ahnya, menghirup udara yang masih segar. Embun sudah tidak ada yang menempel di dedaunan. Di tangannya, sebuah se
oh, suara burung-burung bernyanyi di antara dahan-dahan tinggi. Cahaya matahari
ranting kering di kejauhan. Ia menarik napas, men
et
menyeringai kecil, menikmati kepuasan sed
ergerak-gerak, sontak matanya menatapnya penuh waspada. Pak Bagas tersenyum, men
terus berjalan, menikmati ketenangan limgkungannya, di antara ala
a jernih, mengalir tenang dengan suara gemericik yang menenangkan. Ia baru saja hendak duduk
tubuhnya
yang sangat mencurigan. Bersetubuh. Gerakan mereka begitu alami, liar namun intim, seakan dunia hanya milik
reka mungkin sempat bermain di sungai sebelum semuany
rduga. Ia bahkan tidak tahu siapa mereka, dari mana mereka datang. Apakah sepasang kekasih yang sengaja mencari ke
uk matanya. Jari-jarinya menggenggam senapan angin lebih erat, bukan karena gelisah, tapi lebi
suara di antara semak-semak. Daun-daun kering di bawah kakinya sedikit berdesir, tapi su
ncoba mengenali wajah mereka. Namun,
ara perempuan itu memiliki tubuh ramping dengan kulit kecokelatan yang berkilau oleh si
dirinya. Ada sesuatu yang begitu liar dan primitif dalam cara mereka bersetubuh, seakan mereka bagian dari al
rivasi yang seharusnya tetap terjaga. Tapi nalurinya berkata lai
ana pasangan itu larut dalam dunianya sendiri. Ada sesuatu yang ganjil dalam perasaanny
yatan, sementara perempuan itu menengadah, seolah menyerahkan diri sepenuhnya. Mereka begitu alami, sea
i itu, ia melihat sekelebat bayangan bergerak di antara pepohonan. Seperti mata yang mengi
ang mengawasi dari kejauhan. Sensasi mencekam mengusik gairah yang sempat hadir, dan kini, ia lebih fokus p
ke arah pasangan paruh baya yang masih tenggelam dalam pusaran gairah. Sang wanita menggeliat dalam pelukan pasangan
i... ahh... M
rdegup keras. Tubuhn
nya menatap lekat wajah perempuan itu, bukan nama yang dia ingat namun samar-samar, merasa san
at, dan setelah beberapa saat, mereka pun mulai berbenah. Dengan gerakan santai, pria itu menarik celanan
asaran Pak Baga
eluar dari per
itu sontak menoleh, mata mereka membelalak begitu melihat sosok pria yang
pria terkejut, lang
hnya memucat saat mengenali si
ang kini kembali telah tertutup semua auratnya. Dengan jarak yang lebih deka
menyipit, menelisik wanita yang kini berdiri kaku di hadapannya. Wajahnya tampak
k Bagas serak, mengham
uasi ini. Sementara itu, pria di sampingnya-yang diperkirakan berusia 30 tahun, memperkenalkan diri sebagai
nal dia?" Badri bertanya santai, me
anita itu adalah Bu Hajah Soraya, istri kedua Pak Haji Fuadi-pemilik toko bangunan
n Bu Hajah Linda, istri pertama Pak Fuadi, karena memang Bu Hajah Linda lah ibu dari Zaki, suaminya
ya membuka suara, untuk memastikan. Nadanya lebih rendah,
rbuka seolah ingin membantah, ta
ga ya Bu Hajah? Dengar, Bung," katanya dengan nada meremehkan,
amu... Badri. Saya pernah dengar namamu.
ilai Pak Bagas dari atas ke bawah. "Y
pada Bu Soraya, yang kini menunduk, menggigit bibirnya sen
k Bagas bertanya lagi, kal
h gue di atas sana. Kami hanya menghabiskan waktu bersama di sini
ni. Bagaimana bisa istri kedua besannya yang dalam kesehariannya sangat naggun dan sya
tu yang t
jilbabnya acak-acakan menutupi sebagian wajahnya yang memerah karena malu dan panik. Sementara Badri,
ng keheningan yang semakin menekan. Hanya suara
Pak Bagas akhirnya terden
tanya memohon. Badri mengepal
uatan dalam diam, dan dia menikmatinya. Dia bisa saja bicara banyak, bisa saja menghaki
an mesum itu tenggelam dala
rakhirnya, kemudian berbalik dan melangkah pergi, membiarkan tanah basah
alu melepas kaos dan celana panjangnya yang sudah basah oleh keringat dan embun pag
ya memilih pria seperti
h pria yang l
annya di semak beluka
alau ada ul
enar-benar p
*