elumnya, ia menjalani rutinitas tanpa curiga. Namun, ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sebuah perasaan yang s
edikit, dan tanpa pikir panjang, ia melangkah masuk. Ditemani suara derap sepatu hak tin
berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. Tawa itu, tawa
berbisik pada
olah menghancurkan hidupnya. Reza, suaminya, terbaring di ranjang dengan Karina-wanita yang selama ini tinggal be
u menangis, perasaan sakit dan kecewa bercampur dalam dirinya. Ia meras
wanita itu tak tampak cemas sedikit pun, malah seolah menikmati setiap detik dari
i penyesalan, ia mengangguk perlahan. "Nadia, aku... aku mencinta
perti pisau yang menusuk tepat ke hatinya. Suaminya, yang selama in
dia akhirnya bisa membuka mulut, suaranya terde
Nadia? Kami saling mencintai. Reza telah memilihku, dan aku tidak aka
tu saja. "Kalian benar-benar tidak tahu malu." Nadanya semakin tajam. "Dan kau, Reza
ahnya dengan keputusan yang tegas. "Aku ingin menikahi Karina, Nadia. Aku ingin hidup be
ngarnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang ingin hancur, tetapi ia menahannya. Ia h
bencian. "Kalian tidak akan mendapatkan apa yang kalian inginka
lakukan, Nadia? Kita sudah membuat kepu
dur. Ia menatap mereka dengan penuh keyapengkhianatan itu. Tetapi ia tahu, ini baru permulaan dari apa yang akan menjadi pertemp
hancur. Tetapi di balik rasa sakit itu, ada api yang mulai membara-api balas dendam y