santai di sekitar kompleks, mengajak Zidan, putraku yang baru berusia satu se
selalu berhasil menarik perhatian. Senyumnya yang polos dan wa
mau ke warung, selalu bereaksi sama saat melihat Zidan. Tersenyum, menyapa, bahkan ada yan
nget sih ka
ngan pemandangan ini. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang han
ari baru menyapu pepohonan, dan suara kicau burung terdengar dari kejauhan. Zidan tampak bersemang
h dari gerbang taman kecil kompleks, soso
zah
un, penampilannya anggun dan bersih, dengan gaya bicara lembut tapi penuh percaya diri. I
h dua kali naik haji, aktif di pengajian ibu-ibu, dan karena
Dia juga sering mengajak aku gabung ke partainya, namun tidak pernah ku
kompleks, terutama Zidan, anakku. Hampir setiap kali anakku main di halaman
pai tertidur di pelukannya. Istriku tentu sangat senang. Bisa sedikit leluasa menyelesaikan pekerjaan rumah, atau sekadar isti
mi, Ustazah Naila melambai
angen kamu!" serunya riang, padahal
diangkatnya ke pelukan. Ustazah Naila menciumi pipi Zidan berkali-kali seperti mel
wa si ganteng lucu, jalan santai, lengkap banget deh
ang nyambut juga, Bu Ustaz
gini bisa-bisa orang-orang ngira kita pasangan muda loh. M
idak sepenuhnya bencanda. Karena aku juga menyadari, sejak beberapa bulan terakhir
ga yang lewat sering terlihat melirik. Ada yang tersenyum ramah, ada yang saling bisik-bisik sambil memandangi kami.
tak punya rasa cemburu. Bahkan saat aku pulang malam karena lembur, dia nyaris tak
iga. Tak ad
n buat aku aja?" Ustazah N
barter sama koleksi jilbab
h Mas Fadly, kadang aku mikir, Tuhan kok lucu ya, yang punya anak malah yang gak terla
terdengar ringan, tapi aku tahu betul, ada se
nambahkan, "Mas Fadly, kasih tutorialnya doong sama Ustad Hendri,
nggak dijual bebas, Bu Ustaz. Sekaran
Yaaa, kalau premium mah, yang
bku, sambil m
cak kepala Zidan. "Ya sudah deh, aku bawa dulu
u Ustazah?" tanya
anak juga," katanya sambil tertawa lebar, kemudian b
sering muncul dalam interaksi kami, namun entah kenapa, tetap saja terasa hangat. Kadang aku berpi
aan yang menenangkan. Tak ada gegap gempita pesta, tak ada denting gelas
a utuh. Bukan kemewahan yang sarat kepalsuan, bukan pula kemegahan yang membuat jar
esulitan hidup. Kadang tentang harga sembako, kadang tentang listrik yang tiba-tiba melonjak, kadang soal anak ya
k-anak yang bermain sepeda, dan sapaan hangat dari yang melinta
menuju rumah Ustazah Naila. Zidan dibajak sejak pagi, dan aku tahu, dia pasti sedang bahagia di sa
gsung terbuka. Ustazah Naila muncul dengan senyum le
bis deh masa pinjamannya," katanya s
ya anakku pulang dari
tertidur pulas di pangkuannya. Ustazah Naila tak langsung menyerahkan,
, pandangannya masih tertuju pada Zidan. "Kalau Zidan ja
imatnya seperti membawa sesuatu yang lebih
ak sih, kadang tuh ada orang yang kita kagumi diam-diam, bukan karena d
g. "Wah, itu kode keras atau cu
Mas Fadly aja... tapi aku
tu seolah jadi penyelamat, sekaligus pengalihan yang semp
ku sambil mengangkatnya pela
ma kasih ya Mas Fadly, sudah sering kasih 'izin' Zidan nemeninku. Rumah ini j
ngangguk, "Dengan mama dan papa
cantiknya Masya Allah. Serasi dengan suaminya. Beruntung Zidan punya mam
u justru yang paling berke
ku nangis kalau Zidan udah diam
ditambah seplastik jajanan yang aku yakin isinya kegemaran Zidan s
lu pribadi. Ustazah Naila adalah istri kedua, jadi aku rasa wajar jika suaminya jarang a
yaris tidak bertegur sapa. Kenyataanya, dia memang jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Tasya istri
etiap liburan ketika tidak ada acara. Hanya iseng tak sampai menghabiskan waktu
*