatkan luka ringan dengan ekstra rasa malu karena dianggap gila mencoba bunuh diri di sungai ini."
"Eh?"
Livia mengulas senyum kecil. Beralih menatap Ettan yang lebih tinggi sepuluh senti darinya.
"Tapi, kalau kau mungkin masih punya niat untuk bunuh diri, aku punya beberapa saran tempat untukmu."
"Saran?"
Ettan mengernyit, bingung. Livia jelaslah gadis aneh di matanya. Tubuh kecil yang terbungkus hoodie dan celana setinggi lutut. Rambut panjang diikat asal ke belakang, menyisakan poni rata di atas alis. Bukankah usianya masih muda dan (ehem) terlalu imut untuk mengatakan dan menyarankan tempat untuk bunuh diri?
Sama sekali tak merasa terintimidasi dengan tatapan Ettan, Livia kini asik menjilati es krim miliknya.
"Ayo, ikut aku ke rumah!"
"Apa kau akan membunuhku atau semacamnya? Psikopat?" Ettan kini berganti menatap Livia dengan sorot horor. Sepertinya psikopat sekarang sedang tren menyamar menjadi gadis mungil dan (ehem) imut.
Livia tergelak.
"Aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya harus menemui Yuda terlebih dulu."
"Apa Yuda yang akan membunuhku?"
Livia kini berdecak sebal.
"Kau jadi mau mati apa tidak?"
Giselle menjadi bahan taruhan dari tiga pemuda yang menjadi incaran para wanita. Pertama, ada Gavin Yuda Adhitama, si buaya darat dengan otak jenius di atas rata-rata. Pemuda itu terkenal dengan kedipan matanya yang bisa meluluhkan hati wanita manapun. Selanjutnya ada Malik Abraham, teman sekelas Giselle. Penerus satu-satunya dari Perusahaan Abraham Tech. Malik juga sudah setengah resmi menjadi calon CEO dari perusahaan keluarganya itu. Terakhir, ada Deon Ravindara, seorang CEO dingin dari R Company. Tidak pernah mengencani siapapun. Dia terobsesi dengan Novel Fantasi. Mempertaruhkan uang sebesar Tiga Milyar, ke-tiga pemuda itu mencoba mencuri secuil perhatian dari si pemilik hati sedingin kutub selatan. Apakah mereka bisa mencairkan hati sedingin es milik Giselle? Lalu kepada siapakah hati Giselle akan berlabuh? Ikuti terus perjalanan cinta Giselle dalam cerita "Si Gadis Tiga Milyar", eksklusif hanya di Bakisah.
Susah dapet cewek baru untuk manasin mantan? Bingung nyari pacar untuk dibawa ke rumah agar perjodohan dibatalkan? Atau butuh temen curhat sekalian jalan untuk mengusir rasa bosan? O'd Lotus adalah jawabannya. Cewek-cewek manis dari klub pacar sewaan di O'd Lotus akan membantu kalian semua menyelesaikan permasalahan rumit tersebut. Gak percaya? Segera daftar dan buktikan sendiri manfaatnya! Nb: Diskon 25 persen untuk pelanggan baru sampai akhir bulan!
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!
Kisah Daddy Dominic, putri angkatnya, Bee, dan seorang dosen tampan bernama Nathan. XXX DEWASA 1821
Kehidupan rumah tangga Vee dan Damar harus berakhir ketika dirinya mengetahui perselingkuhan suaminya dengan asisten rumah tangga mereka. Bercerai dengan Damar bukan berarti permasalahan telah selesai. Vee mendapatkan teror dari istri baru suaminya dan mengakibatkan dia harus kehilangan orang yang paling disayang. Vee tidak tinggal diam. Dibantu sahabatnya, dia mengungkap kejahatan istri baru mantan suaminya hingga membuat Damar yang tadinya tidak mempercayai ucapan Vee menjadi berbalik percaya. Bagaimana cara Vee mengungkap semua kejahatan mantan asisten rumah tangga yang kini telah menjadi istri Damar? Lantas, apa yang akan dilakukan oleh Damar saat mengetahui kebenarannya?
Aku bingung dengan situasi yang menimpaku saat ini, Dimana kakak iparku mengekangku layaknya seorang kekasih. Bahkan perhatian yang diberikan padaku-pun jauh melebihi perhatiannya pada istrinya. Ternyata dibalik itu semua, ada sebuah misteri yang aku sendiri bingung harus mempercayai atau tidak.
Selama tiga tahun pernikahannya dengan Reza, Kirana selalu rendah dan remeh seperti sebuah debu. Namun, yang dia dapatkan bukannya cinta dan kasih sayang, melainkan ketidakpedulian dan penghinaan yang tak berkesudahan. Lebih buruk lagi, sejak wanita yang ada dalam hati Reza tiba-tiba muncul, Reza menjadi semakin jauh. Akhirnya, Kirana tidak tahan lagi dan meminta cerai. Lagi pula, mengapa dia harus tinggal dengan pria yang dingin dan jauh seperti itu? Pria berikutnya pasti akan lebih baik. Reza menyaksikan mantan istrinya pergi dengan membawa barang bawaannya. Tiba-tiba, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya dan dia bertaruh dengan teman-temannya. "Dia pasti akan menyesal meninggalkanku dan akan segera kembali padaku." Setelah mendengar tentang taruhan ini, Kirana mencibir, "Bermimpilah!" Beberapa hari kemudian, Reza bertemu dengan mantan istrinya di sebuah bar. Ternyata dia sedang merayakan perceraiannya. Tidak lama setelah itu, dia menyadari bahwa wanita itu sepertinya memiliki pelamar baru. Reza mulai panik. Wanita yang telah mencintainya selama tiga tahun tiba-tiba tidak peduli padanya lagi. Apa yang harus dia lakukan?