erti gemuruh petir yang tertahan di langit mendung. Wajahnya menegang, r
anjang seolah aku tak lebih dari barang tak bernyawa. Bahunya menekan bahuku, kuat dan mengancam. Dalam sekejap,rti kabut yang pekat. Saat dia naik ke atas ranjang, hatiku mencelos. Tubuhku kaku. Satu-satunya hal yan
n suara yang lebih dingin dari angin malam. Jemari
edua pipiku ditekan keras, hingga rasa nyeri menjalar k
enutup telinganya. Seakan rasa sakitku adalah sesuatu yang pantas ia abaikan
mperlakukanmu dengan lembut? D
dengan isakan tertahan. Air mata tak mampu kucegah. Mengalir seperti sungai di musim badai. Hati i
perempuan. Sungguh, dia memperlakukanku seolah aku adalah beban, bukan pasangan hidup. Seol
gusap pipi yang memerah karena tekanan. Tubuhku masih bergetar, dan hatiku jauh lebih remuk daripada ragaku.
ng menginginkan," ucapnya, dengan suara di
ta dalam hidupnya? Tidakkah dia sadar, bahwa hubungan suami istri
dalam batinku. Dia mengira semua akan selesai begitu saja, bahwa aku tak akan menyimpan ap
enyayat. Mas Ammar selalu datang larut malam, setelah semua energinya terkuras oleh berbag
ku dengan penuh kasih. Bahkan memuji masakanku di hadapan mereka. Tapi ketika pintu kamar tertutup dan han
uamiku sendiri? Apakah aku terlalu naif mengin
ba tampil cantik meski hati tak menentu. Menyapanya dengan lembut. Tapi
k bisakah dia sedikit saja membuka ruang untukku? Untuk cintak
n ini jika hanya mendatangkan luka? Apakah rumah tangga ini
menunggu dalam balutan harap dan degup bahagia. Tapi h
tas. Jadi, jangan pernah berharap aku meng
gan degup jantungku yang meredup. Aku memeluk diriku sendiri di tengah
an terus diuji. Tapi aku tidak pernah
ncurkan. Tapi juga harapanku.
nyalah pertanyaan-per
cintaiku, mengap
tri, mengapa dia memperlakuk
tidakkah dia sadar bahwa yang dia sakiti